Beberapa waktu lalu, motor yang ayah dan saya tumpangi melewati seseorang yang sedang berbicara seperti berorasi sendiri di pinggir jalan. Orang itu memiliki penampilan tidak terawat, namun masih mengenakan pakaian, dan ia hanya berdiri di sana sambil bicara seolah-olah banyak orang yang sedang mendengarkannya. Ayah saya kemudian bertanya, “Sebetulnya, kalau orang-orang yang begitu itu sakit apa, sih?”
Kemudian, di pertemuan bersama rekan-rekan sekolah saya dulu, kebetulan obrolan kami sampai pada sebuah film bertemakan gangguan jiwa. Pertanyaan yang sama muncul dari beberapa di antara mereka, “Memangnya kebanyakan orang gila itu sakit apa?”
[caption caption="Salah satu simtom: Menurunnya kemampuan mengurus diri sendiri"][/caption]
Sebelumnya, perlu diketahui, kami diajarkan untuk tidak menyebut orang gila dengan kata ‘sakit’ karena itu terkesan seperti pesakitan. Jadi, dalam hal ini kami lebih sering menggunakan istilah abnormal. Serta, istilah gila atau dalam bahasa Inggris adalah insane atau moron, lebih tepat digunakan dalam bidang hukum.
Well, jika diperhatikan belakangan ini jumlah abnormal yang berkeliaran di pinggir jalan bertambah banyak. Memang kebanyakan mereka yang ada di pinggir jalan itu bertingkah seakan memiliki dunianya sendiri. Saya akan mencoba berbagi sedikit pengetahuan saya mengenai hal yang berkaitan dengan situasi ini.
Psikosis
Orang-orang seperti mereka mungkin saja memang membayangkan dirinya sedang berorasi, bicara di depan hadirin, melihat hal-hal yang sebenarnya tidak ada (bukan gaib, ya), hingga mendengar suara-suara yang sebetulnya juga tidak ada (lagi, bukan gaib, ya). Lalu, apa yang sebetulnya sedang mereka alami?
Ketika seseorang sudah tidak bisa lagi membedakan mana yang ada di pikiran dan khayalannya dan mana yang memang nyata di dunianya, orang tersebut mengalami Psikosis. Sebetulnya, seperti yang sudah pernah saya tulis sebelumnya, untuk sampai pada tahap Psikosis ini, individu bisa saja mengalami beberapa tahap sebelumnya. Sederhananya, orang yang Psikosis adalah orang yang terputus kontaknya dengan realita. Salah satu jenis Psikosis yang cukup membingungkan dan banyak ditemukan pada mereka yang ada di pinggir jalan adalah Skizofrenia.
Skizofrenia
Satu hal lain yang cukup mengejutkan bahwa rupanya setiap dari kita ini memiliki kecenderungan gangguan jiwa dalam kadar yang sangat rendah dan masih terkendali. Ada yang punya kecenderungan manis-depresif, histerikal, sampai skizofrenia. Hanya saja, ketika hal itu tidak lagi bisa dikendalikan dan akhirnya individu putus kontak dengan dunia nyatanya, barulah ia benar-benar mengalami gangguan jiwanya. Dalam hal ini skizofrenia.
Orang yang mengalami skizofrenia bisa saja terlihat normal dan masih nyambung kalau diajak bicara. Tapi, di waktu lain, ia bisa bicara, berpikir, hingga bertindak di luar kendali, lepas dari realitasnya, sampai tidak mampu lagi self-care atau mengurus diri sendiri. Itulah yang kerap kita lihat di jalan-jalan, bahkan ada di antara mereka yang sampai tidak lagi mengenakan pakaian sama sekali.
Fakta dari studi yang menunjukkan bahwa 3 persen biaya kesehatan negara-negara dihabiskan khusus untuk menangani mereka yang mengalami Skizofrenia (Knapp, Mangalore, & Simon, 2004; Nolen, Hoeksema, 2011), seakan menjawab kenapa orang-orang gila di jalanan semakin sering kita jumpai sekarang. Biaya menangani Skizofrenia itu tidak murah. Tidak sedikit juga keluarga yang pada akhirnya menyerah serta merelakan anggota keluarganya berkeliaran di jalan-jalan. Atau kemungkinan lainnya bahwa mereka cenderung akan menyembunyikan anggota keluarganya, mengingat bahwa Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang sangat stigmatik. Biasanya, mereka yang mengalami ini akan berakhir di penjara, rumah tahanan, rumah kurungan, dan jalanan (Torrey, 2006).
Simtom-simtom Skizofrenia
Delusi, halusinasi, pikiran dan pembicaraan yang kacau, sampai perilaku katatonik adalah simtom pada Skizofrenia ini. Apa bedanya delusi dan halusinasi? Delusi adalah gangguan waham, kondisi seseorang mempercayai sesuatu yang nyaris atau bahkan sama sekali mustahil terjadi. Misalnya, meyakini bahwa ia adalah keturunan alien dari Planet Jupiter, percaya betul bahwa ia adalah intel dan banyak orang yang sedang memburunya (seperti dalam film A Beautiful Mind), dan sebagainya.
Sedangkan halusinasi adalah kondisi seseorang melihat, mendengar, merasakan sesuatu yang tidak benar-benar ada. Misalnya, seorang Skizofrenia yang mendengar bisikan untuk membunuh anaknya sendiri, melihat seseorang berdiri dan menyuruhnya untuk bunuh diri, dan sebagainya. Sedangkan katatonik sendiri berarti perilaku yang tidak terkendali, seperti tiba-tiba berlari kencang, teriak-teriak, hingga mencabuti kuku. Katatonik ini adalah respon dari delusi dan halusinasi yang mendahuluinya.
Selain itu, individu Skizofrenia juga akan mengalami penurunan hingga kehilangan emosi dalam dirinya. Bisa saja ia tidak lagi mampu mengendalikan ekspresi wajahnya. Ia juga dapat kehilangan kemampuan bicara, sampai tidak lagi bisa beraktivitas sehari-hari.
Kemungkinan Penyebab dan Hal yang Mempengaruhi Skizofrenia
Tahukah Anda bahwa faktor sosial juga berkontribusi atas Skizofrenia ini? Menurut studi, ketersediaan fasilitas untuk bisa beradaptasi kembali setelah individu mengalami Skizofrenia mempengaruhi bagaimana proses recovery berlangsung. Hal lain datang dari pendapat para ahli klinis, rupanya mereka yang mengalami Skizofrenia memiliki bawaan struktur dan fungsi otak yang berbeda dengan individu normal (Andreasen, 2001; Barch, 2005; Nolen, 2011). Kemudian, stres, genetik, dan hal lain juga berpengaruh pada kemungkinan seseorang mengalami Skizofrenia. Namun rupanya studi menunjukkan bahwa 0.5 dan 2 persen dari seluruh populasi di dunia memiliki kecenderungan untuk mengalami Skizofrenia (Gottesman, 1991).
Jika sudah seperti ini, pertanyaannya adalah “Apakah mereka yang mengalami Skizofrenia menginginkan itu terjadi pada mereka?” Jawabannya jelas tidak. Marilah kita berhenti menciptakan stigma pada orang-orang dengan gangguan kejiwaan di luar sana. Karena pada dasarnya, tidak ada satu pun individu di dunia ini yang berharap akan mengalaminya, bukan? Mereka hanya berbeda dari kita. #FightStigma
----------
Referensi:
Susan Nolen. Abnormal Psychology Fifth Edition. 2011. New York: McGraw Hill Company.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H