Di rumah sakit yang tenang, Tia dan Dinda tengah menjalani dinas malam mereka. Udara sejuk menyelimuti lorong-lorong panjang rumah sakit, dan suara beep mesin-mesin medis menjadi satu-satunya pengiring keheningan malam. Tiba-tiba, pintu ruang bersalin terbuka, dan seorang staff keamanan rumah sakit datang tergesa-gesa memberi tahu mereka bahwa ada pasien baru yang datang.
Pasien itu seorang wanita muda berpakaian sederhana, tampak sedang kesakitan, menahan kontraksi yang semakin kuat. Tia sedang berbicara dengan Kak Ulfa di pojokan ruang tunggu, sementara Dinda langsung bergerak cepat. "Permisi, Bu, kita mau cek tekanan darah ya, Bu," kata Dinda dengan suara lembut dan ramah, mencoba menenangkan pasien.
Namun pasien itu hanya diam, menatap ke arah Dinda tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Dinda melanjutkan pemeriksaan tensi dengan hati-hati, merasakan ada yang aneh dengan sikap pasien tersebut. Tensi darahnya tercatat normal, namun ekspresinya menunjukkan kelelahan yang luar biasa.
Setelah pemeriksaan selesai, Dinda kembali ke Tia dan Kak Ulfa yang sedang berdiskusi di sudut ruangan. "Masa tadi pas aku izin buat tensi, ibunya diem aja, tahu, Kak," kata Dinda, terlihat sedikit bingung.
"Nahan kontraksi kali, Din," jawab Tia sambil tersenyum santai, mencoba menenangkan Dinda.
"Hahaha, dia nggak bakal ngerti apa yang kalian omongin," kata Kak Ulfa, tersenyum dengan ekspresi yang penuh pengertian.
"Kenapa emangnya, Kak?" tanya Dinda penasaran.
Kak Ulfa menatap mereka berdua dengan serius. "Suami istri tadi itu asalnya dari Afghanistan. Mereka menetap di Indonesia tiga tahun yang lalu dan sekarang mereka bakal punya anak yang keenam," jelas Kak Ulfa, sambil memeriksa beberapa berkas di tangannya.
"Enam? Definisi banyak anak banyak rezeki," timpal Tia, heran dengan informasi yang baru didengar.
Kak Ulfa mengangguk pelan. "Hmm, dari laporan yang aku terima, pasangan ini sebenernya nggak mau lagi punya anak. Mereka udah KB sebelumnya, tapi sekarang malah kebobolan."