Mohon tunggu...
Mutiara Tyas Kingkin
Mutiara Tyas Kingkin Mohon Tunggu... Freelancer - Educators

These are my collection of words to share with you. Hopefully, it will bring a good vibe to the readers.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Laut Bercerita: Menilik Sejarah Melalui Novel Fiksi

16 Agustus 2022   18:46 Diperbarui: 16 Agustus 2022   18:49 2198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matilah engkau mati 

Kau akan lahir berkali-kali...

Begitulah sajak puisi dalam novel Laut Bercerita yang dituliskan oleh salah satu tokohnya, 'Sang Penyair.' Bait puisi itu menyimpan makna yang mendalam, menggambarkan bagaimana garis hidup dan kematian sangatlah tipis, serta bagaimana menghidupi kematian atau bahkan sendi kehidupan itu sendiri.

"Apakah ini gelap yang kelak menjadi pagi;atau gelap seperti sumur yang tak menjanjikan dasar?" Prolog (hal 2).

Penggalan prolog itu mengisyaratkan akankan mereka bisa selamat dan kembali menyantap hidangan tengkleng setiap Minggu sore, atau menghilang untuk menjadi sebuah puzzle dalam kepingan sejarah? Meski sudah bertahun-tahun silam, asa, hilang, dan, kematian tetap saja masih melebur menjadi satu dalam perjuangan.

Laut bercerita, karya epic nan menguras emosi yang ditulis oleh Leila S Chudori. Berlatar belakang sejarah di Indonesia tahun 1998. Dimana orde baru menjadi cacatan tragedi yang masih membekas hingga kini. 

Dengan jiwa jurnalisnya Ibu Leila melakukan riset mendalam selama proses penulisan novel ini. Ia merekam, mewawancarai, berdiskusi, dan menulis novel Laut Berceita. Tak heran jika para pembaca emosinya sampai campur aduk turut merasakan setiap detail adegan yang dinarasikan, seakan diajak menilik kembali pada tragedi 98.

Narasinya pun dibagi menjadi dua segmen. Bagian I dituturkan oleh si Biru Laut. Pemuda dengan segala keambisiusan dan keingintahuannya yang selalu membuatnya belajar mendalami karya-karya sastra dan fotografi. Penuturan Biru Laut mengisahkan perjuangannya sebagai seorang mahasiswa aktivis 98. 

Sementara, bagian II menuturkan mengenai sudut pandang Asmara Jati adik perempuan Biru Laut, yang mana ia berusaha mengumpulkan setiap kepingan-kepingan kisah Biru laut, dan mengukirnya sebagai sejarah keabadian.

Muda Membara

Julukan yang patut disematkan bagi Biru Laut, Kinan, Sunu, Tama, Gusti, Alex, Daniel, tak luput Sang Penyair. Mereka mahasiswa yang bergejolak dalam balutan jiwa muda, menjadi perwakilan suara rakyat dalam menyerukan keadilan bagi bangsa ini. 

Membawa latar belakang masing-masing, yang membuat semangat mereka menyala-nyala di tengah terik matahari, menumpahkan seluruh energi, dan mensiasati agar kehidupan mereka dan keluarga tetap aman dalam memperjuangkan suara rakyat.

Tergambarkan ketika mereka rela bersembunyi hanya untuk membaca buku dan karya-karya dari Pak Pramoedya Ananta Toer. Kala itu bagi siapa saja yang ketahuan membaca karya beliau atau yang dianggap 'kiri' (dalam kata lain menyimpang), maka akan ditanggkap oleh apparat. 

Namun, itu tak menyurutkan Laut dan kawan-kawannya. Mereka mencari markas di Rumah Hantu Seyegan untuk berkumpul, berdiskusi, membuat karya seni, dan menyusun beberapa strategi.

Asmara di Tengah Pelik

Gejolak emosi juga akan dirasakan pembaca mengenai kisah asmara yang terjadi. Apalagi asmara mereka timbul di tengah peliknya kondisi negara Indonesia tahun 1998. Tapi, ini uniknya novel Laut Bercerita, ketika hidup sedang berkubang antara perjuangan dan kejaran intel. 

Biru Laut dan Anjani menggulirkan kisah mereka melalui seni. Di Rumah Hantu Seyegan, Anjani melukis mural di dinding yang berkondisi runyam, dengan kisah cinta Rama dan Sinta. 

Tersirat pesan dalam lukisan Anjani, mengisyaratkan tentang penculikkan, dan menjadi symbol atas kritik ideologi patriarki yang masih menyeruak di masyarakat. Biru Laut dan Anjani membakar cinta mereka dengan penuh kasih, seakan memberitahu bahwa kepahitan bisa diredam dengan adanya cinta.

Bagian II juga mempunyai rona romansanya. Asmara Jati dan Alex memadu cinta mereka di tengah trauma yang masih menyayat-nyayat. Penculikan, penyiksaan, dan kehilangan tentu bukanlah hal yang mudah untuk diterima bagi siapa saja. Begitu juga dengan Asmara sekalu adik Biru Laut, dan Alex yang juga merasakan kehilangan. 

Cinta yang timbul di antara mereka, menyisakan ruang hati yang besar untuk menerima. Asmara dan Alex melanjutkan perjuangan kawan-kawannya yang sudah tidak kembali hingga saat ini.

Relasi cinta ini semakin kompleks karena, tidak hanya dua insan adam dan hawa yang merasakannya. Namun, juga tergambarkan cinta yang dirasakan oleh para sahabat, kakak-adik, orang tua-anak, dan keluarga yang ditinggalkan. Kisah cinta ini mampu menjalar ke emosi pembaca, mereka turut merasakan bagaimana berada diposisi para karakternya.

Pengkhianatan di Balik Perjuangan

Berteriak satu suara. Menyalurkan energi secara serentak. Tetapi, siapa sangka di antara mereka masih terselubung serigala berbulu domba. Diceritakan bahwa Alex dan Gusti dalam kelompok mereka adalah sang fotografi. 

Mereka bertugas mendokumentasikan setiap agenda yang dilakukan. Namun, keduanya memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Setelah banyak hal yang dilewati, rencana, susunan strategi perjuangan, dan tuduhan yang menguar bagi siapa saja yang terlibat. 

Terbukti. Pengkhianatnya adalah ia yang suka memoto menggunakan lampu blitz. Saya tidak akan membeberkan siapa 'dalangnya' pada tulisan ini karena, Ibu Leila benar-benar menyuguhkan kisah ini penuh strategi yang dikemas melalui alur cerita yang melarut sehingga tidak mudah tertebak bagi pembacanya. Jadi, silahkan membacanya sendiri. Maka kamu akan tahu siapa pengkhianatnya.

Hidup atau Mati di Tempat Keji

              "Kedua tanganku masih terikat pada ujung setiap velbed." (hal 91)

              "Sekali lagi kepalaku disiram air dan es batu." (hal 93)

              "Si Mata Merah menyundutkan rokoknya ke lengan kananku, lengan kiri, telapak kanan, telapak kiri. Perlahan dan membakar. Aku menjerit-jerit dan dia tersenyum senang." (hal 99).

Sudah bisa membayangkan, bagaimana kondisi Biru Laut dan kawan-kawannya yang tertangkap? Ya, sejarah juga tidak bisa dipungkiri bahwa pada zaman orde baru banyak aktivis dan juga mahasiswa yang ditangkap dan disiksa. Tidak sampai disitu saja, sebagian dari mereka dihilangkan dan tidak pernah kembali lagi.

Di sinilah Biru Laut bercerita, mengenai kisahnya bersama dengan kawan-kawan aktivis yang berjuang demi tonggak keadilan. Sampai pada akhirnya satu per satu dibawa ke tempat keji untuk diksiksa dan dipaksa menuruti semua perintah tanpa adanya perlawanan. 

Di tempat keji, mereka dalam keadaan mata tertutup disertai luka lebam-lebam. Mereka hanya bertanya-tanya, kawan siapa saja yang sudah tertangkap dan disiksa, dan siapa saja yang berhasil melarikan diri.

Sedangkan dari sudut pandang keluarga dan kerabat di luar aktivis, berharap-harap cemas menunggu kepulangan anak-anak mereka. Ibu Laut, masih setia menyiapkan satu piring kosong untuk Biru Laut  dalam tradisi keluarganya yang selalu makan bersama setiap Minggu sore. Namun, nampaknya piring itu akan tetap kosong.

Harga Sebuah Perjuangan

Laut Bercerita menghantarkan kita untuk menilik sejarah bangsa Indonesia. Tahun 1998 memang menjadi sejarah bangsa Indonesia yang masih terus terkenang. Kekacauan yang melanda, membuat bangsa Indonesia melakukan pergerakkan perjuangan di negeri ini. 

Meski, kita juga harus mengetahui kepahitan bahwa sebagian dari mereka bahkan tidak akan pernah kembali selepas berjuang. Mereka yang kabarnya dihilangkan jejaknya, membuat sanak saudara dan siapa saja mempertanyakan dibawa kemana mereka? Masih hidup kah atau sudah mati?

Bagian II Laut Bercerita menjawab,

"Pada Kamis keempat, di awal tahun 2007 itu, di bawah matahari senja, di hadapan Istana Negara, kami berdiri dengan baju hitam dinaungi ratusan payung hitam. Kami tak berteriak atau melonjak, melainkan bersuara dalam diam." (hal 363).

Untuk mengenang perjuangan mereka. Aksi Kamisan menjadi pratanda bahwa perjuangan mereka sangatlah berharga, bahkan harga mati memperjuangkan hingga titik darah penghabisan. Aksi ini digelar setiap hari Kamis dengan berpakaian hitam, berpayung hitam, kacamata hitam, dilakukan di depan Istana Negara oleh korban pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia.

Fun Fact

Karya sastra yang mengusung aliran historical-fiction ini, juga dibuatkan film pendek dengan judul "Laut Bercerita." Dimana film pendek ini akan diputar ketika sedang ada event yang berlangsung, dan biasanya juga akan dihadiri oleh penulisanya langsung yaitu Ibu Leila S Chudori. Tidak hanya pemutaran film saja, tapi juga ada sesi diskusi yang sangat menarik mengenai Laut Bercerita.   

Kabar menggembirakan selanjutnya, novel Laut Bercerita kini sudah dicetak lagi dengan versi Hard Cover. Bila dalam cetakan Soft Cover-sampul depannya tergambar pemandangan bawah laut biru yang cantik, serta ada kaki terikat rantai di sebelah kiri. 

Maka, untuk versi Hard Cover nya terkesan lebih dark dengan kaki terjulur terikat rantai dan pemandangan bawah laut yang sepi. Selain itu,  versi Hard Cover (HC) terdapat tambahan surat dan illustrasi karakternya yang membuatnya semakin menarik.

Gambar oleh L.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun