Nama: Mutiara Sabiluna Salam
NIM: 191310004270
Kelas: 4 PAI A3
Dibuat sebagai tugas UTS.Â
Keikutsertaan Peran Orang Tua dalam Perkembangan Mental Anak  Berdasar
Teori Perkembangan Psikososial (Erik Erikson)
Pendahuluan
Dalam hal Pendidikan dan pengajaran, seorang anak pasti membutuhkan dukungan dari berbagai pihak terutama ibu dan ayah. Pendidikan yang diberikan orang tua harus berdasarkan pada kebutuhan tumbuh kembang anak.Â
Selain itu juga, pendidikan harus dilaksanakan dengan dukungan penuh dari orangtua, guru, masyarakat, dan lingkungan. Pendidik yaitu (orangtua dan guru) harus mampu menciptakan suasana belajar yang aman dan menyenangkan bagi anak (Aqib, 2009: 9).Â
Maka dari itu, anak harus mendapatkan pendidikan yang penuh agar pertumbuhan dan perkembangannya berjalan dengan baik hingga ia dewasa.
Setiap orang tua pastinya mengasuh anak mereka dengan suatu cara tertentu. Terkadang dalam mengasuh tentunya sulit sekali bagi orang tua untuk tidak terpancing emosi, apalagi menghadapi perilaku anak-anak yang terkadang sulit dikendalikan.Â
Dengan dalih mendisiplinkan anak, sebagian orang tua bahkan memilih untuk memperlakukan anak dengan keras. Sayangnya, memarahi, meneriaki, atau membentak anak ternyata dapat memberikan luka yang mendalam pada mental sang anak. Bahkan, luka tersebut bisa memberikan dampak yang buruk bagi psikis dan psikologis anak.
Pembahasan
Banyak yang mengatakan bahwa anak adalah miniatur dari orang dewasa. Padahal mereka betul-betul unik. Karena pada masa mereka belum banyak memiliki sejarah masa lalu. Pengalaman mereka sedikit dan sangat terbatas. Di sinilah peran orang tua yang memiliki pengalaman hidup lebih banyak sangat dibutuhkan membimbing dan mendidik anaknya dengan sebaik mungkin(Pratama Widya, Vol. 2 No. 2, 2017).
Ayah ibu sebagai orang tua anak, adalah contoh keteladanan dan perilaku bagi anak. Oleh karena itu orang tua harus berperilaku baik, saling asih, asah dan asuh. Ibu yang secara emosional dan kejiwaan lebih dekat dengan anaknya harus mampu menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya baik dalam bertutur kata, bersikap maupun bertindak.
Sementara itu sang ayah sebagai kepala keluarga juga harus mampu menjadi teladan contoh yang baik. Karena ayah yang terlibat hubungan dengan anaknya sejak awal akan mempengaruhi perkembangan kognitif, motorik, bahkan meningkatkan kemampuan yang lebih baik dari anak lain.Â
Kedekatan dengan ayah tentunya juga akan mempengaruhi pembentukan karakter anak. Begitu besarnya peran penting orang tua dalam pembentukan karakter dan tumbuh kembang anak, sudah sewajarnya apabila orang tua perlu menerapkan pola asuh yang seimbang (authoritative) pada anak, bukan pola asuh yang otoriter atau serba membolehkan (permissive).
Pola asuh yang seimbang (authoritative) akan selalu menghargai individualitas akan tetapi juga menekankan perlunya aturan dan pengaturan. Mereka dangat percaya diri dalam melakukan pengasuhan tetapi meraka sepenuhnya mengahargai keputusan yang diambil anak, minat dan pendapat serta perbedaan kepribadiannya. Orang tua dengan pola asuh model ini, penuh dengan cinta kasih, mudah memerinci tetapi menuntut tingkah laku yang baik.
Tegas dalam menjaga aturan bersedia memberi hukuman ringan tetapi dalam situasi hangat dan hubungan saling mendukung. Mereka menjelaskan semua tindakan dan hukuman yang mereka lakukan dan minta pendapat anak. Anak dari orang tua yang demikian akan merasa tenang dan nyaman. Mereka akan menajadi paham kalau mereka disayangi tetapi sekaligus mengerti terhadap apa yang diharapkan dari orang tua. Jadi anak sejak pra-sekolah akan menunjukkan sikap lebih mandiri, mampu mengontrol dirinya, biasa bersikap tegas dan suka eksplorasi.
Kondisi yang demikian itu tidak akan didapatkan anak bila orang tuanya menerapkan pola asuh otoriter atau permisif. Karena anak-anak di bawah asuhan otoriter akan menjadi pendiam, penakut dan tidak percaya pada diri mereka sendiri. Sementara anak-anak yang diasuh dengan model permisif akan menjadi anak yang tidak mengenal aturan dan norma serta tidak memiliki rasa tanggung jawab. Dengan berkaca pada kondisi saat ini, sudah saatnya orang tua sekarang mengambil peran lebih untuk mengembangkan karakter dan memberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang secara optimal agar anak menjadi manusia berkualitas.
Menurut Erikson, masyarakat memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan psikososial seorang individu. Peranan ini dimulai dari pola asuh orangtua hingga aturan atau budaya masyarakat (Miller, 1983). Berikut ini merupakan tahapan perkembangan psikososial seorang individu (Desiningrum, 2012: 34-35).
Kepercayaan vs Ketidakpercayaan (usia 0-1 tahun).
Pada tahap ini harus belajar menumbuhkan kepercayaan pada oranglain.
Otonomi vs Malu dan Ragu-Ragu (usia 1-3 tahun).
Pada tahap ini anak mulai belajar kemandirian (otonomi), seperti makan atau minum sendiri. Jika anak tidak berhasil pada tahap ini karena selalu ditegur dengan kasar ketika proses belajar, maka anak akan menjadi pribadi yang pemalu dan selalu ragu-ragu dalam melakukan sesuatu.
Inisiatif vs Rasa Bersalah (usia 3-6 tahun).
Pada tahap ini anak mulai memiliki gagasan (inisiatif) berupa ide-ide sederhana. Jika anak mengalami kegagalan pada tahap ini, maka ia akan terus merasa bersalah dan tidakmampu menampilkan dirinya sendiri.
Kerja Keras vs Rasa Inferior (usia 6-12 tahun).
Pada tahap ini anak mulai mampu berkerja keras untuk menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik. Jika pada tahap ini anak tidak berhasil, maka kedepannya anak akan menjadi pribadi yang rendah diri (minder) dan tidak mampu menjadi pemimpin.
Identitas vs Kebingungan Identitas (usia 12-19 tahun).
Pada tahap ini individu melakukan pencarian atas jati dirinya (identitasnya). Jika ia gagal pada tahap ini, mak ia akan merasa tidak utuh.
Keintiman vs Isolasi (usia 20-25 tahun).
Pada tahap ini individu mulai keintiman psikologis dengan oranglain. Jika ia gagal pada tahap ini, maka ia akan merasa kosong dan terisolasi.
Generativitas vs Stagnasi (usia 26-64 tahun).
Pada tahap ini individu memiliki keinginan untuk menciptakan dan mendidik generasi selanjutnnya. Jika ia tidakberhasil dalam tahap ini, maka ia akan merasa bosan dan tidak berkembang.
Integritas vs Keputusan (usia 65 tahun ke atas).
Pada tahap ini individu akan menelaah kembali apa saja yg sudah ia lakukan dan ia capai dalam hidupnya. Jika ia berhasil pada tahp ini, maka ia akan mencapai integritas (penerimaan akan kekurarangan diri, sejarah kehidupan, dan memiliki kebijakan), sebaliknya jika ia gagal, maka ia akan merasa menyesal atas apa yg telah terjadi dalam hidupnya
Seperti dalam kasus berikut ini :
Singkat cerita, ada seorang anak yang dimarahi orang tuanya karena hanya mendapat ranking 3 dikelas, Bukankah seharusnya orang tua si anak tersebut lebih baik memberikan dukungan dan apresiasi kepada anaknya karena sudah mencapai sebuah prestasi yang baik. Bukan malah sebaliknya memarahinya dengan tidak sepatutnya. Bisa jadi dengan respon orang tua yang semacam itu akan membuat mental si anak down, tidak bersemangat dalam mencapai suatu apapun terkait dengan hal akademis, karena anak-anak mudah mengingat apa yang telah dilakukan orang tua kepadanya. Sehingga dia mungkin enggan menunjukkan lagi keberhasilannya didepan orang tuanya,. Hal tersebut menjadi bukti anak kerap kali dituntut orang tua untuk selalu menjadi yang terbaik. Namun, bila target tidak sesuai kenyataan bagaimana seharusnya orang tua mulai menyikapi anak?
Solusi
Melihat dari contoh kasus diatas, dapat dijelaskan bahwa memarahi anak tidak membentuk mental anak menjadi kuat,melainkan anak tersebut nantinya berpotensi menjadi pribadi yang senang 'melawan', tak memiliki kepercayaan pada keluarga, dan berpotensi memiliki keinginan untuk keluar dari lingkungan keluarga mencari lingkungan baru. Bahaya bukan?
Apalagi bila itu dilakukan sejak kecil, nantinya dia punya bayangan trauma ke depannya, karena di usia yang sedini itu anak sangat membutuhkan kehangatan, rasa aman, dari keluarganya.
Mengapa bisa terjadi hal semacam itu? Nah disini pentingnya orang tua dalam mendidik anak tidak dengan memarahi anak meskipun dengan tujuan untuk mendisplinkan anak. Mungkin pandangan orang tua hal-hal seperti mengingatkan dengan keras dianggap seorang anak itu seolah memarahinya. Bukan kah seorang anak ahli mengingat yuang dilakukan orang tua nya. Dampaknya anak tersebut menjadi tidak percaya diri dan enggan berusaha menambah potensi belajarnya,karena orang tua dengan mudahnya tidak mendukung prestasi anak meskipun hasilnya kurang sesuai menurut orang tua.
Sesuai dengan Teori Erik Erikson dalam tahapan perkembangan psikososial yang salah satunya adalah Kerja Keras vs Rasa Inferior (usia 6-12 tahun). Pada tahap ini anak mulai mampu berkerja keras untuk menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik. Jika pada tahap ini anak tidak berhasil, maka kedepannya anak akan menjadi pribadi yang rendah diri (minder) dan tidak mampu menjadi pemimpin.
Anak yang sudah terlibat aktif dalam interaksi sosial akan mulai mengembangkan suatu perasaan bangga terhadap identitasnya. Kemampuan akademik anak yang sudah memasuki usia sekolah akan mulai berkembang dan juga kemampuan sosialnya untuk berinteraksi di luar keluarga.
Jadi, dukungan dari orang tua dan gurunya akan membangun perasaan kompeten serta percaya diri, dan pencapaian sebelumnya akan memotivasi anak untuk mencapai pengalaman baru. Sebaliknya kegagalan untuk memperoleh prestasi penting dan kurangnya dukungan dari guru dan orang tua dapat membuat anak menjadi rendah diri, merasa tidak kompeten dan tidak produktif.
Kesimpulan
Keluarga adalah lingkungan yang pertama dan utama dikenal oleh anak, jadi dalam lingkungan keluargalah watak dan kepribadian anak akan dibentuk yang sekaligus akan mempengaruhi perkembangannya di masa depan. Di mata anak, orang tu (ayah ibu) adalah figur atau contoh yang akan selalu ditiru oleh anak-anaknya. Oleh sebab itu, ayah ibu harus mampu memberi contoh yang baik pada anak-anaknya, memberi pengasuhan yang benar serta mencukupi kebutuhankebutuhannya dalam batasan yang wajar. Dengan memainkan peranan yang benar dalam mendidik dan mengasuh anak, anak akan tumbuh dan berkembang secara optimal. Dan yang tidak kalah pentingnya, anak akan tumbuh menjadi anak yang berkarakter tidak mudah larut oleh budaya buruk dari luar serta menjadi anak yang berkepribadian baik sebagai aset generasi penerus bangsa di masa depan.
Daftar Pustaka
Aqib, Zainal. 2009. Belajar dan Pembelajaran di Taman Kanak-Kanak. Bandung: CV. Yrama Widya.
Desiningrum, Dinie Ratri. 2012. Psikologi Perkembangan I. Semarang: Universitas Diponegoro.
Ernawulan syaodin, mubiar Agustin.2012.Bimbingan Konseling untuk Anak Usia Dini.Universitas Terbuka.
Miller, P. H. 1983. Theoris of Development Psychology. New York: W. Freeman and Company.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H