Keabsahan perjanjian pinjaman online diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, ada empat syarat sahnya suatu perjanjian:
1.Kesepakatan: Para pihak harus sepakat untuk mengikatkan diri.
2.Kecakapan: Para pihak harus cakap hukum.
3.Objek yang jelas: Objek perjanjian harus jelas dan tidak bertentangan dengan hukum.
4.Causa yang halal: Alasan atau tujuan perjanjian harus sah.
Dalam konteks pinjaman online, perjanjian dianggap sah jika memenuhi syarat-syarat tersebut. Namun, sering kali perjanjian ini bersifat baku, di mana pihak penyelenggara telah menentukan syarat dan ketentuan yang harus diterima oleh debitur tanpa adanya negosiasi.
Perlindungan Hukum bagi Debitur dan Kreditur
Perlindungan hukum dalam pinjaman online mencakup dua aspek utama: perlindungan preventif dan represif.
1.Perlindungan Preventif: Ini dilakukan sebelum terjadinya sengketa. Pihak penyelenggara harus memberikan informasi yang jelas mengenai syarat dan ketentuan pinjaman, termasuk bunga, denda, dan hak serta kewajiban masing-masing pihak. Hal ini penting untuk memastikan bahwa debitur memahami risiko yang dihadapi sebelum mengambil pinjaman.
2.Perlindungan Represif: Ini dilakukan setelah terjadinya sengketa. Jika terjadi perselisihan, debitur dan kreditur memiliki hak untuk mengajukan keluhan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau lembaga penyelesaian sengketa lainnya. OJK berperan dalam mengawasi dan mengatur praktik pinjaman online untuk melindungi konsumen dari praktik yang merugikan.
Konsep Pinjaman/Kredit Online