Selama masih hidup, manusia akan mengalami banyak perubahan. Misalnya berkaitan dengan waktu, usia, hingga nasib. Namun demikian, ada pilihan-pilihan untuk tetap berpijak pada kebajikan sebagai kekuatan utama dalam mengarahkan perilaku.
Bicara tentang memilih kebajikan, aku ingat sebuah nasehat kecil dari guruku saat SMA dulu. Sebuah nasehat untuk terus mengasihi dan memberi meski dalam kondisi hidup yang tak pasti.
Perkara kondisi yang tak pasti, misalnya berkaitan dengan finansial. Tak bisa dipungkiri bahwa kondisi finansial sangat berpengaruh pada tindakan kita dalam mengambil keputusan.
Nah, dalam hal ini aku akan mengaitkannya perubahan kondisi finansial dengan perilaku bersedekah atau mengasihi sesama makhluk Tuhan.Â
Pada hakikatnya, ketika kita memiliki finansial yang baik, ada persentase harta yang wajib diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Tapi ketika kondisi finansial sedang buruk, kita akan cenderung mengerem setiap pengeluaran termasuk untuk bersedekah.Â
Guruku dulu mengatakan bahwa bersedekah tak harus menunggu memiliki banyak uang atau dilakukan saat kaya. Bersedekah bisa dilakukan kapan pun dan kepada siapa pun, bahkan bila itu hanya seutas senyuman sederhana yang tulus.
Jujur, sebelumnya aku tak memahami maksud beliau. Mana bisa senyuman disebut sebagai sedekah?Â
Bertahun kemudian aku paham, ternyata senyuman mampu melegakan dan memberi pancaran bahagia bagi orang yang melihatnya. Itu sebabnya aku turut bersemangat ketika melihat keluarga maupun teman-temanku bisa tersenyum.Â
Mungkin itulah mengapa senyuman disebut sedekah. Sebab, ia menularkan kebahagiaan dari satu orang ke orang lainnya.
Yang perlu kita pahami, sedekah atau mengasihi juga tak memiliki batasan. Itu bisa dilakukan dari manusia kepada manusia, juga bisa dilakukan dari manusia ke alam atau ke makhluk Tuhan lainnya yang mengalami kesulitan.