Mohon tunggu...
Nurul Mutiara R A
Nurul Mutiara R A Mohon Tunggu... Freelancer - Manajemen FEB UNY dan seorang Blogger di www.naramutiara.com

Seorang Perempuan penyuka kopi dan Blogger di http://www.naramutiara.com/

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Jika Beras Mahal, Siapkah Mengganti ke Sumber Karbohidrat yang Lain?

20 Februari 2024   09:08 Diperbarui: 22 Februari 2024   01:33 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Neg durung mangan sego, rasa ne koyo durung mangan. Padahal, mau wis gawe mie instan" (Kalau belum makan nasi, rasanya seperti belum makan. Padahal tadi sudah bikin mie instan)

Begitulah kira-kira jawaban yang pernah saya dengar dari orang tua, adik, tetangga, teman bahkan orang-orang posting di media sosial. Nasi masih menjadi sumber karbohidrat utama ketika makan. Tanpa nasi, beberapa orang merasa belum makan.

Bahkan ada sebuah postingan video lucu dari warganet ketika membeli Pizza, ia memakannya bersama sepiring nasi. Pas saya lihat, pikiran hanya berkata, "Hello Kak, itu karbo semua, lho!"

Namun kemudian, saya juga sadar. Orang Indonesia makan kadang lebih mengutamakan kenyang daripada volume gizi yang seimbang. Tapi, apapun itu, saya juga gak bisa menyalahkan. Soalnya saya juga kadang makan mie dicampur nasi. Sama gak tuh! 

Berbicara soal beras sebagai sumber karbohidrat, akhir-akhir ini cukup membuat pusing kepala. Bagaimana tidak, harga beras merangkak naik dari yg semula Rp 11.000-12.000 menjadi Rp 15.000-16.000. Itu masih kualitas standar belum premium. 

Di berbagai warung kelontong maupun minimarket, keberadaan beras cukup langka. Momennya hampir mirip ketika minyak goreng langka. Mungkin ini terjadi karena panic buying. Takut kehabisan bahan karbohidrat untuk makan.

Sebenarnya, apa yang membuat beras harganya merangkak naik?

Saya membaca artikel dari Okezone.com dan menemukan ada 4 faktor yang membuat harga beras naik sehingga menimbulkan kelangkaan. 

Pertama. Fluktuasi harga pangan

Harga beras maupun kebutuhan pokok lain bergantung pada fluktuasi harga pangan dunia. Ketidakstabilan akibat gagal panen dan perubahan iklim juga membuat pasokan kian menipis.

"Harga beras di seluruh negara di dunia itu sekarang naik, tidak hanya di Indonesia saja. Di semua negara harganya naik. Kenapa naik? Karena ada yang namanya perubahan iklim, perubahan cuaca sehingga banyak yang gagal panen" Kata Presiden Jokowi. 

Kedua. Terjadi penurunan produksi dan ketersediaan

Akhir-akhir ini merasakan sendiri bagaimana iklim menjadi tak menentu. Musim kemarau terasa lebih lama dibanding musim hujan. Tak heran bila produksi beras di Indonesia mengalami penurunan yang disebabkan oleh gagal panen karena kemarau ekstrem.

Adanya kendala tersebut berdampak pada ketersediaan, yang bermuara pada ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran. Hal ini menjadi pemicu utama kenaikan harga beras dan kelangkaan di pasaran.

Ketiga. Harga gabah melonjak.

Sejak Maret 2023, diketahui bahwa harga gabah melonjak di tingkat petani melebihi standar HPP (Harga Pembelian Pemerintah) yang telah diberikan.

Tercatat, Harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani naik menjadi Rp7.100 per kg dan tingkat penggilingan naik menjadi Rp7.420 per kg. Harga Gabah Kering Giling (GKG) ditingkat penggilingan naik menjadi Rp8.200 per kg. 

Keempat. Manajemen Perberasan yang Tidak Efektif

Berdasar Reynaldi Sarijowan selaku Sekjen Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) yang dikutip dari Okezone.com, sejak masa tanam tahun 2022, manajemen perberasan yang dilakukan pemerintah belum efektif dan satu informasi. Adanya data yang simpang siur menyoal produktivitas beras berimbas pada kenaikan dan kelangkaan beras.

Baiklah itu dia beberapa faktor penyebab harga beras naik. Bila kondisi ini tak digubris serius, kenaikan harga beras bisa berlangsung lama. 

Padahal beras merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat Indonesia. Imbas yang terasa bila harga beras melambung, ada pada warung-warung nasi hingga dapur rumah tangga masyarakat.

Bisa jadi, masyarakat akan mengurangi jatah makan sehari dari 3 kali menjadi 2 kali. Tentu, ini dimaksudkan untuk menghemat pengeluaran beras. Selain itu, harga sebungkus nasi di warung juga bisa berubah lebih mahal. 

Semisal, di Warung Padang yang semula Rp 10.000 bisa menjadi Rp 12.000. Hmm, bagi kaum irit dan mendang-mending seperti saya, kenaikan harga Rp 2000 tentu bakal membuat dompet kian lunglai. 

Lantas, gimana ya solusi supaya beras bisa terganti ketika harganya melonjak naik? 

Menarik. Yup, sangat menarik. Kira-kira masyarakat Indonesia pecinta beras siap gak ya bila mengganti karbohidrat selain beras? Jawabannya tentu siap gak siap. Mengapa? Lidah kita sudah terbiasa makan beras sebagai sumber karbohidrat. Sejak kecil lho! 

Jelas, perubahan pola konsumsi karbohidrat dari nasi ke sumber lainnya tidaklah mudah. Katakanlah singkong. Sering saya menemukan singkong dijadikan camilan, bukan sebagai makanan besar. 

Lucunya, meski sudah makan singkong se-baskom pun, otak akan merasa belum makan. Paling tidak, itu yang pernah adikku katakan ketika ia memakan singkong goreng dengan jumlah banyak. Belum kenyang, katanya. 

Memang, mengubah kebiasaan mengonsumsi nasi ke singkong atau mie bukan perkara gampang. Perlu pembiasaan yang tak selekas. Bisa jadi bertahun-tahun. 

Saya pribadi, mulai mengonsumsi mie bila di rumah tak ada beras. Tapi awalnya memang gak mudah. Sebab, makan mie bakal cepet merasa lapar. Kadang, otak mikir kalau itu cuma sekadar camilan, layaknya makan seblak. 

Mungkin, seandainya singkong dibentuk seperti beras dan disajikan layaknya nasi jagung, itu bakal sedikit mengubah persepsi masyarakat perihal makanan pokok.

Kalau saya pribadi, jika hendak mengganti karbohidrat, perlu mencari tanaman pangan yang jumlahnya melimpah dan berharga murah. Misalnya singkong atau ketela pohon. 

Singkong memiliki jumlah melimpah dan mudah ditanam di pekarangan manapun. Bahkan, saking mudahnya hidup, sampai tercipta lagu Kolam Susu dari Koes Plus yang membahas tanaman singkong secara tersirat,

"Orang bilang tanah kita tanah surga Tongkat kayu dan batu jadi tanaman"

Mudahnya singkong hidup, jumlahnya melimpah dan berharga murah, menjadikan ia layak dikembangkan sebagai alternatif pangan pengganti nasi (seandainya beras mahal). Mungkin, jika dimodifikasi, singkong bisa jadi sumber karbo lezat nan menarik layaknya nasi.

Ilustrasi Nasi Tiwul (gambar: Sonora.id) 
Ilustrasi Nasi Tiwul (gambar: Sonora.id) 
Saya pernah makan tiwul yang berasal dari Gunung Kidul. Hampir sama seperti nasi, tiwul juga mengenyangkan. Hanya saja, tiwul yang saya makan berasa manis karena diberi gula merah. 

Coba kalau tiwul dibuat seperti rasa nasi, lalu disajikan bersama lauk-pauk layaknya ikan, telur atau sayur. Saya yakin bisa menggantikan fungsi beras yang harganya mahal. 

Bagaimana dengan mie sebagai alternatif pengganti karbohidrat selain nasi?

Kalau mie, bisa jadi pengganti nasi juga layaknya singkong, tapi Indonesia bukan negara produsen gandum sehingga bisa jadi mie juga mengalami kelangkaan jika harga gandum naik. 

Baiklah, itu dia uneg-uneg saya mengenai sumber karbohidrat lain di luar beras. Saya sebenarnya cukup cemas dan gemas melihat harga beras yang melambung tinggi hingga mulai langka di pasaran.

Meski begitu, pada sisi yang lain, saya juga perlu memahami kondisi yang ada. Nah, kalau menurut kalian para foodie lover, bersedia gak kalau menjadikan singkong sebagai pengganti nasi saat harga beras mahal dan langka? Atau, kalian punya rekomendasi pangan pengganti beras yang lain?

Salam sehat selalu dari Nurul Mutiara R A

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun