"Bang, ada gak sih komunitas sejarah yang bisa diajak kolaborasi dengan sekolah. Soalnya biar anak-anak paham dulu sejarah lokal di tempat kelahirannya"Â (Bu Wardah---Guru Sejarah)Â
***
Berita kecelakaan study tour beberapa waktu lalu sempat meresahkan para orang tua di rumah. Banyak orang mengkritisi kebijakan pemerintah mengenai aturan layak tidaknya sebuah kendaraan beroperasi.Â
Ketika keresahan itu sampai ke media sosial, berbagai macam orang berkomentar. Kemudian, muncul sebuah pernyataan dari pemerintah daerah bahwa study tour akan dihilangkan.Â
Bagaimana nih kalau study tour dihilangkan, kamu pihak yang pro atau kontra?
Sebagai seorang kakak, saya termasuk pro dengan kebijakan itu, sebab keluarga saya memang bukan termasuk orang yang mudah mencari biaya untuk kegiatan tersebut.Â
Dengan demikian, tidak adanya kegiatan study tour membuat keluarga bisa saving dana pendidikan untuk aktivitas lain. Namun begitu, saya juga gak akan salty bila ada orang yang kontra apabila study tour dihapuskan.Â
Di sekolah adik saya, di Kabupaten Pekalongan, study tour sudah tidak ada lagi. Ya, semenjak merebak Covid-19, beberapa sekolah di Jawa Tengah mulai meniadakan aktivitas keluar kota.Â
Meski begitu, saya juga paham bahwa seandainya tak ada study tour, berarti para siswa tak memiliki kesempatan untuk refreshing dan berfoto bersama teman-teman ke lokasi wisata.Â
Padahal, bisa jadi, jalan-jalan ke luar kota menjadi cara untuk healing, ditengah hiruk-pikuk pembelajaran di sekolah. Jika sudah begini, enaknya gimana ya?Â
Beberapa waktu lalu, saya mengikuti kegiatan jelajah heritage Kota Pekalongan. Kegiatan itu diadakan sebagai bagian dari perayaan hari jadi Kota Batik yang ke-118.Â
Jelajah heritage diikuti oleh peserta dari berbagai kalangan. Ada masyarakat biasa, mahasiswa, para guru sejarah, dosen, blogger hingga perwakilan komunitas lokal dengan total 40 peserta.Â
Aula museum Batik, menjadi titik kumpul sekaligus registrasi peserta. Panitia mengatakan, aktivitas jelajah heritage bakal dilakukan pukul 15.00-16.00 WIB.Â
Nah, karena acara itu berada di bulan ramadan, sehingga disediakan pula makanan untuk berbuka puasa. So, setelah trip selesai, kami diminta berkumpul kembali di Aula pukul 16.30 WIB.Â
Apa benefit ikut kegiatan tersebut, Ra?Â
Selain mendapat hiburan dan teman, kami juga memperoleh pengetahuan mengenai sejarah beberapa sudut Pekalongan yakni kawasan Jetayu.Â
Dulu, kawasan Jetayu merupakan lokasi penting bagi pemerintahan Indonesia dan Belanda. Gak heran, kawasan ini sarat dengan gedung-gedung peninggalan masa kolonial.Â
Jalan-jalan pertama, kami menuju Tugu MylPaal yang berada di depan tulisan 'Km 0 Pekalongan'. Ini merupakan salah satu spot berfoto bagi wisatawan yang berkunjung ke area Jetayu.Â
Pak Arif Dirhamzah selaku narasumber menjelaskan bahwa tugu MylPaal berfungsi sebagai penanda pembangunan jalan pada masa Daendels.Â
Dulu, sekitar tahun 1600-an area tugu MylPaal masih berupa hutan lebat. Pak Dirham menunjukkan sebuah gambar pepohonan dan badak dengan jumlah lebih dari tiga.Â
Artinya? Zaman dulu, Pekalongan pernah jadi tempat hidup para badak dan (mungkin) binatang langka lainnya. Sedih juga sebenarnya tahu fakta bahwa badak-badak itu telah punah dan tak meninggalkan banyak catatan.Â
Setelah menikmati cerita soal badak dan tugu MylPaal, kami kemudian menuju ke gedung besar berarsitektur kolonial. Bangunan tersebut merupakan rumah Eks Residen (Bakorwil) Pekalongan.Â
Saat ini, bangunan tua tersebut tak terpakai dan tak terawat. Pak Dirham mengatakan bahwa lukisan yang ada di dalamnya hilang dicuri oleh orang tak bertanggungjawab.
Ironisnya, tak ada tindak lanjut untuk mencari keberadaannya. Sedih sekali mendengar kenyataan mengenai "Aset Berharga" Pekalongan itu hilang begitu saja.Â
Sekitar pukul 17.00 (meleset dari jadwal yang direncanakan), kami kembali ke aula Museum Batik. Kami berdiskusi dan tanya jawab mengenai apapun yang berhubungan dengan trip tipis tadi.Â
Ketika sesi diskusi dibuka, salah satu peserta yakni seorang guru sejarah bernama Bu Wardah tertarik mengetahui lebih lanjut kegiatan Jelajah Sejarah beserta komunitasnya.Â
Guru SMA tersebut bermaksud mengajak siswa-siswanya mengenal langsung sejarah lokal melalui komunitas atau orang yang ahli pada bidang tersebut. Kebetulan Pak Dirham merupakan pegiat sejarah Pekalongan.Â
"Siswa-siswa di sekolah kalau saya tanya sejarah Kota Pekalongan, rata-rata mereka gak tahu, bahkan tugu MylPaal termasuk peninggalan sejarah saja, belum banyak yang paham gitu. Sayang kan kalau siswa tahu sejarah nasional dan dunia, tapi gak paham sejarah lokal"
Dari diskusi, saya jadi berpikir, meskipun siswa-siswi belajar sejarah di sekolah, tapi belum tentu mereka paham sejarah lokal yang ada di kota mereka.Â
Itu dibuktikan dengan pernyataan Bu Wardah, ketika anak-anak ditanya soal tugu MylPaal di Kota Pekalongan, sebagian tak tahu bentuk, lokasi, maupun asal usulnya.  Apalagi lokasi-lokasi sejarah yang lain. Padahal MylPaal berada di pusat kota lho!Â
Mungkin benar pepatah "Gajah di pelupuk mata tidak tampak, semut di seberang lautan tampak". Anak-anak belajar sejarah secara luas, melalui buku, bisa, namun belum tentu mereka mengetahui sejarah lokal di kota sendiri.Â
Dengan demikian, jika study tour ke kota lain memang ditiadakan, ada baiknya diganti dengan kegiatan yang lebih edukatif dan melokal, salah satunya membuat lokal study trip ke tempat-tempat tertentu yang bersejarah.Â
Harapannya, anak-anak didik bukan hanya mempelajari sejarah secara luas, tapi juga memahami sejarah lokal kota kelahirannya sendiri.Â
***
Baiklah kawan, itu dia uneg-uneg saya mengenai trip lokal dalam kota. Selain membuat siswa jadi paham sejarah kota kelahirannya, juga berpotensi menghidupkan wisata lokal di dalam kota. Bagaimana menurut kalian?Â
Salam hangat dari Nurul Mutiara R A
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H