Mohon tunggu...
Mutiara Tyas Kingkin
Mutiara Tyas Kingkin Mohon Tunggu... Freelancer - Educators

These are my collection of words to share with you. Hopefully, it will bring a good vibe to the readers.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Genduk

16 Agustus 2023   19:40 Diperbarui: 16 Agustus 2023   19:51 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Setiap perempuan, Nduk. Menantikan hal ini." Sejak saat itu, aku mengerti. Aku telah mengalami menstruasi. Menandakan bahwa aku akan beranjak dari masa kanak-kanakku untuk tumbuh menjadi perempuan yang lebih dewasa.  

Aku bangun dari pangkuan simbok. Melihat wajah simbok semakin terlihat jelas garis kerutannya. "Simbok, sudah tidak punya apa-apa lagi untuk membayar hutang. Panen singkong minggu lalu hanya cukup untuk membayar bunganya saja-"

Napas simbok terdengar sangat berat, air matanya belum berhenti mengalir sedari tadi. "Dia menginginkan kamu untuk menjadi istri keempatnya...." Simbok memelukku sangat erat. Aku ikut menangis. Duh Gusti.

"Aku masih punya cincin, mbok." Bergegas aku mengambil di bawah kasurku-yang sebetulnya lebih cocok disebut triplek.

"Berikan saja ini untuk membayar hutang kita." Meski aku tahu, harga cincin itu tentu belum  bisa untuk membayar lunas hutang simbok.

Dengan cepat simbok menggeleng. "Besok simbok akan minta tolong Pakdhe Rejo untuk menghantarmu ke kota. Kamu akan tinggal bersama Nyonya Margareth, bekerja untuknya."

"Aku tidak mungkin meninggalkan simbok sendirian di sini."

"Tidak-pergilah bersama Nyonya Margareth. Simbok tidak akan pernah rela melepasmu menjadi istri keempat, Nduk." Duh Gusti Pangeran. Tak sampai hati aku mengutuk isi jagat raya atas nasib yang kami derita ini. Hatiku remuk melihat simbok. Namun, aku yakin simbok jauh lebih menderita.

Simbok memang pernah bilang kelak ingin melihatku dipinang laki-laki dan menikah. Namun, tidak untuk menjadi istri yang tidak sah atau istri keempat. Matur Nuwun, Gusti. Di Desa Januragung, menikahi anak di bawah umur atau menjadikan seorang perempuan istri kedua, ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya adalah hal yang lumrah.

Tak jarang, di sini perempuan hanya dianggap sebagai penghasil anak dan pelayan bagi suami mereka.  Bu Widowati pernah bilang, bahwa desa ini masih terjajah oleh pemikiran patriarki, meski Indonesia sudah Merdeka sejak puluhan tahun yang lalu. Perempuan banyak yang tidak mengenyam pendidikan. Bisa belajar di balai itu sebab kebaikan hati Bu Widowati yang membuka kelas bagi anak-anak tidak mampu.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun