Mohon tunggu...
Nurul Mutiara R A
Nurul Mutiara R A Mohon Tunggu... Freelancer - Manajemen FEB UNY dan seorang Blogger di www.naramutiara.com

Seorang Perempuan penyuka kopi dan Blogger di http://www.naramutiara.com/

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Nasi Megono, Bentuk Kesederhanaan Masyarakat Pekalongan dalam Sajian Kuliner Lokal

16 Februari 2024   21:13 Diperbarui: 17 Februari 2024   11:03 1052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Megono khas Pekalongan (sumber : Blog Prajnavita)

"Ra, di deket kosku ada yang jual Nasi Megono lho, kamu gak kangen apa sama makanan asal daerahmu?" Kata seorang teman sepulang dari kampus.

"Lho, kok tahu kalau Nasi Megono itu kuliner dari kotaku?" Tanyaku

"Lha gak tahu gimana? Wong udah terkenal juga kalau jual nasi Megono berarti penjualnya dari Pekalongan kok. Emang ada po, Megono dari kota lain?"

***

Setiap mendengar kata Megono, saya selalu ingat masa berada di Sekolah Dasar. Saat itu sekitar tahun 2000 ketika harga nasi bungkus masih Rp 1000 dan gorengan Rp 200.

Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, sebungkus nasi Megono hangat selalu menemani saya mengganjal perut. Rasanya nikmat minta ampun. 

Bagi masyarakat Pekalongan, nasi bungkus adalah nasi yang di dalamnya pasti ada Megono. Megono Pekalongan juga berbeda dari megono-megono di kota lain. Lho, bedanya apa, Ra? 

Megono ala Pekalongan terbuat dari cacahan nangka muda yang dimasak bersama parutan kelapa, kecombrang, daun jeruk purut dan bumbu-bumbu lain. Jika baru diangkat dari kukusan, beuhhh, aroma kecombrang begitu kuat menerpa hidung. 

Mulanya, Megono berasal dari Kabupaten Pekalongan. Lalu meluas hingga ke Kota Pekalongan, Batang, Pemalang, Wonosobo, Kendal dan lainnya. 

Megono di tiap kota biasanya akan memiliki bahan utama yang berbeda-beda. Persamaannya, ada campuran parutan kelapa di dalamnya.

Kebetulan saya pernah memakan Megono dari bahan dasar sayur kacang panjang dan buncis. Hampir serupa dengan urap namun berbeda bumbu. Waktu itu saya menemukannya di Kota Kendal.

Tak peduli bahan apa yang digunakan untuk membuat Megono. Intinya, kata "Megono" selalu mengantarkan ingatan pada saya mengenai tanah kelahiran dan masa kecil yang penuh tantangan.

Masih ingat rasanya ketika pagi hari, saya diminta ibu menuju ke penjual nasi langganan, membawa uang Rp 5000. Berbekal uang Rp 5000 tersebut, saya sudah bisa membeli 3 bungkus nasi, 2 mangkok bubur dan 5 tempe goreng. 

Dalam 1 bungkus isinya, nasi lumayan banyak, Megono, Mie Kenyol dan Orek-orek (oseng tempe). Sederhana bukan? Tapi rasanya jangan ditanya, sangat nikmat. Terlebih ketika dimakan masih hangat dalam kondisi perut lapar.

Mengenal Megono sebagai Makanan Zaman Penjajahan

Anak zaman now mungkin mengenal Megono hanya sebagai kuliner khas Pekalongan. Padahal, Megono lebih dari sekadar itu. Foodie unik yang satu ini punya nilai sejarah dan budaya tersendiri. 

Nilai sejarah dan budaya memulai terciptanya Megono sebagai hidangan para pejuang. Megono berasal dari kata bahasa Jawa merga (karena) dan ana (ada). 

Megono dibuat sebagai pengganjal perut para pasukan Kesultanan Mataram di bawah pimpinan Bahureksa yang hendak berperang melawan VOC di Batavia pada tahun 1628.

Masa-masa perang tentu bukan hal yang mudah. Perekonomian rakyat yang masih kocar-kacir kala itu membuat bahan makanan sangat sulit didapat.

Suatu waktu, rombongan pasukan Mataram memasuki wilayah Kabupaten Pekalongan untuk beristirahat di perkampungan penduduk dalam kondisi kelelahan dan lapar. 

Melihat itu, masyarakat merasa simpati ingin membantu para pasukan yang sudah terkulai lemas. Mereka berusaha mengumpulkan bahan makanan sebisanya. 

Namun, dengan kondisi yang serba terbatas para penduduk hanya mendapatkan kerak nasi tanpa adanya sayur. Inisiatif untuk mencari sayur pun muncul. Diperolehlah nangka muda yang saat itu menjadi buah yang banyak ditanam masyarakat Kabupaten Pekalongan.

Nangka muda yang telah dikumpulkan diolah menjadi cacahan kecil-kecil, kemudian dicampurkan kelapa parut, kecombrang, dan bumbu lainnya. Kemudian, semuanya dikukus menjadi satu dan jadilah Megono.

Megono Pekalongan, cacahan nangka muda yang dimasak dengan cara dikukus (dok.pri) 
Megono Pekalongan, cacahan nangka muda yang dimasak dengan cara dikukus (dok.pri) 

Semenjak itu makanan ini disebut dengan Megono yang merupakan singkatan dari Mergo Ono, yang berarti "yang ada". Penduduk cuma memiliki nangka muda yang melimpah dan dapat dijadikan hidangan untuk pasukan Mataram.

Meskipun sederhana, cuma berbahan dasar cacahan nangka muda, parutan kelapa dan bumbu seadanya. Nyatanya, mengonsumsi Megono bisa jadi sumber tenaga bagi pasukan untuk memperkuat ketahanan fisik. 

Sejak saat itulah, Megono akhirnya dikenal oleh penduduk Kabupaten Pekalongan dan pamornya tersebar keluar wilayah. Hingga ia dijadikan salah satu makanan khas karena mudah ditemukan di tiap warung nasi. 

So, jangan heran kalau berada di Kota Jakarta, Surabaya, Bandung atau Jogja, ada warung bertulis "Nasi Megono", kemungkinan besar penjualnya berasal dari Pekalongan.

Bisakah Megono Naik Kelas Suatu Hari Nanti?

Megono merupakan kuliner lokal yang sederhana namun memiliki nilai bagi masyarakat Pekalongan. Setiap ada acara besar seperti pernikahan, sunatan, 7 bulanan, pengajian, dan lain sebagainya, Megono wajib ada membersamai nasi dan lauk lainnya. Tak heran kalau cacahan nangka muda, gampang ditemukan di pasar maupun pinggir jalan.

BTW, meski Megono sangat lekat dengan masyarakat Pekalongan, namun makanan ini tak bisa dijadikan oleh-oleh ke kota yang letaknya jauh. Why? Itu karena, Megono merupakan makanan basah. Ia terbuat dari nangka muda dan kelapa parut sehingga mudah busuk. Nasi Megono hanya bisa bertahan selama 3-4 jam saja.

Suatu hari, saya pernah ditanya teman kosan tentang oleh-oleh khas Pekalongan. Ia bertanya  mengenai oleh-oleh yang bisa dimakan. Jelas saya bingung menjawabnya. Sebab, Pekalongan tak seperti Kebumen yang memiliki lanting (makanan kering). 

Beberapa kuliner Pekalongan sifatnya basah dan hanya bisa dimakan di tempat. Katakanlah seperti Megono, Garang Asem, Pindang Tetel, Krico (keong sawah) atau Mie Kenyol yang bisa bertahan hanya beberapa jam saja. 

Terkadang, melihat kenyataan bahwa Pekalongan kudu punya kuliner khas, saya ingin sekali bisa menjadikan Megono naik kelas. Yakni terlahir sebagai makanan yang bisa dijadikan oleh-oleh. Misalnya, Megono kering yang dikemas di dalam kaleng, layaknya sarden.

Aih, sepertinya bakal unik. Memang, tak semua orang doyan Megono karena wujudnya yang kurang menarik. Tapi bila dikembangkan, siapa tahu, Megono bisa berubah jadi makanan yang berkelas dan dicari para wisatawan saat berkunjung ke kota batik. 

Hmmm, kira-kira kapan yang Megono bisa naik kelas? Seandainya bisa, lumayan kan, Pekalongan bakal dikenal bukan dari Batiknya saja tetapi juga kuliner Megononya yang unik.

Saya yakin, seandainya Megono lebih diperkenalkan, itu juga akan menambah ragam kuliner yang dimiliki negeri ini sebagai bagian travel story. Siapa tahu, 20 tahun ke depan, Megono bisa dikenal dunia layaknya Nasi Goreng atau Rendang. Iya gak?

Sekian dari Nurul Mutiara R A, salam dari Kota Pekalongan. 

Sumber bacaan : 1, 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun