Mohon tunggu...
Nurul Mutiara R A
Nurul Mutiara R A Mohon Tunggu... Freelancer - Manajemen FEB UNY dan seorang Blogger di www.naramutiara.com

Seorang Perempuan penyuka kopi dan Blogger di http://www.naramutiara.com/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Menunda Menikah, Jalan Tengah Ketika Belum Siap Mental dan Finansial

11 Maret 2024   12:30 Diperbarui: 12 Maret 2024   01:15 972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Belum menikah bukanlah aib (ilustrasi: Pixabay/452345) 

Usia kamu kan udah dewasa, kok gak nikah-nikah sih Mbak. Jangan kebanyakan milih, nanti jadi perawan tua lho!"

Kalimat-kalimat sudah sering saya dengar, baik dari keluarga sendiri, tetangga, maupun teman-teman terdekat yang sudah menikah. Memang, pemilihan katanya tidak plek-ketiplek seperti itu. Tapi setidaknya kata "kapan nikah" selalu mencuat ketika kumpul-kumpul keluarga terjadi.

Hayoo, sering juga kah kalian mendengar kalimat yang sama? (Bagi yang sekarang masih jomlo biasanya). Kalau pernah, berarti kita satu angkatan hehe

Saya sendiri sebenarnya tak terlalu memikirkan kondisi saya yang belum menikah. Saya sadar, secara mental dan finansial, saya belum pantas menyandang gelar menjadi seorang istri dan ibu. 

Pernah merasakan sulitnya kehidupan saat kecil, membuat saya berpikir tak ingin memberi situasi yang sama pada anak saya kelak. Tak bisa beli jajan, tak bisa mendapat asupan bernutrisi dan pernah merasakan perut keroncongan saat di sekolah (karena tak punya uang saku). 

Tapi bukan berarti saya gak mau menikah ya. Saya mau menikah kok, hanya saja jika waktunya sudah tepat. Menunda menikah bukanlah aib bagi para jomlo usia dewasa. Bagi saya, menunda menikah justru jalan tengah agar bisa mempersiapkan semuanya.

Menikah bukan sebuah kompetisi kan? Menikah bukan sebuah standar yang harus dilakukan pada usia tertentu. Menikah itu cara bagi manusia untuk berbagi rasa dan melanjutkan keturunan. 

Bicara mengenai pernikahan, beberapa hari lalu, media massa mengabarkan bahwa terjadi angka penurunan pada pernikahan dari tahun 2018 hingga tahun 2023. Penurunan paling terlihat terjadi dalam tiga tahun terakhir. Dari tahun 2021 hingga 2023 yakni menyusut sebanyak 2 juta.

"Mengapa terjadi penurunan angka pernikahan?"

Pertanyaan di atas cukup menarik untuk dikulik. Sebelumnya, penurunan angka pernikahan hingga memiliki anak terjadi di negara seperti Jepang dan Korea Selatan.

Tahun 2023, angka pernikahan di Jepang mencapai titik terendah selama 90 tahun terakhir, yaitu sebanyak 489.281 pernikahan. Padahal jumlah orang meninggal di Jepang terus meningkat yaitu lebih dari 1,59 juta jiwa. Bila kondisi ini tak mendapat solusi tepat, Jepang akan kehilangan banyak penduduknya.

Beberapa alasan orang Jepang dan Korea Selatan tak mau menikah,

Pertama. Soal karier. Begitu kerasnya persaingan di Jepang dan Korea Selatan membuat anak-anak muda Jepang fokus ke karier ketimbang menikah.

Kedua. Masih ada anak-anak muda yang menjadi generasi sandwich sehingga mereka lebih memilih mengurus orangtua atau saudara terlebih dahulu.

Ketiga. Biaya hidup di Jepang dan Korea Selatan yang semakin mahal, sehingga menjalin hubungan dianggap beban.

Keempat. Beberapa anak muda Jepang dan Korea Selatan mengalami masalah komunikasi dan bersosialisasi dengan lawan jenis.

Itulah 4 alasan yang mendasari anak-anak muda di Jepang maupun di Korea Selatan enggan untuk menikah. Besarnya tantangan hidup ala negara maju membuat mindset tentang pernikahan berubah.

"Lalu, bagaimana dengan di Indonesia?"

Menurut data BPS yang dinukil dari RRI.co.id, angka pernikahan di Indonesia pada 2021 sebesar 1.742.049, kemudian pada 2022 turun menjadi 1.705.348, dan pada 2023 kembali turun 1.577.255.

Kok Indonesia juga mengalami penurunan pernikahan ya? Mungkinkah anak-anak muda Indonesia juga mengalami problematika yang sama seperti di dua negara Asia Timur tersebut? 

Yup, bisa jadi. Alasan finansial, masih menjadi generasi sandwich, trauma masa lalu hingga mental belum stabil mungkin saja penyebab angka pernikahan menurun 3 tahun belakangan. 

Mengapa Kesiapan Mental dan Finansial Dibutuhkan? 

Dalam sebuah pernikahan, mental yang sehat dan finansial yang stabil ternyata sangat dibutuhkan. Berkaca dari banyaknya kasus Baby Blues yang dialami para ibu, terlihat bahwa perempuan membutuhkan persiapan mental sebelum memiliki anak. 

Data dari BKKBN menunjukkan bahwa 57 % ibu di Indonesia mengalami sindrom baby blues, tertinggi se-Asia. Wow, miris juga ya persentase angkanya? 

"Eh, memangnya sindrom baby blues itu ada ya? Palingan itu cuma akal-akalan si istri untuk nyari perhatian suami?"

Saya pernah menemukan seorang lelaki komen kalimat seperti itu di Instagram sebuah akun parenting. Kesal dan heran bacanya. Kok bisa lho masih ada yang berpikir bahwa baby blues itu tidak nyata. 

Ilustrasi kesiapan mental bagi seorang ibu (Pixabay/one life)
Ilustrasi kesiapan mental bagi seorang ibu (Pixabay/one life)

Baby blues sendiri merupakan gangguan kesehatan mental yang dialami wanita pasca melahirkan. Perempuan yang mengalami sindrom tersebut akan mengalami perubahan suasana hati, seperti gundah dan sedih secara berlebihan.

Pada kasus terparah, perempuan yang mengalami baby blues bisa melukai diri sendiri maupun bayinya. Ia berpikir bahwa bayinya merupakan penyebab terjadi problematika dalam hidup si perempuan.

Tanda-tanda bila seorang perempuan mengalami baby blues,

  • Merasa lelah sehingga ibu terlihat tak terurus
  • Gampang tersinggung, marah, dan cemas.
  • Sering murung dan sedih
  • Sering menangis sendirian
  • Kehilangan nafsu makan.
  • Tak bisa tidur dengan nyaman
  • Merasa kewalahan dengan tugas bayi.
  • Kesulitan berkonsentrasi

Bagi perempuan yang memiliki suami pengertian, sindrom ini bisa diatasi dengan cepat. Kasih sayang maupun dukungan bisa menjadi obat paling mujarab. 

Namun berbeda jika punya pasangan abai terhadap pengetahuan mengenai baby blues. Itu bisa memperparah mental si perempuan. Sebab, tiada dukungan agar bisa pulih. 

Tak heran, demi menghindari risiko terkena sindrom baby blues, diperlukan kesehatan mental yang baik untuk kedua pasangan. Termasuk literasi mengenai pernikahan harus diperdalam sebelum menikah. 

Well, ini masih bicara dari sisi perempuan. Belum ketika berbicara dari sisi laki-laki. Laki-laki juga perlu mempersiapkan mental sebelum menikah. Tujuannya supaya gak kaget kalau menghadapi masalah yang tak bisa diprediksi. 

Pernah membaca postingan dari Quora mengenai laki-laki yang tak mau membuat makanan dan kopi sendiri. Padahal si istri tengah menggendong anaknya yang menangis. 

Menurut si suami, pekerjaan rumah tangga seperti mengurus anak, menyiapkan makan, mencuci dan membuat kopi seharusnya dilakukan oleh perempuan. Itu bentuk pelayanan terhadap suami.

Nah, pemikiran-pemikiran semacam inilah yang membuat pernikahan rentan terjadi konflik. Seandainya mental menghadapi ketegangan-ketegangan seperti ini tak dipunyai, bisa jadi perceraian menjadi pilihan ekstrem. Maka dari itu, mental yang kuat dan stabil harus dipersiapkan. 

Next, about financial, why it is so important? 

Tak dipungkiri kalau kesiapan finansial harus jadi pijakan ketika hendak menikah. Di masa mendatang, ada banyak biaya-biaya yang perlu dikeluarkan pasangan suami istri untuk menunjang kehidupan. Misalnya yang paling dekat, biaya melahirkan. 

Setidaknya, pasangan yang hendak menikah telah memiliki rencana untuk 10 tahun mendatang. Misal soal tempat tinggal, tabungan dan juga segala biaya untuk kepentingan rumah tangga ke depan. 

Penyebab perceraian, ekonomi menjadi alasan nomor dua (Sumber: Katadata)
Penyebab perceraian, ekonomi menjadi alasan nomor dua (Sumber: Katadata)

Bagi sebuah keluarga, finansial stabil merupakan dasar pertama untuk meminimalisir terjadinya konflik. Jangan sampai menikah hanya bermodal cinta dan nekat. Dijamin, itu gak menutup kemungkinan membuka prahara rumah tangga kedepannya.

Mengapa saya mengatakan demikian? 

Yup, sudah banyak pengalaman dari orangtua, kerabat, tetangga hingga teman-teman di media sosial yang mengamini bahwa kematangan finansial sebelum berumah tangga itu penting.

Kesimpulan

Semakin ke sini, manusia menghadapi berbagai tantangan hidup. Banyaknya anak muda yang menjadi generasi sandwich menjadi salah satu alasan menunda pernikahan, termasuk saya.

Pernikahan tidak bisa dibangun hanya berdasar cinta atau nekat saja. Tetapi harus dibangun dari persiapan matang dan niat yang baik. Persiapan matang bisa dalam bentuk kesehatan mental dan juga kestabilan finansial sedangkan niat baik bisa berupa penguasaan literasi sebelum dan pasca menikah.

Mengapa? Sebab, menikah merupakan momen krusial yang akan dijalani seumur hidup. Selama menikah, idealnya manusia ingin mendapatkan kebahagiaan lahir batin dengan mencintai pasangannya. 

So, kalau saat ini kamu berada di fase belum menikah karena belum memiliki persiapan apapun. Tidak apa-apa. Itu bukan aib. Menunda menikah merupakan jalan tengah yang bisa kita pilih hingga mental dan finansial siap. Thats it!

Salam hangat dari Nurul Mutiara R A

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun