Pada tahap ini individu akan menelaah kembali apa saja yg sudah ia lakukan dan ia capai dalam hidupnya. Jika ia berhasil pada tahp ini, maka ia akan mencapai integritas (penerimaan akan kekurarangan diri, sejarah kehidupan, dan memiliki kebijakan), sebaliknya jika ia gagal, maka ia akan merasa menyesal atas apa yg telah terjadi dalam hidupnya
Seperti dalam kasus berikut ini :
Singkat cerita, ada seorang anak yang dimarahi orang tuanya karena hanya mendapat ranking 3 dikelas, Bukankah seharusnya orang tua si anak tersebut lebih baik memberikan dukungan dan apresiasi kepada anaknya karena sudah mencapai sebuah prestasi yang baik. Bukan malah sebaliknya memarahinya dengan tidak sepatutnya. Bisa jadi dengan respon orang tua yang semacam itu akan membuat mental si anak down, tidak bersemangat dalam mencapai suatu apapun terkait dengan hal akademis, karena anak-anak mudah mengingat apa yang telah dilakukan orang tua kepadanya. Sehingga dia mungkin enggan menunjukkan lagi keberhasilannya didepan orang tuanya,. Hal tersebut menjadi bukti anak kerap kali dituntut orang tua untuk selalu menjadi yang terbaik. Namun, bila target tidak sesuai kenyataan bagaimana seharusnya orang tua mulai menyikapi anak?
Solusi
Melihat dari contoh kasus diatas, dapat dijelaskan bahwa memarahi anak tidak membentuk mental anak menjadi kuat,melainkan anak tersebut nantinya berpotensi menjadi pribadi yang senang 'melawan', tak memiliki kepercayaan pada keluarga, dan berpotensi memiliki keinginan untuk keluar dari lingkungan keluarga mencari lingkungan baru. Bahaya bukan?
Apalagi bila itu dilakukan sejak kecil, nantinya dia punya bayangan trauma ke depannya, karena di usia yang sedini itu anak sangat membutuhkan kehangatan, rasa aman, dari keluarganya.
Mengapa bisa terjadi hal semacam itu? Nah disini pentingnya orang tua dalam mendidik anak tidak dengan memarahi anak meskipun dengan tujuan untuk mendisplinkan anak. Mungkin pandangan orang tua hal-hal seperti mengingatkan dengan keras dianggap seorang anak itu seolah memarahinya. Bukan kah seorang anak ahli mengingat yuang dilakukan orang tua nya. Dampaknya anak tersebut menjadi tidak percaya diri dan enggan berusaha menambah potensi belajarnya,karena orang tua dengan mudahnya tidak mendukung prestasi anak meskipun hasilnya kurang sesuai menurut orang tua.
Sesuai dengan Teori Erik Erikson dalam tahapan perkembangan psikososial yang salah satunya adalah Kerja Keras vs Rasa Inferior (usia 6-12 tahun). Pada tahap ini anak mulai mampu berkerja keras untuk menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik. Jika pada tahap ini anak tidak berhasil, maka kedepannya anak akan menjadi pribadi yang rendah diri (minder) dan tidak mampu menjadi pemimpin.
Anak yang sudah terlibat aktif dalam interaksi sosial akan mulai mengembangkan suatu perasaan bangga terhadap identitasnya. Kemampuan akademik anak yang sudah memasuki usia sekolah akan mulai berkembang dan juga kemampuan sosialnya untuk berinteraksi di luar keluarga.
Jadi, dukungan dari orang tua dan gurunya akan membangun perasaan kompeten serta percaya diri, dan pencapaian sebelumnya akan memotivasi anak untuk mencapai pengalaman baru. Sebaliknya kegagalan untuk memperoleh prestasi penting dan kurangnya dukungan dari guru dan orang tua dapat membuat anak menjadi rendah diri, merasa tidak kompeten dan tidak produktif.
Kesimpulan