"Urip iku urup, Nduk." Tangannya terasa sangat keriput saat menyentuh setiap helaian rambut di kepalaku. Baunya seperti biasanya, sedikit bau sangit dan minyak yang membaur membuatnya tercium sangat apek. Suaranya terdengar sayup-sayup di telinga-aku di ambang batas sadar dan tidur di pangkuannya. Simbok mulai menembang. Sebetulnya, aku tidak benar-benar mengerti setiap arti lagu yang dinyanyikan simbok. Tetapi, simbok selalu mengatakan-setiap lagu itu mengandung nasehat dan juga saratan doa.
Tak lelo...lelo...lelo...ledungÂ
Cup menenga aja pijer nangisÂ
Anakku sing ayu rupaneÂ
Yen nangis ndak ilang ayune
Â
Tak gadang bisa urip mulyoÂ
Dadiyo wanito kang utomo
Ngluhurke asmane wong tuwa
Dadiyo pandekaring bangsa....
Aliran darahku menjalar sangat hangat seiring belaian tangan simbok. Suaranya begitu menggema di gendang telingaku. Seluruh imajinasiku bermain di kepala. Membayangkan aku tengah berada di sebuah taman bunga. Menari-nari mengenakan dress kuning bludru peninggalan simboknya simbok. Simbok bilang, pakaian itu hanya boleh aku kenakan saat menghadiri acara penting dari mandat desa atau simbok akan lebih senang aku memakainya saat nanti ada laki-laki yang akan meminangku.
Wis cup menenga anakkuÂ
Kae mbulane ndadariÂ
Kaya butho nggegilani
Lagi nggoleki cah nangis....
Dalam bayanganku, aku terus menari-nari. Memerdekakan diri. Dari apa saja yang menjerat, dari apa saja yang membatasi, dari apa saja yang membebankan, dan dari apa saja yang merenggut kebahagiaanku saat ini. Menari dan terus menari. Memetik bunga berwarna putih, dan memakaikannya di telingaku. Aliran darahku semakin cepat-terasa lebih panas dari sebelumnya.
Tak lelo...lelo...lelo...ledungÂ
Enggal menenga ya cah ayuÂ
Tak emban slendang batik kawung
Yen nangis mundak ibu bingung...Â
Â
Mataku terbuka saat ada tetesan menjatuhi pipiku. Simbok terus melantunkan tembangnya. Diulanginya terus pada bagian lirik terakhirnya. Semakin lama suaranya lebih terdengar rengeng-rengeng.
"Kenapa menangis, mbok?"Â
"Seorang ibu, selalu mendoakan yang terbaik bagi buah hatinya."
Aku masih belum mengerti, mengapa tiba-tiba simbok menangis saat menembang. Biasanya justru simbok ikut tertidur bahkan saat lagunya belum selesai.
"Uripo mulya anakku, urip sing urup. Urip berkecukupan, nduweni kehormatan, lan urip prasaja."Â Aku hanya manggut-manggut. Tidak biasanya simbok terlihat sesedih ini.
"Umurmu sudah 15 tahun, Nduk. Sudah ada bercak darah di celana dalammu. Mulai terlihat juga lingkar dadamu. Genduk...."Â
"Ya. Mbok?" Â Tangannya terus membelai rambutku, belaiannya terasa lebih kuat-seakan-akan takut aku tidak bisa merasakan sentuhannya lagi. Simbok benar, aku sudah mengalami menstruasi. Itu ku sadari saat sedang belajar membaca di Balai Desa. Kala itu usiaku 12 tahun.
"Genduk, coba kamu tulis nomor satu itu ke depan." Bu Guru Widowati yang cantik-tapi badannya sedikit gempal, menaruh kapur putih yang tinggal sedikit itu di mejaku.
Tiba-tiba segerombolan anak yang duduk di belakang tertawa saat aku berdiri. Mereka tertawa sambil menunjuk-nunjuk rokku. "Aaaaa.... Roknya Genduk berwarna merah..." Kulihat rokku yang berwarna putih sudah dipenuhi dengan darah. Bu Widowati yang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, segera memberikan jaket tipisnya ke rokku dan menghantarku ke toilet.
Bu Widowati membantuku membersihkan darah-yang entah dari mana asalnya ini. Beliau menaruhkan banyak kain di celanaku, membuat jalanku mengganjal. Bu Widowati mengajakku duduk di sebuah ruang, yang ku ketahui itu adalah kantor untuk para petugas desa. Di sana iya memberiku minum. Aku meneguknya sampai tandas.
"Nduk, kamu sudah menjadi perempuan. Bocah ayu lan utuh." Bu Widowati mengatakannya sambil tersenyum. Menjadi perempuan katanya? Bukankah aku memang seorang perempuan? Perempuan utuh?
Sesampainya di rumah, aku menceritakan kejadian ini pada simbok. Raut wajah simbok senada dengan Bu Widowati saat kuberitahu-ada darah yang keluar di celanaku hari ini. Simbok juga bilang, aku sudah menjadi seorang perempuan. Perempuan yang bertumbuh menjadi gadis-yang lebih utuh.
"Setiap perempuan, Nduk. Menantikan hal ini." Sejak saat itu, aku mengerti. Aku telah mengalami menstruasi. Menandakan bahwa aku akan beranjak dari masa kanak-kanakku untuk tumbuh menjadi perempuan yang lebih dewasa. Â
Aku bangun dari pangkuan simbok. Melihat wajah simbok semakin terlihat jelas garis kerutannya. "Simbok, sudah tidak punya apa-apa lagi untuk membayar hutang. Panen singkong minggu lalu hanya cukup untuk membayar bunganya saja-"
Napas simbok terdengar sangat berat, air matanya belum berhenti mengalir sedari tadi. "Dia menginginkan kamu untuk menjadi istri keempatnya...." Simbok memelukku sangat erat. Aku ikut menangis. Duh Gusti.
"Aku masih punya cincin, mbok." Bergegas aku mengambil di bawah kasurku-yang sebetulnya lebih cocok disebut triplek.
"Berikan saja ini untuk membayar hutang kita." Meski aku tahu, harga cincin itu tentu belum  bisa untuk membayar lunas hutang simbok.
Dengan cepat simbok menggeleng. "Besok simbok akan minta tolong Pakdhe Rejo untuk menghantarmu ke kota. Kamu akan tinggal bersama Nyonya Margareth, bekerja untuknya."
"Aku tidak mungkin meninggalkan simbok sendirian di sini."
"Tidak-pergilah bersama Nyonya Margareth. Simbok tidak akan pernah rela melepasmu menjadi istri keempat, Nduk." Duh Gusti Pangeran. Tak sampai hati aku mengutuk isi jagat raya atas nasib yang kami derita ini. Hatiku remuk melihat simbok. Namun, aku yakin simbok jauh lebih menderita.
Simbok memang pernah bilang kelak ingin melihatku dipinang laki-laki dan menikah. Namun, tidak untuk menjadi istri yang tidak sah atau istri keempat. Matur Nuwun, Gusti. Di Desa Januragung, menikahi anak di bawah umur atau menjadikan seorang perempuan istri kedua, ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya adalah hal yang lumrah.
Tak jarang, di sini perempuan hanya dianggap sebagai penghasil anak dan pelayan bagi suami mereka. Â Bu Widowati pernah bilang, bahwa desa ini masih terjajah oleh pemikiran patriarki, meski Indonesia sudah Merdeka sejak puluhan tahun yang lalu. Perempuan banyak yang tidak mengenyam pendidikan. Bisa belajar di balai itu sebab kebaikan hati Bu Widowati yang membuka kelas bagi anak-anak tidak mampu.
***
Matahari sedang terik-teriknya bertengger di langit. Aku pergi ke Balai Desa lebih awal sebelum teman-teman datang. Bu Widowati sedang mengerjakan sesuatu di mejanya terlihat dari balik jendela kantor.
"Belum di mulai kelasnya, Nduk. Kamu datang terlalu awal." Aku hanya menggeleng kepala. "Ada apa Genduk?"
Aku memberikan selembar kertas, berisikan gambar. Aku menggambar potret diriku bersama Bu Widowati. Rupanya Bu Widowati sudah menangkap maksudku. Ia memelukku, matanya berkaca-kaca. Kemudian, ia berdiri sejajar denganku.
"Nduk, pergilah. Semoga Nyonya Margareth membuka jalanmu. Sebentar." Bu Widowati masuk ke dalam, membawakan sebuah beberapa tumpukan buku. "Bacalah."
Lengkap sudah kesedihan hatiku. Aku akan berpisah dengan guru yang mengajariku membaca, menulis, dan menghitung. Mulai sore nanti, aku sudah tidak belajar bersama teman-teman lagi di Balai Desa. Aku akan pergi ke kota-entah apa yang terjadi dalam hidupku selanjutnya.
Setibanya di rumah, Pakdhe Rejo sudah menungguku. Simbok sudah menyiapkan pakaianku. Siang ini, wajah simbok terlihat lebih tegar dari semalam.
"Mbok..."
"Pergilah, Nduk."
Tak lelo...lelo...lelo...ledungÂ
Enggal menenga ya cah ayuÂ
Tak emban slendang batik kawung
Yen nangis mundak ibu bingung...Â
Terngiang-ngiang suara simbok di kepalaku. Mengantar kepergianku.
"Siap, Nduk?" Tanya Pakdhe Rejo. Aku mengangguk.
***
Meninggalkan Desa Januragung-apakah menjadi sesuatu yang harus aku syukuri atau tidak? Meninggalkan seluruh kebiasaan atau yang mereka bilang sebagai tradisi. Salah satunya, Darah ayu, kebiasaan Desa Januragung memandikan perempuan dengan air yang ditetesi darah ayam kampung muda, dengan maksud agar cepat 'payu' jika sudah dewasa. Banyak perempuan yang rela menjadi istri kedua bahkan kelima di usia sekolah-dengan alasan sudah laku atau seperti yang menimpa aku dan simbok. Melunasi hutang.
Hutang itu milik almarhum bapak kepada Pak Dharmo. Setelah kuketahui, Pak Dharmo adalah mantan petugas Desa Januragung. Konon katanya, bapak dianggap sebagai mantan PKI. Untuk membersihkan nama itu dari tanda kependudukan perlu membayar puluhan juta-yang aku sendiri tidak tahu pasti berapa jumlahnya. Hal lain yang mengejutkan lagi, pernikahan simbok dan bapak dianggap tidak sah, karena status bapak yang seperti itu.
Di perjalanan, Pakdhe Rejo memberitahuku bahwa Nyonya Margareth adalah seorang perempuan keturunan Belanda, usianya sekitar 65 tahun. Nyonya Margareth adalah seorang perawat. Di usianya yang sudah pensiun, ia mengajar anak-anak belajar membaca dan mengenalkan Bahasa Belanda dan juga Bahasa Inggris di halaman rumahnya.
Menurut cerita Pakdhe Rejo, rumah Nyonya Margareth sangat besar dan merupakan bangunan Belanda. Banyak bunga-bunga di halaman, ada kolam ikan dengan pancuran air, lampu-lampu taman, serta jendela kaca yang besar seperti yang pernah aku lihat di buku cerita milik Bu Widowati.
"Nyonya Margareth juga punya banyak pakaian dress panjang. Semoga dia bersudi hati membaginya satu untukmu." Mendengar itu, aku tersenyum senang. Membayangkan aku akan mengenakan dress panjang selain dress kuning milikku. "Jangan merepotkan, Nyonya Margareth. Dia orang yang baik." Aku mengangguk.
Dua hari melakukan perjalanan menuju rumah Nyonya Margareth. Akhirnya, kami sampai di sebuah rumah yang bangunannya memang besar sekali seperti yang diceritakan pakdhe. Gerbangnya menjulang tinggi. Aku akan tinggal di sini, bersama seorang perempuan asing yang bukan ibuku. Seandainya aku bisa mengajak simbok turut bersama. Mendadak hatiku gundah, tidak lagi sesenang saat pakdhe bercerita.
Seorang perempuan bertubuh jangkung, berkulit putih, matanya lebih coklat dari orang di desa kebanyakkan yang ku kenal berdiri di ambang pintu. Oh, Nyonya Margareth!
(bersambung...)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H