Tentu hal ini membuat Embun merasa aneh. Sejak kapan hatinya melunak? Sejak kapan dia sadar? Apa sejak ayah sakit? Dan dia sekarang menjadi baik? Seribu pertanyaan muncul di hati Embun. Namun itu tidak dia hiraukan, kini dia dapati ayahnya sudah terbaring lemah tidak berdaya. Bahkan ayahnya sudah tidak bisa berbicara. Namun dari tatapan mata ayahnya, Embun menyadari bahwa tatapan itu adalah tatapan penuh cinta dan kasih serta tatapan kerinduan dan penyesalan yang teramat dalam terpancar dari sinar mata ayahnya yang mulai redup. Keadaan itu cukup membuat hati Embun merasa perih.
"Ayah, maafkan Embun. Embun sangat mencintai ayah". Embun menghambur memeluk ayahnya. Sambil terisak dia tak mampu berkata apa pun lagi. Mata ayahnya pun ber kaca-kaca dan perlahan-lahan terpejam dengan tenang, tangis Embun dan seisi ruangan itu pun pecah manyadari ayahnya berpulang ke rahmatullah.
"Innaalillaahi wainnaa ilaihi raaji'uun". Ucap Embun sambil terus memeluk dan menciumi jasad ayahnya yang sudah tak bernafas itu. Embun terus memandang wajah ayahnya yang kini tampak pucat. Air matanya berderai, sesekali dia menyekanya. Namun air matanya tak mau berhenti keluar.
"Aku turut berduka cita sayang, tabahkan hatimu , ikhlaskan kepergian ayah". Amar berbisik pada Embun sambil memegang pundak tunangannya itu, berusaha menguatkan hati wanita yang dicintainya.
Embun melihat ke sekelilingnya. Satu persatu kerabat yang baru dikabari berdatangan. Hanya ibu dan adik-adiknya yang tak ada di sana. Dia tahu, sekalipun dia telah mengabari tentang kepergian ayahnya mereka tidak akan pernah datang ke rumah itu, apalagi di rumah itu ada istri ayahnya. Karena sudah terlalu banyak luka yang telah ayah dan istrinya berikan terhadap ibu dan adik-adiknya, begitu pula pada Embun sendiri.Â
Namun meskipun demikian Embun telah memaafkan ayahnya. Karena dia melihat ada penyesalan pada diri ayahnya sebelum meninggal. Tapi entah dengan ibu dan adik-adiknya. Apakah mereka bisa memaafkan semua perbuatan ayahnya itu? Hanya tuhan dan mereka yang tahu.
Sekalipun luka di hati Embun tak sepenuhnya sembuh, apa lagi ditambah luka dengan kepergian ayahnya. Embun mulai berlapang hati memaafkan ibu tirinya itu, karena dia berfikir sejahat-jahat ibu tirinya selama ini dia yang telah merawat ayahnya ketika sakit. Namun, tetap saja Embun tak bisa sepenuhnya menghapus luka dan kenangan pahit di rumah itu. Sehingga dia memutuskan tidak akan pernah datang ke rumah itu lagi setelah kepergian ayahnya.Â
Sekalipun dia datang ke makam ayahnya, dia tak pernah mampir ke rumah itu dan langsung pulang. Dia berharap suatu saat nanti luka hatinya akan sembuh dan bisa berlapang hati untuk menyambung silaturrahmi dengan ibu tirinya itu. Namun untuk saat ini Embun masih berusaha melatih hatinya untuk melupakan semuanya sekalipun itu begitu sulit baginya. Karena luka akan tetap menjadi luka yang tetap berbekas di hatinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H