Ismail berjalan melewati pematang sawah kampungnya, sambil menggenggam buku tulis di tangan kanannya. Sore hari ini Ismail telah tampak rapi, songkok telah terpakai di kepalanya, baju koko dan sarung pun tampak senada. Ismail melangkah sambil mengelus baju kokonya. Pilihan Amak, ujarnya dalam hati.Â
Meskipun telah masuk di bangku SMP, Ismail tetap saja menyukai sesuatu yang dipilihkan Amak untuknya. Â Semenjak Bapak meninggal setahun lalu, Ismail sangat dekat dengan Amak, dia berjanji untuk dapat menyenangkan hati Amak selalu. Dia pun telah berjanji pada diri sendiri untuk membantu Amak mengurus adik-adiknya yang berjumlah 4 orang.
Ismail masih saja berjalan menuju surau yang letaknya dekat persawahan kampungnya. Dari kejauhan nampak beberapa kawan sebayanya telah berkumpul berebut masuk kedalam surau yang berbentuk rumah panggung tersebut. Semua kawan-kawan telah duduk manis dihadapan Ustad Hidayat, hari jumat memanglah hari mereka mendengarkan tausiyah singkat sebelum memulai hapalan Al-Quran. Ustad Hidayat masuk, dan anak-anak pun diam.
"Assalamualaikum semua.." Ustad Hidayat memberikan salam.
"Waalaikumsalam Ustad." Jawab anak-anak kompak.
"Hari ini ustad akan menyampaikan nasehat singkat tentang kewajiban untuk berbakti dengan amak dan apak sebagai orang kita. Berbakti kepada amak dan apak hukumnya wajib. Allah Subhanahu Wa Taala berfiman dalam Al-Qurna Surat An-Nisa ayat 36 yang artinya sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada ibu dan bapak..." Ustad Hidayat membuka tausiyahnya. Semua anak-anak tampak diam dan mendengarkan tausiyah tersebut.
Ustad Hidayat pun melanjutkan,"Allah pun berfirman dalam surat Al-Luqman ayat 14 yang artinya Dan kami perintahkan manusia untuk berbuat baik kepada Bapak dan Ibunya... Ibu adalah orang yang sangat mulia dan sangat besar jasanya kepada kita semua.Â
Allah pun telah menjelaskan mengapa kita harus berbakti kepada orang tua, terutama kepada Ibu, karena ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah. Maksudnya adalah keadaan ibu yang lemah ketika mengandung, melahirkan, bahkan harus menyusui kita selama 2 tahun. Ustad berpesan agar kalian selalu hormat, dan berbakti kepada Amak dan Apak kalian masing-masing."
Seluruh santri yang ada di Mushola itu pun mengangguk, termasuk Ismail, betapa Ia menyayangi Amaknya.Â
"Apa anak-anak semua ado yang nak ditanyakan?" Tanya Ustad Hidayat.
Ismail pun mengangkat tangannya, "Saya, Ustad!"Â
Ustad Hidayat pun mengangguk dan mempersilakan Ismail untuk memberikan pertanyaan. "Ustad, bagaimana apabila salah satu atau kedua orang tua kita telah tiada, bagaimana cara kita berbakti kepadanya?" Ismail bertanya dengan mimik wajah yang serius.
Ustad Hidayat memberikan senyuman. Beliau mengerti betul, Ismail bertanya seperti itu karena ayahandanya telah tiada. Ismail benar-benar ingin menujukkan kesungguhan dalam berbakti kepada orang tua. Dengan bijak Ustad Hidayat memberikan jawaban kepada Ismail. "Nak Ismail dan yang lainnya.
Berbakti kepada orang tua hukumnya wajib. Bahkan ketika orang tua kita telah tiada. Lalu pastilah awak semua nak bertanyo bagaimana cara kito berbakti.Â
Ustad nak menjelaskan, walau orang tua kito telah meninggal patutlah kito tetap berbakti kepada mereka. Salah satu cara awak nak berbakti kepada orang tua adalah dengan belajar ilmu agama sebaik-baiknya, amalkan ilmu yang awak miliki dengan baik, banyak bersedekah untuk orang tua, serta banyak-banyaklah membaca dan menghapalkan Al-Qur'an. Disampaikan oleh Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Salam yang diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim.Â
Bacalah dengan hatimu "Siapa yang membaca Al-Quran, mempelajarinya, dan mengamalkannya, akan dipakaikan mahkota dari cahaya pada hari kiamat. Cahayanya seperti cahaya matahari dan kedua orang tuanya dipakaikan dua jubah (kemuliaan) yang tidak didapatkan di dunia. Keduanya bertanya, 'Mengapa kami dipakaikan jubah ini?' Dijawab, 'Karena kalian berdua memerintahkan anak kalian untuk mempelajari Al-Quran."
Ismail dan santri lainnya mengangguk tanda paham. Semangat dalam diri Ismail untuk dapat menghapal Al-Qur'an begitu kuat, begitu ingin Ia memakaikan jubah kemuliaan kepada Apak dan Amak. Ustad Hidayat pun mengakhiri tausiyahnya, santri-santri kemudian membentuk lingkaran untuk dapat membaca Al-Qur'an bersama-sama.Â
Hari mulai gelap ketika Ismail sampai dirumah. Dilihatnya amak masih ada di dapur kecil rumah mereka, mengaduk-aduk masakan diwajan untuk makan nanti malam. "Benar kata pak ustad, haruslah kito berbakti samo amak dan apak. Mulai saat ini, Ismail nak cubo hapalkan Al-Qur'an dan amalkannyo," Ismail berujar dalam hati. Setelah mengucapkan salam pada amak dan mencium tangannya, Ismail duduk dekat Amak yang sedang memasak.
"Ailah anak bujang Amak, lah balek kau dari mushola?" Tanya Amak.
"Sudah Amak, ini Ismail lah ado didepan Amak," Ismail berkelakar. Amak pun tertawa kecil.
Senang hati Ismail melihat Amaknya dapat tertawa. Amak memang murah senyum, tapi semejak kepergian Apak, senyum itu seakan-akan hilang entah kemana.Â
"Ai, anak bujang dak bolehlah ngelamun. Cepat sana kau ambil nasi itu, dan lauk-lauknya. Taruh di meja tengah, mari kito makan sama adik-adik kau lainnya. Kasihan mereka sudah lapar, lamo menunggu." Amak bergegas menyiapkan nasi beserta lauk sederhana mereka. Ismail pun membantu Amak membawa lauk tersebut ke ruang tengah dan memanggil adik-adiknya, kemudian ramai-ramai mereka makan bersama Amak.Â
"Ismail, bagaimana ngaji kau hari ini?" Tanya Amak dengan lembut.
Ismail menelan makanannya terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Amak. "Alhamdulillah Mak. Hari ini ada tausiyah dari Ustad Hidayat. Ohya Amak, Ismail nak pengen bisa hapalkan Al-Qur'an, Amak doakan ya."
"Doa Amak selalu untuk Ismail dan adik-adik semua. Semoga awak sukses capai apa yang awak inginkan semua." Amak, Ismail dan adik-adik melanjutkan makan malam mereka kembali.
Hari-hari Ismail selanjutnya dia sibukkan dengan belajar, mengaji, dan membantu Amak berjualan dipasar, bukannya Ismail lantas tidak bermain bersama kawan-kawan. Sebagai anak yang masih duduk dibangku SMP, Ismail sesekali masih bermain dengan teman-temannya sekedar untuk menyegarkan kembali pikirannya.
Hari ini pun Ismail telah bersiap menyusun sayur-sayur dagangan Amak di pasar tanpa sengaja Ustad Hidayat pun sedang berbelanja di pasar bersama istrinya, lalu menyapa Ismail.Â
"Assalamualaikum Ismail..." Ustad Hidayat memberikan salam.
"Oh, Waalaikumsalam Ustad, Ummi.." Ismail menjawab salam sekaligus menyapa istri ustad Hidayat yang dipanggilnya sebagai ummi.Â
"Apa kabar Ismail? Ohya saya ada kabar untuk kamu." Ujar Ustad Hidayat.
"Alhamdulillah baik Ustad, kabar apa Ustad?" Tanya Ismail sambil tetap menyusun sayur-sayur punya Amak.
"Sebulan lagi ada lomba tahfidz Qur'an. Saya akan senang sekali kalau Ismail mau mendaftar. Hapalan Ismail sudah banyak kan?" Ustad Hidayat mengangkat jempolnya kepada Ismail, lalu melanjutkan pembicaraannya pada Amak Ismail. "Bagaimana Amak? Apa Ismail boleh ikut?"
Ismail menoleh kepada Amak dengan memberikan wajah yang penuh harap. Amak terenyum sambil terus melayani pembeli, " Tentu saja bolehlah pak Ustad. Siapo yang dak mau punya anak hafidz Qur'an?" Amak memberikan jawaban. Ismail sangat senang sekali.
"Boleh Amak? Alhamdulillah."
"Tapi ado syaratnya Ismail." Amak meneruskan pembicaraannya.
Ismail dan Ustad Hidayat menoleh bebarengan,"Apa Amak?"
"Ismail harus tunjukkan yang terbaik, harus jadi juara." Amak menjelaskan dengan bersemangat.
Ustad Hidayat dan Ismail pun tertawa bersamaan hingga tawa mereka menggema di ujung lorong pasar.
Semenjak dirinya telah didaftarkan oleh Ustad Hidayat pada perlombaan hafidz, Ismail pun semakin giat untuk menghapalkan Al-Quran. Disela-sela membantu Amak pun Ia sempatkan untuk menghapal beberapa baris dari ayat-ayat Al-Qur'an tersebut. Amak senang sekali melihat anak sulungnya begitu giat menghapalkan Al-Qur'an. Amak ingat ujaran Ustad, apabila kita mengajarkan anak untuk dapal menghapal dan mengamalkan isi Al-Qur'an maka Allah akan pakaikan jubah kemuliaan kepada orang tuanya. Amak seringkali mengecek sampai mana hapalan Ismail, terkadang menemani untuk dapat mengulangi hapalan, dan menegur apabila di rasa Ismail terlalu banyak begadang. Tak terasa waktu perlombaan hafidz Al-Qur'an semakin dekat, Ismail pun semakin giat belajar dan menghapal Al-Qur'an, hingga di suatu sore Amak dan Ismail duduk sambil mengobrol diteras rumah.Â
"Bagaimana hapalan awak, Mail?" Tanya Amak.
"Alhamdulillah Amak." Ismail menjawab singkat.
"Sudah siap awak nak untuk lomba esok?"Â
"In syaa Allah Amak. Amak doakan Mail ya." Pinta Ismail penuh harap.
"Amak la selalu doakan Mail agar lancar ikut lomba esok." Amak mengusap-usap kepala Ismail.
"Ismail nak juara 1 Mak, biar juaranya bisa untuk Amak."Â
Amak kembali tersenyum. Keduanya lantas masuk kedalam rumah.
Hari yang dinantikan untuk lomba hafidz Al-Quran pun tiba. Amak sengaja hari ini meliburkan diri dari berjualan dipasar hanya untuk menyaksikan dan memberikan dukungan kepada putra bungsunya tersebut.Â
Ismail dan Ustad Hidayat telah mengambil nomer penampilan, sekarang mereka tinggal menunggu giliran untuk tampil. Ismail tampak sangat gugup, berkali-kali ia mengusap keringat, Ustad Hidayat disebelahnya mencoba menenangkan, "Sudahlah Il. Awak yang tenang ya. Anggap saja seperti kita mengaji seperti biasa. Ismail pun mengangguk.
"Nomor 102, Muhammad Ismail, diharapkan segera maju ke panggung." Suara MC yang memanggil Ismail untuk dapat segera maju. Ismail segera berdiri, mencium tangan Ustad Hidayat untuk minta didoakan untuk kelancaran lombanya tersebut.Â
Ismail mulai maju ke atas panggung, MC memberikan pengarah agar Ismail dapat mengambil undian surat apa yang akan dibacakannya. Setelah mendapatkan undiannya, Ismail pun mulai duduk dan mulai membaca surat Al-Qur'an. Semua penonton terkesiam dengan lantunan ayat suci yang dibacakan oleh Ismail. Tanpa terasa, Amak pun meneteskan air mata. Ia teringat akan suaminya yang telah tiada, "Pasti bangga sekali Apak dengan kau Mail.." Batinnya dalam hati.
Ismail menyelesaikan bacaannya dengan lancar. Ia pun tersenyum lega sebelum turun keatas panggung. Pembawa acara pun memanggil peserta selanjutnya.
"Alhamdulillah, bagus sekali penampilan awak Mail." Ujar Ustad Hidayat ketika Ismail telah kembali ke tempat duduk.Â
"Alhamdulillah Ustad. Ini juga berkat doa Ustad Hidayat dan Amak pastinya." Kepala Ismail berputar-putar mencari keberadaan Amaknya.Â
Semua peserta lomba telah menyelesaikan tampilannya, saatnya pengumuman pemenang lomba hafidz. Ismail, Ustad Hidayat, dan Amak duduk berdampingan untuk mendengarkan pengumuman pemenang yang akan dibacakan oleh pembawa acara. Semuanya tampak tegang, tak terkecuali Ismail. Amak mengusap punggung tangan Ismail, mencoba menenangkannya. Pembawa acara mulai mengumumkan peraih juara.
"Juara ketiga adalah Donny Setiawan. Juara Kedua adalah Muhammad Ismail, dan juara ke pertama adalah Derry Ahmad. Selamat kepada para pemenang." Pembawa acara mengumumkan hasil pemenang.
"Alhamdulillah Amak, Ustad," Ismail langsung menyalami kedua orang itu setelah pembawa acara selesai mengumumkan pemenang.
"Alhamdulillah Nak," Kata Amak dan Ustad Hidayat bersamaan.
"Maaf Amak, Ismail gagal meraih juara 1 untuk Amak." Ismail berkata kepada Amak.
"Nak, juara 1 ataupun 2 tak ada masalah buat Amak. Kamu tetap juara dihati Amak dan Apak."
Amak dan Ismail pun berpelukan. Ustad Hidayat memberikan isyarat kepada keduanya.
"Nah, Ismail, mulai hari ini teruslah menjadi penyejuk hati untuk Amakmu. Teruslah belajar, capailah impian-impianmu. Sekarang mari kita semua pulang, sebelumnya ambil terlebih dahulu hadiah untukmu dari panitia"
"Terimakasih Ustad."
Ismail segera menuju panggung untuk mengambil hadiah, senyumnya terus mengembang. Dia bersyukur telah membuat hati Amak bahagia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H