Mohon tunggu...
Mutiara Tyas Kingkin
Mutiara Tyas Kingkin Mohon Tunggu... Freelancer - Educators

These are my collection of words to share with you. Hopefully, it will bring a good vibe to the readers.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bersimpuh

12 Juni 2024   14:34 Diperbarui: 12 Juni 2024   17:30 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia sudah duduk hampir sembilan jam, menangis-kering-lalu bercerita-menangis kembali-kering- dan tiba-tiba tertawa. Aku melihatnya seperti orang sinting. Tapi, dari jauh sekali-aku mengikutinya yang menangis, kering, menjawab ceritanya, menangis kembali, tetapi aku tidak tertawa-aku tetap menangis.

Sebelum mereka mencabut seluruh alat bantu yang membuatku bisa bernapas-meski buatan dan terasa lebih sesak, ia sudah menangis sampai membasahi separoh kerah bajuku. Entah apa yang sebenarnya ia tangisi? Bukankah juga akan tiba kelak gilirannya, meski aku tidak akan menangisinya seperti yang dilakukannya atau mungkin kita berdua akan menangis di sebuah tempat.

Tangisnya menjadi histeris ketika mereka membawaku ke sebuah ruangan yang gelap dan lebih dingin dari sebelumnya. Aku merasakan sedikit hangat ketika seluruh kain ini menutupi badanku. Bisa kurasakan, aku sendirian-tidak masalah, aku sudah memperkirakan hari seperti ini.  

***

Bagian 1: Ramai 

Orang sibuk sekali, mereka terlihat berkelompok. Aku rasa memang seperti itu kehidupan yang ideal, kita mempunyai teman dan tidak kesepian. Di seberang mejaku, dua orang sahabat sedang berbincang begitu seru-tidak terdengar jelas apa yang dibicarakan tapi terlihat sangat akrab, yang kemudian disusul ber-swa foto dan tertawa lagi.

Di Sudut ruang dekat pintu keluar, sepasang kekasih sedang menikmati makanan yang dihidangkan di atas meja. Sesekali matanya beradu pandang, tertawa, lalu menikmati makanan masing-masing. Di sebelahnya, sekolompok remaja bermain permainan papan, bersorak, mengumpat, tertawa, lalu mengolok lawannya yang kalah-seru.

Segelas teh bunga talangku tinggal separo, sementara pekerjaanku tidak kunjung selesai. Bukan karena aku sibuk melamun mengamati orang-orang di kafe ini, tetapi karena aku memikirkan apakah cerita yang aku tulis akan punya sebuah epilog.

Bagian 2: Sepi 

Akhirnya aku bisa membaringkan tubuh di kasur yang empuk ini. Berinteraksi dengan banyak orang membuatku kehabisan energi. Kenapa mereka bisa terus tertawa sepanjang hari, melakukan banyak kegiatan dengan banyak orang-yang sebetulnya kita pernah tahu apa isi hati mereka; tulus atau hanya berpura-pura, Huffft.... Memang katanya, ketulusan itu akan terasa bahkan jika kita tidak mengungkapnnya langsung. Belum teruji benar agaknya-pasalnya, kemarin siang orang di kantorku sepanjang hari menangis karena tunangannya selingkuh dengan barista di dekat kantornya. Apakah selama mereka menjalin hubungan ketulusan yang dimaksud tidak terasa sama sekali?

Ah-sudahlah, aku hendak membersihkan diri dan kemudian tidur. Aku harus mengisi energi menjadi 100% untuk bertemu orang lain besok.

Bagian 3: Temu

Aku berjalan terburu-buru, mengejar busway dengan rute terakhir untuk menuju ke kantor. Perduli setan dengan napas yang ngos-ngosan dan rambut yang terlepas dari ikatannya. Meski keterlambatanku sampai kantor akan menjadi pusat perhatian, yang mana orang akan menjadi tahu bahwa aku sebenarnya ada di dunia ini. Tapi, bukan perhatian seperti itu yang di maksudkan kata mereka.

Benar saja, aku terlambat dan semua mata tertuju padaku. Lalu, apakah mereka peduli dibalik alasan ini? Tentu. Untuk menjadi bahan perbincangan nanti sewaktu makan siang. Ku taruh tasku dan mulai membuka laptop-hanyut dalam pikiranku sendiri di antara orang-orang.

Waktu makan siang telah tiba, kututup laptopku dan segera bergegas ke tempat makan favoriteku-menyendiri. Bukan karena, aku benar-benar ingin sendiri tetapi hal seperti ini mengapungku sudah hampir bertahun-tahun. Mereka menganggapku orang aneh-aku sendiri tidak tahu orang normal itu yang seperti apa? Apakah seperti mereka yang setiap hari membahas perputaran yang itu-itu saja.

Aku sedikit terkejut, tempat itu sudah ada yang menempati. Dia juga tengah asik menikmati makan siangnya.

"Hei... sini duduk" katanya dan menggeser posisinya. Dengan ragu aku duduk disampingnya. Sial, ini adalah tempat yang biasa aku pakai makan siang selama bekerja di sini. Tiba-tiba orang asing menempatinya dan mengajakku makan bersama.

"Mengapa kamu makan di sini? Apakah kamu tidak punya teman juga?" ucapku ragu-ah apakah ini yang membuatku terlihat aneh. Dari raut wajahnya, dia sedikit kebingunan yang disusul senyuman tipis.

"Punya, kebetulan tadi mereka mengajakku mencoba restoran baru di ujung jalan sana," dia menunjuk ke sebuah arah. "Tapi, aku lebih memilih membawa bekal dan ingin menikmatinya seorang diri."

Aku hanya mengangguk mendengar jawabannya-dan mulai membuka kotak bekalku. Menyuapkannya ke dalam mulutku dengan penuh kehati-hatian, rasanya aneh makan siang bersama dengan orang lain.

"Kau sendiri, mengapa lebih memilih makan di sini?" mulutnya penuh dengan nasi.

"Ini tempat makan siangku. Biasannya aku makan siang di sini."

"Sendiri?"

"Ya."

"Sekarang aku akan menjadi teman makan siangmu. Aku juga ingin makan di sini lagi. Sepi, tidak banyak orang."

Teman. Gumamku.

Bagian 4: Makan Siang 

"Na, ikut yuk. Kita mau makan di restoran Jepang. Baru launching juga."

"Thanks, Si. Hari ini bawa bekal." Aku mengeluarkan bekalku dan mulai berjalan ke sebuah tempat yang sepi untuk makan siang. Aku sudah melihat dia duduk di sana, tapi bekal makannya masih tertutup.

"Apa kau menungguku?"

"Tidak tahu, aku hanya baru saja selesai melamun saja saat kau datang."

"Ya sudah ayo makan."

Kami menikmati bekal makan siang. Serangkaian cerita terangkai tanpa canggung lagi. Apakah ini yang dinamakan mempunyai teman?

"Sampai berjumpai besok." Ia mengemasi wadah bekalnya dan berjalan pergi.

***

Ada seseorang berdiri di belakangku, meski aku tidak melihatnya langsung. Aku masih terus melanjutkan ceritaku, kepada sosok yang tidak mungkin menjawabku. 

Tapi, dia tetap menjadi pendengar yang baik untukku. Sebelum ia tidak akan pernah menjawabku lagi-seperti sekarang ini, ia berpesan agar aku kembali melanjutkan hidupku. Dengan huru-hara dunia orang-orang yang silih berganti, terlalu banyak tetapi tidak semuanya berarti. 

"Ayo pulang, Na. Sudah sepuluh jam kamu duduk di sini."  

Mama, Papa, kakak, dan kulihat beberapa teman-temanku berada di sini. Mama membantuku berdiri dan memelukku. Kami berjalan pulang. Ia berpesan kepadaku agar aku tetap melanjutkan hidup, sebab hidup terus berjalan-kadang tidak perduli meski kau sedang berduka. 

"Terima kasih telah menjadi teman terbaikku di bumi, Na." ucapku lirih-meski mereka tidak akan pernah mendengarku dan kini aku hanya bisa melihat punggung mereka mengecil, berjalan lebih jauh. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun