Tepatnya pada tanggal 18 Desember 2016, Bank Indonesia meluncurkan 11 pecahan uang rupiah dengan desain baru. Sebagian masyarakat menyambut baik uang baru ini, namun tidak sedikit juga yang mencibir uang itu. Mencibir? Iya. Beberapa orang pembuat hoax menyatakan bahwa uang pecahan rupiah baru memiliki simbol komunis pada logo BI. Padahal, logo BI yang disebut menyerupai simbol komunis itu merupakan bagian dari teknologi cetak khusus yang disebut dengan rectoverso, yakni teknik membuat gambar menjadi tidak beraturan namun baru terlihat jelas ketika uang tersebut diterawang.
Jika aku menjadi seorang Menteri Agama
Tentu bisa!! Aku berbicara dalam hati. Meskipun belum didunia nyata, namun aku akan berangan menjadi seorang menteri agama di masa depan. Seorang menteri agama memiliki tugas dan wewenang untuk mengatur urusan keagamaan di negeri ini. Di indonesia yang notabene memiliki beragam kepercayaan dan juga ritual keagamaan akan diatur dalam kementerian agama.
Nah, berkenaan dengan tersebarnya hoax atau ujaran kebencian berbau SARA, itu tentu dapat menciderai kerukunan antarumat beragama di Indonesia, dan ini membutuhkan sinergi dari banyak pihak untuk mencegahnya.
Baiklah, jika aku menjadi seorang menteri agama, aku akan membuat beberapa program atau kebijakan yang mendukung terciptanya sinergitas antarumat. Beberapa program yang ingin kucanangkan adalah program-program yang berisi wawasan keberagaman, wisata religi, sosialisasi literasi positif, pelatihan jurnalisme positif, membentuk komunitas-komunitas cendekia religi, serta menggandeng pihak-pihak paling penting dalam mengubah mindset dan perilaku masyarakat. Pihak-pihak tersebut adalah media mainstream di Indonesia, Â para sivitas akademik, para pemuka agama, dan para influencer (blogger, vlogger, konten kreator, instagramer). Aku ingin memperbanyak workshop dan sosialisasi ke berbagai kota mengenai pesan-pesan positif, makna keberagaman dan kecerdasan dalam berliterasi media.
Mengapa aku menggandeng mereka? Bagiku, mereka adalah Setitik Cahaya dalam Gumpalan kegelapan. Setitik Cahaya bukan berarti kecil, ia merupakan titik fokus dalam kehidupan. Â Seperti kunang-kunang yang melintas didalam pekatnya malam. Meskipun kecil, ia akan mampu memberi terang disekitarnya saat semua telah gelap. Nah, para akademisi, media mainstream, para influencer, dan pemuka agama adalah titik utama pembangun mindset masyarakat. Mereka yang akan menciptakan cahaya dalam ruang yang gelap. Dalam pemikiran yang penuh dengan ketidaktahuan.
Diharapkan dengan adanya titik-titik cahaya itu, pemikiran masyarakat bisa terbuka. Tercipta sebuah penghargaan atas keberagaman, tercipta sapaan literasi yang positif di media sosial. Apalagi di zaman milenial seperti saat ini, media sosial merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan sebagai wadah eksistensi, media bertransaksi, hingga menyebarkan informasi.
Aku sangat setuju dengan program Bapak Lukman Hakim Saifuddin, menteri agama saat ini mengenai pemilihan pendakwah yang tersertifikasi. Mengapa? Dalam rangka mencegah dan menghentikan persebaran paham radikal, berita-berita palsu dan ujaran kebencian membutuhkan bantuan berbagai pihak. Adanya pendakwah yang disertifikasi dimaksudkan untuk membantu mencegah tersebarnya informasi hoax dan Sara melalui kajian-kajian. Terlebih lagi, masyarakat Indonesia begitu dekat dan percaya pada guru atau ulama mereka.
Nah, yang terakhir aku akan bekerjasama dengan kementerian lain, khususnya kementerian kominfo untuk membuat kebijakan dalam mempertegas aturan mengenai bermedia sosial, sehingga tidak ada lagi orang-orang yang melakukan penyebaran informasi hoax dan pengujar kebencian berbau SARA. Ini kulakukan supaya setiap orang bisa lebih berhati-hati mengungkapkan sesuatu dan menggunakan media sosial mereka. Apakah Indonesia siap? Kita nantikan saja. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H