Mohon tunggu...
Mutiara Khadijah
Mutiara Khadijah Mohon Tunggu... Writer -

Psikologi | Foundily Indonesia | Blood for Life Chapter Bandung | Mentality Health Indonesia | Beswan #29 | #SadarIndonesia

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Media Sosial Sudah Tak Lagi Sehat bagi Anda? #1

24 Desember 2015   23:08 Diperbarui: 24 Desember 2015   23:08 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan teknologi dan zaman yang begitu pesat membuat segala bentuk kemudahan tersedia di mana-mana. Termasuk dalam hal sosialisasi. Era digital di dunia membuat hampir semua orang pasti memiliki akun media sosial. Begitu pun yang terjadi di Indonesia, terutama setelah Facebook menjadi begitu booming di tahun 2008. Kemudian disusul oleh variasi media sosial lainnya seperti Twitter, Instagram, Path, hingga Periscope. Motif utamanya adalah mempermudah komunikasi. Apalagi dengan fitur-fitur yang sifatnya lebih bisa dilihat publik, media sosial mampu menciptakan kepuasan tersendiri bagi penggunanya. Mulai dari update lokasi nongkrong bareng teman-teman, snap makan siang sebelum dilahap, post foto kumpul-kumpul atau liburan di tempat tertentu, publish pencapaian jabatan dan tempat kerja baru, sampai curhat-curhat colongan. Semuanya seakan selalu meramaikan timeline atau history akun media sosial kita.

Namun, tahukah Anda bahwa belakangan ini banyak peneliti yang mulai menangkap efek psikologis yang harus dikorbankan dari maraknya media sosial ini?

[caption caption="Facebook Comparison, Diambil dari: telegraph.co.uk"][/caption]

Penelitian yang mulai banyak berkembang tersebut dipicu oleh ketertarikan para peneliti akan fenomena Facebook Comparison. Apa itu Facebook Comparison? Kecenderungan pengguna Facebook membandingkan dirinya dengan orang lain di Facebook. Para peneliti mulai menangkap dark side dari penggunaan media-media sosial yang belakangan marak ini. The fact that even social medias have been helping connnecting people, but it also cost psychologically.

*

Mungkin, bagi beberapa orang di antara kita yang dulunya sangat aktif menggunakan media sosial, tanpa sadar perlahan menjauh, mengurangi frekuensi log in dan update, bahkan hingga berhenti sama sekali. Tidak sedikit juga yang memilih untuk uninstall aplikasinya dari ponsel. Tanpa mereka tahu kenapa. Ketika Anda mulai merasakan hal yang sama, itu tandanya social media sudah tidak lagi sehat buat Anda. Lalu, apa indikasinya kalau penggunaan media sosial kita mulai tak lagi baik bagi kesehatan secara mental?

Feeling unhappy and inferiority

[caption caption="Mulai Merasa Tidak Bahagia, Diambil dari: care2.com"]

[/caption]

Biasanya Anda baik-baik saja saat log in Facebook atau Path, scrolling timeline, melihat aktivitas teman-teman Anda, namun kini Anda justru merasa semakin tidak bahagia dengan kehidupan Anda sekarang. Mulai muncul pemikiran: “Kalau aja gue kayak dia”;“Enak kali ya jadi dia, jalan-jalan terus, nongkrong terus”; “Ya ampun, hidup gue gini-gini amat”—itu tandanya media sosial Anda mulai membahayakan kesehatan mental Anda!

Jealousy and envy

Nah, biasanya kalau perasaan tidak bahagia itu mulai muncul, akan berlanjut pada rasa iri dan dengki. Melihat kenyamanan dan a wonderful life of other people, perasaan tidak bahagia itu tumbuh jadi hal negatif lainnya; IRI. Dan itu artinya media sosial sudah satu tingkat lebih membahayakan kehidupan Anda.

Turn friends, allies, and families into a rival

[caption caption="Friends becoming your rival, diambil dari: guardian.com"]

[/caption]

Seperti halnya perasaan negatif lainnya, jealousy and envy yang berakar dari ketidakbahagiaan itu bisa jadi merontokkan kehidupan sosial Anda perlahan. Mungkin saja, tanpa sadar Anda mulai mengambil jarak, menarik diri dari pertemanan hanya karena Anda mulai menilai teman, rekan, bahkan keluarga Anda sebagai rival! Ngeri, kan?

Faking cheerfulness

Hal yang satu ini sudah parah banget. Karena Anda merasa hidup Anda tak bahagia, Anda iri dengan pencapaian dan kehidupan orang lain, dan Anda merasa mereka kini jadi rival Anda, hal yang selanjutnya bakal Anda lakukan adalah PURA-PURA BAHAGIA. Anda tidak mau orang lain tahu bahwa sebetulnya you’re far from the real happiness state and you’re just trying to faking all the goods and cheerfulness. Tanpa sadar ini yang bakal bikin Anda semakin feeling iritated.

*

Lalu, sebetulnya kenapa kita bisa mengalami hal-hal di atas? Hal yang mengindikasikan kalau media sosial mulai tidak lagi sehat bagi kita? Seperti yang sudah sempat disindir di awal bahwa peneliti mulai tertarik untuk mengkaji fenomena ini. Fenomena perasaan tidak bahagia, penurunan self-esteem, dan sebagainya. Ada dua hal yang bisa menjelaskan kenapa fenomena di atas bisa terjadi:

Selective Self-Presentation

Hal yang paling utama harus diingat bahwa ada banyak teknik manusia ingin menciptakan kesan pada orang lain. Dikenal dengan impression-management atau self-presentation. Individu bisa memilih cara menampilkan kesan dirinya tergantung situasi. Begitu pun para pengguna media sosial. They post anything not only what they want, but also what they want people to see about them. Ingat, pada dasarnya kebanyakan yang kita lakukan dalam sosialisasi sangat dipengaruhi oleh keinginan untuk menciptakan kesan. Alhasil, hal-hal yang diunggah atau diekspos di media sosial hanyalah highlight dari kehidupan nyata orang-orang saja. Hanya poin yang ingin mereka tunjukkan pada publik saja. Tidak jarang menciptakan kesan how wonderful their life been. Tanpa kita sadar, those were all just a half of their life, not a whole. Tidak sedikit dari kita yang akhirnya mudah terhisap oleh ‘gemerlap’ kehidupan orang-orang yang sebetulnya ‘baru separuh’ saja.

Upward Social Comparisson

[caption caption="Upward Social Comparison, Diambil dari: scienceofrelationship.com"]

[/caption]

Meski fenomena ‘Facebook Comparison’ baru-baru saja diteliti dan ditemukan, jauh sebelumnya, seorang psikolog bernama Leon Festinger telah mengajukan teori mengenai Social Comparison di tahun 1954. Ia mengemukakan bahwa individu punya kecenderungan keinginan intrinsik untuk selalu menilai perkembangan dirinya dengan membandingkannya pada kondisi orang lain. Ketika kita melakukan perbandingan itu pada mereka yang lebih superior atau levelnya di atas kita, maka namanya adalah upward social comparison. Nah, upward comparison inilah yang dianggap para peneliti nyaris mustahil dihindari oleh para pengguna media sosial. Terlebih dengan situasi a wonderful highlight seperti yang dijelaskan di atas.

Karena kebanyakan orang hanya mengunggah hal-hal indah dari kehidupannya saja, alhasil yang lebih sering terjadi adalah upward social comparison ini. Membandingkan diri dengan orang yang lebih superior sangatlah krusial dalam memupuk rasa iri (Smith&Kim, 2007). Ketika iri itu sudah tumbuh subur di dalam diri kita, hal ini akan berimbas pada penurunan self-esteem (Smith, Parror, dkk,, 1999). Self-esteem sendiri adalah evaluasi terhadap diri. Ketika penilaian pada diri kita baik, maka kondisinya kita sedang berada di high self-esteem. Vice versa. Riset yang dilakukan juga menunjukkan bahwa depresi memiliki hubungan dengan iri, terutama jika perbandingan yang kita lakukan adalah pada yang standarnya tinggi, atau upward social comparison tersebut.

 

Lalu, bagaimana caranya supaya bisa take a step out from this kind of feelings? Akan dibahas dalam posting berikutnya, ya!**

Referensi

Helmut Appel, Jan Crusius, and Alexander L. Gerlach. (2015). Social Comparison, Envy, and Depression on Facebook: A Study Looking at The Effect of High Comparison Standards on Depressed Individuals. Journal of Social and Clinical Psychology, Vol.34, No.4, 277-289.

Hu, E. (2013, Agustus 21). Facebook Makes Us Sadder and Less Satisfied, Study Finds. Retrieved from All Tech Considered: http://www.npr.org/sections/alltechconsidered/2013/08/19/213568763/researchers-facebook-makes-us-sadder-and-less-satisfied

MA, J. R. (2015, September 23). Social Media, Social Comparison, & Mental Health. Retrieved from SMH: https://mentalhealthscreening.org/blog/social-media-social-comparisons-and-mental-health

Ph.D., D. C. (2015, Agustus 8). 3 Reasons to Stop Comparing Yourself to Others. Retrieved from Psychology Today: https://www.psychologytoday.com/blog/bouncing-back/201508/3-reasons-stop-comparing-yourself-others

Ph.D., J. F. (2013, September 3). The Hidden Dangers of Social Networks. Retrieved from Psychology Today: https://www.psychologytoday.com/blog/better-living-technology/201309/the-hidden-danger-social-networks

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun