Mohon tunggu...
Nurul Mutiara R A
Nurul Mutiara R A Mohon Tunggu... Freelancer - Manajemen FEB UNY dan seorang Blogger di www.naramutiara.com

Seorang Perempuan penyuka kopi dan Blogger di http://www.naramutiara.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Guru Harus Bebas dari Sifat Bully, Setuju?

21 November 2023   13:27 Diperbarui: 24 November 2023   01:31 758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Guru mengajar. (Sumber gambar : Pixabay/Tumisu)

"Halah, Mbak, masak kayak gitu aja gak bisa. Kamu kan harusnya belajar gak plongo-plongo kayak gitu"

Pernahkah ada seorang guru yang berkata seperti ini di sekolah atau di kelasmu? Jika tidak, maka bersyukurlah. Sebab, karakter guru semacam ini benar-benar membuat stress. Ngeri dampaknya. 

Pengalaman mendapat guru dengan karakter demikian pernah aku rasakan ketika SMP dan SMA. Bertemu dengan guru yang punya kebiasaan membuli siswanya yang tak terlalu mahir dalam pelajaran. 

Saya memang bukan siswa yang mendapat bulian itu. Pembulian itu dilakukan oleh salah satu guru terhadap teman satu kelas saya. Sebut saja namanya Astri. 

Sekilas tentang Astri. Dia termasuk anak yang pandai di bidang olahraga. Kalau main bola basket atau voli, beuhhh, jangan ditanya, jagoan pokoknya. Namun, si Astri ini cukup lemah dalam pelajaran Bahasa Asing. 

Nah, salah satu guru yang akan saya ceritakan ini mengampu mata pelajaran Bahasa Asing. Perlu diketahui bahwa sekitar tahun 2010, di SMA masih ada kelas bahasa sehingga tersedia mata pelajaran bahasa asing selain bahasa inggris. Misal Bahasa Perancis atau Bahasa Arab. Kalau sekarang sudah tidak ada, diganti perminatan.

Oke back to the story. Suatu hari, Astri ini mendapat giliran menjawab soal untuk mengubah kalimat yang semula memakai Bahasa Indonesia ke Bahasa Asing, ia tak bisa. Guru saya itu hanya meringis dengan muka yang tak enak dipandang. 

Lalu, diberikanlah kesempatan ke siswa lain hingga pada akhirnya ada yang bisa menjawab pertanyaan tersebut. Kemudian, guru saya ini nyeletuk, 

"Masak jawab soal semudah itu aja gak bisa. Kalian cuma bisanya plonga-plongo, ketip ketip gak jelas. Sebenarnya kalian itu tiap hari belajar apa sih?" kata guru saya dengan nada tinggi dan setengah mengejek. 

Anak-anak di kelas hanya diam membisu. Saya dan lainnya hanya mendengarkan celoteh beliau panjang kali lebar. Esoknya, cerita 'ketidakmampuan' Astri menjawab soal itu sudah sampai ke ruang guru dan kelas-kelas lainnya. 

Ya, guru yang satu ini sering menceritakan berbagai hal saat ia mengajar, baik jelek ataupun baik. Kalau kamu siswa yang pandai di mata pelajarannya, beliau akan menceritakan kepandaianmu, tapi apesnya, kalau kamu siswa yang tak mahir dalam mata pelajarannya, beliau juga bakal menceritakan ke seluruh kelas. 

Tentu saja, itu berita buruk bagi Astri. Semenjak saat itu, tiap bertemu si guru, Astri hanya diam memendam kesal. Sebenarnya, tiap siswa juga merasakan hal yang sama. Kami berharap, di kelas 3 nanti, pelajaran Bahasa Asing itu dihilangkan agar tak bertemu guru yang sama.

Alhamdulillah, ketika kami naik kelas 3, kami mendapat mata pelajaran Bahasa Asing yang berbeda. Otomatis, gurunya akan berbeda pula. Satu kelas, bersorak minta ampun, seolah baru mendapat hadiah besar. 

Menyoal Guru Pembuli

Tak bisa dimungkiri bahwa di dunia ini, ada berbagai karakteristik guru di sekolah. Ada guru yang punya karakter baik dan disukai oleh siswa, ada juga guru dengan karakter yang tidak disukai siswa.

Guru pembuli merupakan salah satu contoh yang tidak disukai siswa. Bukannya membuat suasana kelas menjadi menyenangkan, yang ada para siswa malah takut dan merasa stress selama pelajaran. 

Pengalaman diajar guru dengan karakter pembuli membuatku pernah membenci hari. Alasannya, karena pada hari itu guru tersebut mengajar di kelas. Sepertinya, teman-teman satu angkatan saya juga merasa demikian.

Saya tak tahu mengapa ada guru dengan karakter demikian. Idealnya, guru merupakan sosok orang tua kedua bagi anak-anak. Itu berarti, guru harus bisa menjaga perasaan anak didiknya layaknya orang tua.

Menukil dari Kompas.com, Guru besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Prof Dinn Wahyudin memberikan salah satu contoh sikap guru yang bisa membuka peluang bullying di sekolah yakni mengomentari bentuk tubuh siswanya. Itu bernilai body shaming.

Mulanya body shaming dianggap candaan yang bisa digunakan untuk merelaksasi suasana kelas. Tapi bila diteruskan, itu bisa jadi kebiasaan. Guru bisa secara tidak sadar menjadi pembuli bagi siswanya. Padahal, tindakan body shaming sangat menyakitkan bagi yang menerima.

Salah satu contoh pembulian yang tidak sadar dilakukan guru misalnya pada video viral anak yang membawa bekal ulat sagu.

Screenshoot video di instagram
Screenshoot video di instagram

"Ulat ini ulat, kebangetan sudah 2023 lauknya masih ulat," (Kata si guru dengan Bahasa jawa)

Kalimat tersebut mungkin terlihat biasa saja. Tapi bayangkan bila itu diterima oleh anak yang punya sifat sensitif dan insecure yang tinggi, kalimat tersebut akan mendorong anak untuk menutup diri. 

Makanan dari ulat sagu yang sebenarnya biasa saja. Bakal dianggap menjijikan oleh satu kelas. Gak heran, teman-teman si anak banyak yang mengeluarkan kalimat-kalimat yang kurang enak didengar. Seandainya guru tersebut mengatakan hal ini di kelas, maka saya yakin persepsi mengenai ulat sagu bisa berubah.

"Lho, bawa ulat sagu untuk makanan. Enak gak, Nak? Ulat sagu tuh punya gizi yang tinggi, jangan salah. Anak-anak, di beberapa wilayah di indonesia, ulat sagu dijadikan lauk lho!"

Memang, setelah viral dan banyak netizen yang berkomentar pedas, si guru akhirnya minta maaf. Ia mengakui tak berniat membuli, hanya kaget karena ada anak didiknya membawa ulat sagu yang notabene merupakan kejadian langka.

Berdasar Psikolog, Ayank Gustiana M.Psi, Psi yang dinukil dari mommiesdaily.com, ada beberapa alasan guru membully siswanya, berdasar faktor psikologis, biologis hingga sosial. 

Faktor biologis, misalnya guru yang secara fisik lelah, lapar, capek umumnya menjadi lebih sensitif terhadap situasi, misalnya muridnya berisik atau sulit untuk dinasihati.

Secara psikologis, berkaitan dengan emosi dan pengendalian dalam diri si guru, pengalaman masa lalu, kepribadian guru yang temperamen, rendahnya konsep menghargai orang lain, atau punya masalah dengan anger management issue maupun masalah psikologis lain.

Secara sosial, bisa jadi karena pengaruh latar belakang keluarga, latar belakang pendidikan, kondisi finansial, minimnya dukungan rekan kerja dan sekolah.

Nah, itu dia beberapa alasan yang melatarbelakangi seorang guru bisa melakukan pembulian kepada siswanya di kelas. Melalui tulisan ini, saya hanya ingin berbagi uneg-uneg mengenai guru dan praktik pembulian yang pernah saya alami atau ketahui. 

Saya hanya prihatin bila pembulian masih ada di dunia pendidikan. Seperti apapun, praktik semacam ini akan terus berlanjut jika tidak ditangani secara serius oleh sekolah maupun pembuat kebijakan Pendidikan.

Bersyukurnya, saat ini banyak sekali diklat, webinar atau pelatihan untuk para guru yang disediakan oleh Kementerian Pendidikan. Upaya-upaya tersebut saya yakin bertujuan untuk menciptakan pendidik, bukan hanya cakap dalam akademis tetapi juga akhlak.

Sebagai masyarakat biasa yang memiliki adik masih sekolah, saya hanya berharap bahwa tidak ada lagi guru pembuli yang menghancurkan mental para siswa di kelas. Yup, guru harus bebas dari sifat membuli walaupun bulian tersebut bernilai sebagai candaan. Setuju?

Salam hangat dari Nurul Mutiara R A 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun