Termenung di sebuah sudut ruangan sudah menjadi kebiasaan ku selama lima tahun terakhir ini. Tidak terasa sudah genap lima tahun sejak kepergian nenekku, yang juga satu satunya keluarga dan sandaran yang kumiliki. Kala itu bisa disebut sebagai masa terpurukku, karena aku benar benar kehilangan semangat dan tujuan hidup.Â
Kehidupan sebagai buruh di ibukota dengan gaji dibawah rata-rata hanya satu-satunya kegiatan yang kutekuni setiap harinya. Sisanya, aku hanya berdiam diri di dalam kamar sambil menatap langit-langit atau berjalan kaki tanpa tujuan sembari merutuki diri sendiri atas nasib yang kurasa tidak adil dibanding teman- teman seumuranku lainnya.
Aku merupakan salah satu siswa berprestasi di bangku sekolah dulu, tapi sepertinya Tuhan tidak lagi berpihak padaku setelah aku beranjak dewasa. Kehilangan nenek sudah menjadi puncak dimana aku ingin berteriak pada siapapun yang ada diatas sana dan mengakhiri kehidupanku sendiri. Sampai dimana muncul seseorang yang menawarkan diri untuk duduk dibangku yang berada persis dihadapanku di sudut kantin itu. Suasana di sana memang sedang ramai, mengingat waktu yang menunjukan waktunya makan siang. Aku tidak ingat mengucapkan satu kata pun sampai ia mengajakku bicara.
"Suka nulis?" tanyanya.
Aku hanya meliriknya sebentar dan mengangguk sebagai balasan dari pertanyaannya. Aku memang selalu membawa buku kecil yang selalu kutuliskan suasana hati dan juga kejadian-kejadian yang aku lihat dari memperhatikan orang-orang di sekitarku. Aku dapat menangkap bagaimana ia mencoba mengintip isi buku ini dari sudut mataku.
Siapa sangka, pertemuan itu menjadi awal dari segalanya. Dia membuat segalanya berubah. Dia lah seseorang yang selalu kurindukan keberadaannya, seseorang yang selalu mendukung apapun keputusanku, seseorang yang bisa menjadi tempat berkeluh kesah dan juga tempatku bersandar. Perlahan tapi pasti, ia yang tiap hari menghampiriku tanpa ada tujuan yang jelas, yang tidak bosan-bosannya mengajakku bicara walau respon yang kuberikan seharusnya cukup untuk membuat orang lain kesal.
Dia lah orang yang selalu mencoba membaca tulisanku diam-diam. Aku sempat terganggu atas keingintahuannya itu, tetapi ia selalu memuji tulisan yang bahkan aku sendiri tidak mau mengakuinya. Dia juga orang yang meyakinkanku untuk menyeriusi hobi menulisku ini. Mulai dari merapihkan tulisanku, membawa tulisanku untuk diperlihatkan kepada para penerbit, sampai buku pertamaku akhirnya rilis, dia selalu berada disampingku dan membuka mataku bahwa ini adalah apa yang selama ini aku cari dan aku impikan.
Tidak jarang juga dia berhasil membawa tawa dalam hidupku. Aku yang tadinya hanya bisa melamun dan murung, kini perlahan kembali menunjukan ekspresi lain seperti senang dan bahagia. Adapula kalanya ia membuatku marah karena tingkah iseng nan jail nya itu. Â
Terhitung sudah tiga judul buku yang kuterbitkan yang semuanya terjual lebih dari jutaan kopi dan juga tidak sekali buku-buku karanganku mencetak rekor. Aku tidak berhak membanggakan pencapaianku, karena jika bukan karenanya mungkin aku masih menjadi pecundang seperti 5 tahun lalu. Dan hari ini, aku akan menerbitkan buku keempat ku.
"Udah siap? Yuk keluar."
Ya itu dia, masih orang yang sama, masih orang yang dulu mendatangiku karena tidak ada lagi bangku yang tersedia. Tetapi, kini ia bukan lagi sekedar 'orang itu', ia adalah manager, dan juga sahabat terbaikku. Aku memang bukanlah orang yang mudah dalam mengutarakan perasaan, bahkan setelah semua yang dia lakukan, kata terima kasih yang terucap dari mulutku bisa terhitung oleh jari.
"Makasih" ucapku.Â
Aku bisa melihatnya mengerutkan kening setelah mendengar kata yang terucap entah darimana asalnya itu.
"Ha? buat apaan?" jawabnya dengan raut wajah yang terlihat kebingungan.
Aku hanya bisa membalasnya dengan melontarkan senyuman singkat dan kembali berjalan cepat mendahuluinya. Aku bisa membayangkan bagaimana ekspresinya saat ini tanpa harus menoleh kebelakang. Aku hanya bisa terkekeh saat melihatnya kini mengejarku dan meminta penjelasan atas ucapanku yang mendadak dan tidak terduga itu. Setelah sekian lama akhirnya aku tersadar, aku tidak bisa membayangkan bertahan di kehidupan yang keras ini seorang diri. Terima kasih. Terima kasih karena telah hadir di hidupku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H