Kebetulan saya pernah memakan Megono dari bahan dasar sayur kacang panjang dan buncis. Hampir serupa dengan urap namun berbeda bumbu. Waktu itu saya menemukannya di Kota Kendal.
Tak peduli bahan apa yang digunakan untuk membuat Megono. Intinya, kata "Megono" selalu mengantarkan ingatan pada saya mengenai tanah kelahiran dan masa kecil yang penuh tantangan.
Masih ingat rasanya ketika pagi hari, saya diminta ibu menuju ke penjual nasi langganan, membawa uang Rp 5000. Berbekal uang Rp 5000 tersebut, saya sudah bisa membeli 3 bungkus nasi, 2 mangkok bubur dan 5 tempe goreng.Â
Dalam 1 bungkus isinya, nasi lumayan banyak, Megono, Mie Kenyol dan Orek-orek (oseng tempe). Sederhana bukan? Tapi rasanya jangan ditanya, sangat nikmat. Terlebih ketika dimakan masih hangat dalam kondisi perut lapar.
Mengenal Megono sebagai Makanan Zaman Penjajahan
Anak zaman now mungkin mengenal Megono hanya sebagai kuliner khas Pekalongan. Padahal, Megono lebih dari sekadar itu. Foodie unik yang satu ini punya nilai sejarah dan budaya tersendiri.Â
Nilai sejarah dan budaya memulai terciptanya Megono sebagai hidangan para pejuang. Megono berasal dari kata bahasa Jawa merga (karena) dan ana (ada).Â
Megono dibuat sebagai pengganjal perut para pasukan Kesultanan Mataram di bawah pimpinan Bahureksa yang hendak berperang melawan VOC di Batavia pada tahun 1628.
Masa-masa perang tentu bukan hal yang mudah. Perekonomian rakyat yang masih kocar-kacir kala itu membuat bahan makanan sangat sulit didapat.
Suatu waktu, rombongan pasukan Mataram memasuki wilayah Kabupaten Pekalongan untuk beristirahat di perkampungan penduduk dalam kondisi kelelahan dan lapar.Â
Melihat itu, masyarakat merasa simpati ingin membantu para pasukan yang sudah terkulai lemas. Mereka berusaha mengumpulkan bahan makanan sebisanya.Â
Namun, dengan kondisi yang serba terbatas para penduduk hanya mendapatkan kerak nasi tanpa adanya sayur. Inisiatif untuk mencari sayur pun muncul. Diperolehlah nangka muda yang saat itu menjadi buah yang banyak ditanam masyarakat Kabupaten Pekalongan.