Jika aku jadi menteri Agama, apa yang bisa kulakukan untuk mencegah maraknya berita hoax dan ujaran kebencian di media massa maupun jejaring sosial? Baiklah, sebelum aku menjawabnya, mari terlebih dahulu kita berdiskusi mengenai urgenitas penyebaran hoax dan ujaran kebencian yang tengah melanda negeri ini. Ya, alasan inilah yang bisa mendorongku berandai untuk menjadi menteri agama seperti Bapak Lukman Hakim Saifuddin.
Saat itu aku sedang berada di warung Bubur Kacang Hijau takkala melihat sebuah berita mengenai ledakan bom. Ledakkan tersebut terjadi di beberapa gereja di wilayah Surabaya. Gerah, Marah, Kecewa dan juga rasa sedih bercampur menjadi satu. Dan, yang membuat perasaanku lebih bergolak adalah karena ledakan bom tersebut ternyata memakan sejumlah korban. Termasuk seorang jemaat bernama Aloysius Bayu. Siapakah dia? Apakah kalian mengenalnya? Beberapa orang yang telah katam dengan berita peledakan tersebut mungkin sudah tahu. Namun bagi orang sepertiku yang baru menyaksikan berita, akan merasa asing mendengar namanya. Aloysius Bayu adalah seorang yang dengan gagah berani rela mengorbankan nyawanya demi menghadang teroris yang akan memasuki gereja. Bayu, ia biasa dipanggil---meninggal dengan beberapa luka serius akibat ledakan bom tersebut.
Terlepas dari berita mengenai ledakan bom ataupun Bayu, sebenarnya ada hal pilu yang membuatku ingin menggertakan gigi. Ya, hoax-hoax dan ujaran kebencian muncul melalui medsos berupa potongan-potongan informasi maupun komentar dari netizen. Mirisnya, setiap hoax tersebut diamini sejumlah orang tanpa melihat fakta sesungguhnya. Tak hanya hoax, berbagai ujaran kebencian pun menyebar secepat cahaya, dengan kalimat cacian yang menuduh pihak-pihak tertentu melakukan rekayasa. Seperti di Instagram misalnya. Saat berita mengenai pengeboman dan kematian Bayu itu diposting, berbagai komentar, dari yang positif hingga berunsur kebencian muncul dengan bebas.
Ada apa dengan cara berpikir masyarakat dan netizen Indonesia? Apakah mereka sudah mampu membedakan mana yang palsu dan mana yang benar. Apakah mereka telah berpikir ulang sebelum berpendapat kepada khalayak? Masihkah kita rela diberi asupan makian, cacian dan kebohongan? Entahlah. Namun aku percaya bahwa tak semua masyarakat bisa dibohongi. Ya, merekalah masyarakat cerdas media. Mungkin kamu termasuk didalamnya?
Hoax, ujaran kebencian dan Netizen Indonesia
Aku mengamati setiap postingan demi postingan. Melalui ratusan pendapat yang disampaikan di media sosial, terlihat beragam opini yang muncul di timeline. Mulai dari informasi akan terjadi ledakan susulan, bahaya pergi ke tempat ibadah, menyudutkan agama tertentu, juga anggapan mengenai kejadian bom yang direkayasa, untuk menutupi permasalahan panas yang melanda Indonesia. Hello!! Ada apa dengan Indonesia? Ini bukan informasi yang bersifat candaan. Ini serius. Lebih dari 300 juta penduduk Indonesia membacanya. Apakah menebarkan informasi-informasi yang meresahkan itu menyenangkan? Tidak kawan. Itu sebuah tragedi yang harus dicari solusinya bersama.
Itu baru berita mengenai ledakan bom di Surabaya. Apakah ada lagi? Banyak. Baru-baru ini kita dihebohkan dengan tertangkapnya kelompok pengujar kebencian dan penebar hoax bernama Saracen. Saracen merupakan kelompok terorganisir yang bertindak untuk menyebarkan berita-berita bohong mengenai sesuatu. Terutama informasi yang menyangkut ekonomi, politik dan agama (SARA). Tentu sebagai masyarakat yang cerdas, ada beberapa yang mampu menyaring dan mencari rujukan informasi sebelum mempercayai. Namun bagaimana dengan masyarakat awam? Apakah mereka bisa menyortir informasi yang mereka dapat? Belum tentu. Kenyataannya, banyak sekali netizen yang berkomentar kasar terkait beberapa informasi yang beredar tanpa melihat sisi kebenarannya terlebih dahulu.
Kita bisa menyaksikan pada informasi mengenai "Tenaga Asing dari China yang masuk ke Indonesia". Beberapa artikel menuliskan secara lebai mengenai informasi TKA ini. Seolah-olah jumlah TKA begitu besar sehingga akan memberangus lapangan pekerjaan penduduk asli Indonesia. Bahkan dalam artikel tersebut ditulis jika jumlah TKA terutama yang berasal dari China masuk sekitar 10 juta orang. Ya, 10 juta orang. Bayangkan, berapa persen itu jika dibandingkan dengan penduduk Indonesia yang bekerja di negara lain (TKI). Cukup banyak.
Ada lagi? Ada. Kamu pernah mendengar isu gambar palu arit pada uang terbitan terbaru Bank Indonesia? Jika kamu pernah tahu dan percaya isu tersebut, berarti kamu sudah berhasil terbujuk rayu oleh mereka yang berniat menyebarkan berita hoax.
Tepatnya pada tanggal 18 Desember 2016, Bank Indonesia meluncurkan 11 pecahan uang rupiah dengan desain baru. Sebagian masyarakat menyambut baik uang baru ini, namun tidak sedikit juga yang mencibir uang itu. Mencibir? Iya. Beberapa orang pembuat hoax menyatakan bahwa uang pecahan rupiah baru memiliki simbol komunis pada logo BI. Padahal, logo BI yang disebut menyerupai simbol komunis itu merupakan bagian dari teknologi cetak khusus yang disebut dengan rectoverso, yakni teknik membuat gambar menjadi tidak beraturan namun baru terlihat jelas ketika uang tersebut diterawang.
Jika aku menjadi seorang Menteri Agama
Tentu bisa!! Aku berbicara dalam hati. Meskipun belum didunia nyata, namun aku akan berangan menjadi seorang menteri agama di masa depan. Seorang menteri agama memiliki tugas dan wewenang untuk mengatur urusan keagamaan di negeri ini. Di indonesia yang notabene memiliki beragam kepercayaan dan juga ritual keagamaan akan diatur dalam kementerian agama.
Nah, berkenaan dengan tersebarnya hoax atau ujaran kebencian berbau SARA, itu tentu dapat menciderai kerukunan antarumat beragama di Indonesia, dan ini membutuhkan sinergi dari banyak pihak untuk mencegahnya.
Baiklah, jika aku menjadi seorang menteri agama, aku akan membuat beberapa program atau kebijakan yang mendukung terciptanya sinergitas antarumat. Beberapa program yang ingin kucanangkan adalah program-program yang berisi wawasan keberagaman, wisata religi, sosialisasi literasi positif, pelatihan jurnalisme positif, membentuk komunitas-komunitas cendekia religi, serta menggandeng pihak-pihak paling penting dalam mengubah mindset dan perilaku masyarakat. Pihak-pihak tersebut adalah media mainstream di Indonesia, Â para sivitas akademik, para pemuka agama, dan para influencer (blogger, vlogger, konten kreator, instagramer). Aku ingin memperbanyak workshop dan sosialisasi ke berbagai kota mengenai pesan-pesan positif, makna keberagaman dan kecerdasan dalam berliterasi media.
Mengapa aku menggandeng mereka? Bagiku, mereka adalah Setitik Cahaya dalam Gumpalan kegelapan. Setitik Cahaya bukan berarti kecil, ia merupakan titik fokus dalam kehidupan. Â Seperti kunang-kunang yang melintas didalam pekatnya malam. Meskipun kecil, ia akan mampu memberi terang disekitarnya saat semua telah gelap. Nah, para akademisi, media mainstream, para influencer, dan pemuka agama adalah titik utama pembangun mindset masyarakat. Mereka yang akan menciptakan cahaya dalam ruang yang gelap. Dalam pemikiran yang penuh dengan ketidaktahuan.
Diharapkan dengan adanya titik-titik cahaya itu, pemikiran masyarakat bisa terbuka. Tercipta sebuah penghargaan atas keberagaman, tercipta sapaan literasi yang positif di media sosial. Apalagi di zaman milenial seperti saat ini, media sosial merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan sebagai wadah eksistensi, media bertransaksi, hingga menyebarkan informasi.
Aku sangat setuju dengan program Bapak Lukman Hakim Saifuddin, menteri agama saat ini mengenai pemilihan pendakwah yang tersertifikasi. Mengapa? Dalam rangka mencegah dan menghentikan persebaran paham radikal, berita-berita palsu dan ujaran kebencian membutuhkan bantuan berbagai pihak. Adanya pendakwah yang disertifikasi dimaksudkan untuk membantu mencegah tersebarnya informasi hoax dan Sara melalui kajian-kajian. Terlebih lagi, masyarakat Indonesia begitu dekat dan percaya pada guru atau ulama mereka.
Nah, yang terakhir aku akan bekerjasama dengan kementerian lain, khususnya kementerian kominfo untuk membuat kebijakan dalam mempertegas aturan mengenai bermedia sosial, sehingga tidak ada lagi orang-orang yang melakukan penyebaran informasi hoax dan pengujar kebencian berbau SARA. Ini kulakukan supaya setiap orang bisa lebih berhati-hati mengungkapkan sesuatu dan menggunakan media sosial mereka. Apakah Indonesia siap? Kita nantikan saja. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H