Mohon tunggu...
Nurul Mutiara R A
Nurul Mutiara R A Mohon Tunggu... Freelancer - Manajemen FEB UNY dan seorang Blogger di www.naramutiara.com

Seorang Perempuan penyuka kopi dan Blogger di http://www.naramutiara.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

The Power of Life: Menerima Perubahan dan Memilih Hidup dengan Kebajikan

12 Agustus 2022   09:19 Diperbarui: 12 Agustus 2022   09:33 1050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : wanaswara

Perubahan itu sesuatu yang pasti. Layaknya roda, ia akan terus berputar. Kadang berada di atas dan kadang berada di bawah. Meski demikian, dalam perubahan hidup selalu ada pilihan. Pilihan untuk berbuat kebajikan atau sebaliknya.

Cinta yang tulus adalah sebentuk kebajikan. Apalagi bila cinta itu diberikan tanpa syarat. Tanpa meminta imbalan, tanpa melihat rupa dan tanpa melihat perbedaan. Meski terjadi perubahan zaman, cinta itu akan tetap dikenang.

Ah, memangnya ada cinta yang sedemikian rupa? Ada donk. Yuk simak!  

Kisah cinta kali ini bukan mengenai kehidupan sepasang kekasih yang tengah menjalin kerinduan layaknya Dilan dan Milea. Tetapi lebih dari itu. Ini kisah cinta seorang lelaki pada alam melalui puluhan ribu Beringin yang ia tanam.

Sumber gambar : wanaswara
Sumber gambar : wanaswara

Namanya Sadiman. Dia adalah pahlawan penjaga hutan dan lingkungan yang berasal dari Dusun Dali, Desa Geneng, Kecamatan Bulukerto, Wonogiri.

Awalnya, tak banyak orang mengenal nama Mbah Sadiman. Hingga suatu hari, lelaki berusia 71 tahun ini diminta untuk menjadi bintang tamu dalam Kick Andy pada 1 April 2016 lalu dan mendapatkan penghargaan Kick Andy Heroes Award 2016 setelah menyisihkan 16 nominator lain.

Semenjak itu namanya melambung. Banyak orang mencari tahu tentang dirinya melalui mesin pencari. Dan ditemukanlah fakta bahwa Mbah Sadiman telah menanam beringin semenjak tahun 1996 dengan berbagai macam kendala yang cukup pelik.

Segalanya bermula ketika Mbah Sadiman menemukan hutan di Bukit Gendol-Ampyangan mengalami kegundulan akibat tragedi kebakaran tahun 1964. 

Pohon-pohon meranggas, tanah kering merekah dan tak terlihat kehidupan sama sekali di sekitarnya. Terlebih, kondisi itu berimbas pada ketersediaan air di wilayah Dusun tempat ia tinggal.

Merasa prihatin dengan keadaan hutan yang meranggas. Kemudian, muncul inisiatif untuk menghijaukan kembali dengan cara menanam pohon. Tercetuslah, ide menanam pohon beringin yang diketahuinya sebagai tanaman penjaga air tanah.

Berniat baik menghijaukan hutan di lingkungan tempat tinggalnya ternyata tak selancar yang kita kira. Selain mendapat tantangan medan penanaman pohon yang sulit karena harus turun naik bukit, Mbah Sadiman juga mendapat label "gila" dari masyarakat yang menganggap apa yang ia lakukan tak berguna.

Bagaimana tidak? Memilih menanam pohon beringin ketimbang pohon lainnya yang bisa menghasilkan nilai jual layaknya pohon buah atau rempah. Bukankah itu terlihat gila. Apalagi, masyarakat masih menganggap bahwa beringin memiliki nilai mistis yang kuat--dianggap pohon angker.

Meski dianggap gila atas kebajikan yang ia lakukan selama 26 tahun belakangan, Mbah Sadiman tak menyerah. Ia terus menanam beringin hingga mencapai 11 ribu.

Sumber gambar : Dok. BNPB - Anadolu Agency 
Sumber gambar : Dok. BNPB - Anadolu Agency 

Ketika perubahan tahun berjalan, masyarakat yang hidup di sekitar Bukit Gendol-Ampyangan mulai merasakan manfaat penanaman beringin yang dilakukan oleh Mbah Sadiman. Saat kemarau, mereka tak pernah kekurangan air tanah.

Bersamaan dengan manfaat itu, sebutan gila yang pernah tersemat pada sosok Mbah Sadiman pun lenyap tanpa bekas. Kini, cinta yang ia berikan pada alam telah menjadikannya sosok inspiratif bagi setiap orang. Termasuk aku.

***

Bagiku, Mbah Sadiman merupakan figur inspiratif yang menggambarkan bagaimana kebajikan membawa kebaikan bagi banyak orang. Kebajikan yang dilakukan oleh Mbah Sadiman mungkin saja tak terlihat pada awalnya, namun memberi manfaat di kemudian hari.

Andaikata 26 tahun lalu ia menyerah karena sebutan "gila" itu, mungkin Bukit Gendol dan Ampyangan tak akan hidup seperti saat ini. Dan lagi, masyarakat tak mampu mencicipi segarnya air tiap musim kemarau tiba.

Pada akhirnya, perubahan waktu telah memperlihatkan bahwa kebajikan yang Mbah Sadiman pilih mampu bermanfaat tak hanya bagi masyarakat tapi juga lingkungan.

Perubahan itu Pasti tapi Kebajikan Tetap Harga Mati

Selama masih hidup, manusia akan mengalami banyak perubahan. Misalnya berkaitan dengan waktu, usia, hingga nasib. Namun demikian, ada pilihan-pilihan untuk tetap berpijak pada kebajikan sebagai kekuatan utama dalam mengarahkan perilaku.

Bicara tentang memilih kebajikan, aku ingat sebuah nasehat kecil dari guruku saat SMA dulu. Sebuah nasehat untuk terus mengasihi dan memberi meski dalam kondisi hidup yang tak pasti.

Perkara kondisi yang tak pasti, misalnya berkaitan dengan finansial. Tak bisa dipungkiri bahwa kondisi finansial sangat berpengaruh pada tindakan kita dalam mengambil keputusan.

Nah, dalam hal ini aku akan mengaitkannya perubahan kondisi finansial dengan perilaku bersedekah atau mengasihi sesama makhluk Tuhan. 

Pada hakikatnya, ketika kita memiliki finansial yang baik, ada persentase harta yang wajib diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Tapi ketika kondisi finansial sedang buruk, kita akan cenderung mengerem setiap pengeluaran termasuk untuk bersedekah. 

Guruku dulu mengatakan bahwa bersedekah tak harus menunggu memiliki banyak uang atau dilakukan saat kaya. Bersedekah bisa dilakukan kapan pun dan kepada siapa pun, bahkan bila itu hanya seutas senyuman sederhana yang tulus.

Foto dan olah pribadi
Foto dan olah pribadi

Jujur, sebelumnya aku tak memahami maksud beliau. Mana bisa senyuman disebut sebagai sedekah? 

Bertahun kemudian aku paham, ternyata senyuman mampu melegakan dan memberi pancaran bahagia bagi orang yang melihatnya. Itu sebabnya aku turut bersemangat ketika melihat keluarga maupun teman-temanku bisa tersenyum. 

Mungkin itulah mengapa senyuman disebut sedekah. Sebab, ia menularkan kebahagiaan dari satu orang ke orang lainnya.

Yang perlu kita pahami, sedekah atau mengasihi juga tak memiliki batasan. Itu bisa dilakukan dari manusia kepada manusia, juga bisa dilakukan dari manusia ke alam atau ke makhluk Tuhan lainnya yang mengalami kesulitan.

Dedikasi Mbah Sadiman mewakili pengalaman sedekah kebajikan dalam bentuk mencintai alam dan lingkungan. Semua paham bahwa ia tak kaya, namun Mbah Sadiman tetap menguatkan semangat berbagi melalui beringin-beringin yang ia tanam.

Pada akhirnya, meski waktu telah berganti, nama Mbah Sadiman tetap dikenang sebagai pahlawan lingkungan dari Kota Wonogiri. Ya, itu membuktikan bahwa perubahan itu pasti dan kebajikan harga mati sebagai kekuatan hidup.

Mari selalu melanggengkan kebajikan, sesederhana apapun  itu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun