"Mbak Mutiara, kamu gapapa, tadi bapak lihat di berita, kereta yang kamu naiki nabrak mobil ya di daerah Tambun?"
Sebuah notifikasi WhatsApp terlihat menyembul di layar ponsel saya. Ternyata, itu dari bapak yang bertanya soal kecelakaan kereta yang saya naiki. Sebagai orang tua, jelas, beliau khawatir dengan kondisi saya.Â
Di pintu gerbong nomor 3 kereta api Argo Sindoro CC 206 13 52, saya mulai mengambil beberapa gambar dan mengirimkan ke orang tua saya di rumah, agar mereka tak cemas.Â
Masih ingat rasanya kala itu, saya bersama dengan penumpang lain harus menunggu lebih dari 1 jam di kereta. Saya yang sejak awal belum makan apapun serta ada acara dalam waktu dekat merasa cukup was-was.Â
Selama menunggu proses evakuasi mobil, saya bertemu dengan teman baru. Sampai saat ini, kami masih saling berinteraksi melalui ponsel. Namanya Bu Marta. Beliau berasal dari Kota Semarang.
Bu Marta bercerita bahwa ini pertama kalinya beliau naik kereta sejak 20 tahun terakhir. Ini juga pertama kalinya beliau pergi ke Jakarta untuk mengunjungi anaknya yang berkuliah di sebuah PTN di Jakarta.Â
Selama 1 jam kami saling ngobrol. Bu Marta bercerita, terakhir ia naik kereta jarak jauh tujuan Cirebon. Suasananya sangat berbeda. Dulu, interior kereta tidak serapi saat ini. Penumpang pun masih bisa keluar masuk stasiun meski tanpa tiket.Â
Cerita perubahan-perubahan itulah yang membuat Bu Marta dan saya bisa terkoneksi satu sama lain. Saat kecil, saya juga pernah merasakan jadi penumpang yang bercampur dengan pedagang asongan, pedagang ayam, penumpang tanpa tiket. Tepatnya ketika naik KRD (Kereta Rel Diesel) dari Pekalongan ke Kendal.Â