GOLONGAN PUTIH atau yang disingkat golput merupakan istilah politik di Indonesia yang berawal dari gerakan protes  para mahasiswa dan pemuda terhadap pelaksanaan Pemilu pertama tahun 1971 di era Orde Baru. Tokoh yang terkenal memimpin gerakan ini yaitu, Arief Budiman.
Namun, pencetus istilah "golput" ini sendiri adalah Imam Waluyo. Dipakai istilah "putih" karena gerakan ini menganjurkan agar mencoblos bagian putih di kertas atau surat suara di luar gambar parpol peserta Pemilu bagi yang datang ke bilik suara.
Kini menjelang Pemilu, golput kembali menguat. Di mana, para barisan kaum sosialis-revolusioner masif mengkampanyekan golput sebagai bentuk protes atas ketidakpuasan kinerja pemerintah baik eksekutif maupun legislatif selama masa periodisasi. Tentu, ini suatu tindakan yang dijamin hak kebebasan untuk memberikan atau tidak turut berpartisipasi dalam pemilihan yang hendak berlangsung pada 17 April nanti.
Namun, selaku warga Negara yang sadar dan memahami hak dan tanggungjawab sosial, memberikan hak politik adalah wujud perhatian dalam menata dan memilih pemimpin Negara untuk memerintah masa periode mendatang, juga memberikan mandat kembali kepada anggota legislatif selaku representatif di lembaga legislatif masa bakti 2019-2024.
Ironi, kecewa dengan kinerja eksekutif dan legislatif periode sebelumnya, lalu memilih golput yang dinilai merupakan tindakan solutif. Padahal ini benar-benar gerakan yang tidak memberikan solutif substantif terhadap masalah sistem demokrasi yang tengah sedang berjalan "pincang". Kesannya, menginginkan suatu perubahan sistem demokrasi yang lebih baik ke depan, tetapi bukan memperbaiki malah bersikap abai dan lari dari masalah.
Sejalan itu, golput sejatinya bukan solusi terbaik dalam menyelesaikan pelbagai masalah kebangsaan, tetapi golput adalah tindakan yang hanya menambah dan atau menyuburkan patologi demokrasi. Kenapa? Karena kampanye golput, dapat menumbuhkan sikap apatisme warga masyarakat dalam menyalurkan hak politiknya dalam pemilihan umum.
Golput, Patologi Demokrasi
Sebagaimana penulis mengurai sebelumnya, bahwa golput bukan pilihan solutif memperbaiki tatanan sistem demokrasi sedang berjalan "pincang", tetapi tindakan menyuburkan patologi demokrasi. Sekuennya, seruan golput bisa merambat  pada kelompok pemilih awam politik untuk tidak memberi hak politik, karena terpolarisasi dengan propaganda yang masif dilakukan. Implikasinya, angka partisipasi politik masyarakat akan merosot setiap pemilihan umum.
Ketika menurunnya angka partisipasi politik pada titik terendah dalam pesta demokrasi, karena kian tingginya angka golput, maka ini akan menjadi masalah serius dalam sistem demokrasi kita.Â
Memang harus di hargai sikap kelompok golongan putih [golput] yang tidak memberikan hak politik pada Pemilu adalah hak kebebasan yang secara regulasi tidak mengatur dengan tegas kewajiban warga Negara harus memberikan hak politik dalam perhelatan pemilihan umum. Kecuali, adanya pemaksaan memengaruhi hak politik seseorang agar tidak disalurkan dalam Pemilu--dengan menawarkan berupa pemberian uang, maka ini bisa dijerat sanksi hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, DPRD, pasal 301.Â
Tetapi tindakan tidak memilih atau ikut memilih, pada akhirnya proses demokrasi tetap berjalan dan pasti melahirkan pemimpin baru bersama dengan para legislator yang merupakan hasil dari proses pemilihan yang digelar serentak. Itulah sebabnya, efek golput tidak membawa pada suatu pola demokrasi yang berkualitas, melainkan tindakan pengabaian penggunaan hak politik dalam Pemilu yang berimplikasi pada pembiaran orang-orang yang tidak berintegritas dan bermental koruptif mengatur bangsa ini.
Satu Suara Menentukan Arah Masa Depan Bangsa
Hidup bernegara dibutuhkan partisipasi politik warga masyarakat dalam menentukan arah kemajuan bangsa. Penyaluran hak politik adalah wujud pengakuan Negara terhadap kedudukan sebagai warga masyarakat yang berhak memilih pemimpin Negara dan representatif masyarakat di lembaga legislatif guna mengatur dan menjalankan mandat, amanat konstitusi serta harapan warga masyarakat yang hendak diejawantahkan dalam bentuk kebijakan publik.
Menurut Miriam Budiardjo, partisipasi politik merupakan kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan Negara dan secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kebijakan pemerintah (public policy).
Kegiatan itu mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan (contacting) atau lobbying dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai atau salah satu gerakan sosial dengan direct action-nya, dan sebagainya [Miriam Budiardjo: Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, 2008] .
Di samping itu, salah satu parameter yang sangat mendasar dari keberhasilan dan kualitas penyelenggaraan Pemilu yang demokratis adalah diukur dari keterlibatan masyarakat secara aktif dalam proses berjalannya tahapan-tahapan Pemilu dan tingkat partisipasi warga masyarakat dalam Pemilu. Itulah sebabnya, penggunaan hak politik warga masyarakat dalam pesta demokrasi, penting disalurkan untuk turut memilih pemimpin Negara dan para anggota legislatif yang hendak mengisi ruang lembaga legislatif.
Apabila tidak ada pilihan atau menilai kedua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden serta calon legislatif yang kini direkomdasikan oleh partai politik sama saja--memproyeksikan tidak memberikan harapan kemajuan bangsa ke depan--atau mungkin musabab lain sehingga ingin golput karena hilangnya kepercayaan terhadap partai politik yang tampak tidak lagi aspiratif dalam memperjuangkan kepentingan warga masyarakat.
Alternatifnya bukan golput, tetapi memakai logika Magnis Suzeno, bahwa Pemilu bukan memilih yang terbaik tetapi mencegah yang terburuk berkuasa. Artinya, untuk Pemilu kali ini warga masyarakat disuguhkan hanya dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, dan masing-masing memiliki rekam jejak, maka sebagai pemilih rasional patut memberikan hak politiknya dengan  membandingkan tingkat kelebihan dan kekurangan kedua pasangan calon, mana pasangan calon yang dinilai baik untuk dipilih.
Begitu pula dengan memilih calon legislatif, dengan beranjak dari kekecewaan banyaknya anggota legislatif yang kini mendekam dibalik jeruk besi karena skandal korupsi, maka pada Pemilu saat ini patut dinilai secara selektif agar kelak yang mengisi ruang lembaga legislatif adalah orang-orang yang memiliki kompetensi dan memahami fungsi selaku anggota legislatif yakni: pengawasan, legislasi dan budgeting.
Pada akhirnya tiba pada konklusi bahwa golput bukan solusi yang baik--pilihan yang tidak berpangkal pada nalar-rasional, pula pilihan yang ambigu dalam memberikan solusi terhadap perbaikan sistem demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H