Jelas, perubahan pola konsumsi karbohidrat dari nasi ke sumber lainnya tidaklah mudah. Katakanlah singkong. Sering saya menemukan singkong dijadikan camilan, bukan sebagai makanan besar.Â
Lucunya, meski sudah makan singkong se-baskom pun, otak akan merasa belum makan. Paling tidak, itu yang pernah adikku katakan ketika ia memakan singkong goreng dengan jumlah banyak. Belum kenyang, katanya.Â
Memang, mengubah kebiasaan mengonsumsi nasi ke singkong atau mie bukan perkara gampang. Perlu pembiasaan yang tak selekas. Bisa jadi bertahun-tahun.Â
Saya pribadi, mulai mengonsumsi mie bila di rumah tak ada beras. Tapi awalnya memang gak mudah. Sebab, makan mie bakal cepet merasa lapar. Kadang, otak mikir kalau itu cuma sekadar camilan, layaknya makan seblak.Â
Mungkin, seandainya singkong dibentuk seperti beras dan disajikan layaknya nasi jagung, itu bakal sedikit mengubah persepsi masyarakat perihal makanan pokok.
Kalau saya pribadi, jika hendak mengganti karbohidrat, perlu mencari tanaman pangan yang jumlahnya melimpah dan berharga murah. Misalnya singkong atau ketela pohon.Â
Singkong memiliki jumlah melimpah dan mudah ditanam di pekarangan manapun. Bahkan, saking mudahnya hidup, sampai tercipta lagu Kolam Susu dari Koes Plus yang membahas tanaman singkong secara tersirat,
"Orang bilang tanah kita tanah surga Tongkat kayu dan batu jadi tanaman"
Mudahnya singkong hidup, jumlahnya melimpah dan berharga murah, menjadikan ia layak dikembangkan sebagai alternatif pangan pengganti nasi (seandainya beras mahal). Mungkin, jika dimodifikasi, singkong bisa jadi sumber karbo lezat nan menarik layaknya nasi. Saya pernah makan tiwul yang berasal dari Gunung Kidul. Hampir sama seperti nasi, tiwul juga mengenyangkan. Hanya saja, tiwul yang saya makan berasa manis karena diberi gula merah.Â
Coba kalau tiwul dibuat seperti rasa nasi, lalu disajikan bersama lauk-pauk layaknya ikan, telur atau sayur. Saya yakin bisa menggantikan fungsi beras yang harganya mahal.Â
Bagaimana dengan mie sebagai alternatif pengganti karbohidrat selain nasi?