"Setiap perempuan, Nduk. Menantikan hal ini." Sejak saat itu, aku mengerti. Aku telah mengalami menstruasi. Menandakan bahwa aku akan beranjak dari masa kanak-kanakku untuk tumbuh menjadi perempuan yang lebih dewasa. Â
Aku bangun dari pangkuan simbok. Melihat wajah simbok semakin terlihat jelas garis kerutannya. "Simbok, sudah tidak punya apa-apa lagi untuk membayar hutang. Panen singkong minggu lalu hanya cukup untuk membayar bunganya saja-"
Napas simbok terdengar sangat berat, air matanya belum berhenti mengalir sedari tadi. "Dia menginginkan kamu untuk menjadi istri keempatnya...." Simbok memelukku sangat erat. Aku ikut menangis. Duh Gusti.
"Aku masih punya cincin, mbok." Bergegas aku mengambil di bawah kasurku-yang sebetulnya lebih cocok disebut triplek.
"Berikan saja ini untuk membayar hutang kita." Meski aku tahu, harga cincin itu tentu belum  bisa untuk membayar lunas hutang simbok.
Dengan cepat simbok menggeleng. "Besok simbok akan minta tolong Pakdhe Rejo untuk menghantarmu ke kota. Kamu akan tinggal bersama Nyonya Margareth, bekerja untuknya."
"Aku tidak mungkin meninggalkan simbok sendirian di sini."
"Tidak-pergilah bersama Nyonya Margareth. Simbok tidak akan pernah rela melepasmu menjadi istri keempat, Nduk." Duh Gusti Pangeran. Tak sampai hati aku mengutuk isi jagat raya atas nasib yang kami derita ini. Hatiku remuk melihat simbok. Namun, aku yakin simbok jauh lebih menderita.
Simbok memang pernah bilang kelak ingin melihatku dipinang laki-laki dan menikah. Namun, tidak untuk menjadi istri yang tidak sah atau istri keempat. Matur Nuwun, Gusti. Di Desa Januragung, menikahi anak di bawah umur atau menjadikan seorang perempuan istri kedua, ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya adalah hal yang lumrah.
Tak jarang, di sini perempuan hanya dianggap sebagai penghasil anak dan pelayan bagi suami mereka. Â Bu Widowati pernah bilang, bahwa desa ini masih terjajah oleh pemikiran patriarki, meski Indonesia sudah Merdeka sejak puluhan tahun yang lalu. Perempuan banyak yang tidak mengenyam pendidikan. Bisa belajar di balai itu sebab kebaikan hati Bu Widowati yang membuka kelas bagi anak-anak tidak mampu.
***