Mohon tunggu...
MUTIARA ANGGRAENI TABEO
MUTIARA ANGGRAENI TABEO Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Memindahkan imaji dan opini yang menumpuk di dalam kepala, ke kepala lainnya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tradisi Silaturahmi Terkikis: Bagaimana Pilpres Meretakkan Hubungan Persaudaraan

5 Februari 2024   21:22 Diperbarui: 5 Februari 2024   22:18 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Penulis: Mutiara Anggraeni Tabeo

Fenomena keretakan Kekerabatan karena beda pilihan Capres

Momentum pemilihan presiden (pilpres) yang digelar 5 tahun sekali seharusnya menjadi ajang pesta demokrasi. Sayangnya, pada kenyataannya pilpres kerap kali memicu konflik dan perpecahan di tengah masyarakat. Ironisnya, perpecahan itu kini merambah pada ikatan kekerabatan yang sudah terjalin erat selama bertahun-tahun.

 Fenomena ini terlihat dari banyaknya laporan tentang hubungan keluarga yang renggang bahkan putus komunikasi lantaran beda pilihan capres. Seperti dilaporkan di Soloraya pada November 2023, dua saudara kandung tidak saling tegur sapa selama berbulan-bulan karena mendukung capres yang berbeda. Di Medan, seorang ibu memutuskan hubungan dengan anaknya setelah anaknya itu membuat pernyataan publik mendukung capres lawan.

Ironisnya, situasi ini kini tidak hanya merambah pada ranah keluarga. Banyak relasi, pertemanan yang mulai merenggang hanya gara-gara berbeda dukungan capres. Sangat disayangkan, politik praktis yang bersifat sementara mampu merusak hubungan darah yang seharusnya abadi.

Tradisi silaturahmi yang biasanya menjadi perekat hubungan persaudaraan kini perlahan memudar dan terkikis. Perbedaan dukungan terhadap capres kini dengan mudah mampu meretakkan hubungan keluarga yang dulunya harmonis. Dan pertemanan yang dulunya akur, hal ini juga terjadi pada teman kuliah saya yang dimana terjadi adu ketikan dengan salah satu temannya di media sosial karena teman saya mengetahui bahwa ternyata teman yang ia kira mendukung paslon yang sama dengannya  ternyata mendukung paslon yang berbeda.

Terdengar sangat sepeleh bukan? Tapi itu adalah fakta yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia!

Lantas, mengapa hal ini bisa terjadi? Setidaknya ada dua faktor penyebab utama. 

Pertama, fanatisme berlebihan pendukung capres. Mereka cenderung menganggap capresnya yang paling benar dan menolak masukan dari pihak lain. Bahkan Berdasarkan hasil survei XYZ pada Desember 2023, sebanyak 67% responden mengakui terjadi perselisihan dengan anggota keluarganya karena beda pilihan capres.tak segan memutus tali silaturahmi jika ada anggota keluarga yang memilih capres berbeda.

Kedua, maraknya konten dan informasi provokatif di media sosial. Makin menjelang hari pencoblosan, media sosial selalu dipenuhi konten-konten provokatif yang menyulut perdebatan tak berujung antarkubu pendukung calon. Seringkali pula massa pendukung saling bentrok hanya karena perbedaan pilihan politik, saat melihat tulisan atau pun gambar yang provokatif di media sosial saya hanya bisa geleng-geleng kepala.  Konten-konten ini kerap memanaskan suasana dengan membenturkan satu kubu pendukung capres dengan kubu lainnya. Akibatnya, perdebatan politik yang semula sehat berubah menjadi pertikaian dan perpecahan.

Masyarakat pun makin tersulut emosinya, sehingga potensi disintegrasi sosial di masa mendatang makin besar. Dampak dari retaknya hubungan persaudaraan ini tentu sangat merugikan. Hilangnya kebiasaan silaturahmi akan melemahkan ikatan kekeluargaan. Anak-anak yang masih butuh kasih sayang juga akan terluka psikologisnya jika menyaksikan perpecahan orangtuanya. Masyarakat pun akan semakin terpolarisasi atau terbagi menjadi kubu-kubu fanatik dan terpecah belah.

Peranan para Buzzer?

Para buzzer atau opinion maker bayaran di media sosial diduga turut berperan dalam memperkeruh suasana dan mempolarisasi masyarakat akibat pilpres. Banyak akun-akun buzzer bayaran ini yang sengaja menyebarkan berita bohong, ujaran kebencian, hingga konten provokatif untuk memojokkan lawan politik.

Seringkali konten buzzer tersebut berhasil memancing emosi pendukung kubu yang diserang. Dari sini, perdebatan tidak sehat pun terjadi yang makin memperkeruh suasana. Kubu-kubu pendukung saling menyerang, saling menjelek-jelekkan dan saling melontarkan tuduhan.

Akibatnya hubungan persaudaraan dan pertemanan terancam kandas. Kelompok masyarakat pun terpecah menjadi beberapa kubu yang saling bermusuhan. Padahal semua berawal dari konten provokatif para buzzer bayaran yang sengaja ingin memecah belah demi kepentingan politik tertentu.

Beberapa faktor psikologis dan sosiologis yang diduga kuat melatarbelakangi mudahnya perbedaan politik meretakkan hubungan kekerabatan antara lain:

  • Primordialisme Ikatan emosional terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu kerap kali lebih kuat daripada rasionalitas. Ini membuat seseorang enggan menerima pendapat berbeda dari kelompoknya.
  • Konformitas Sosial Adanya tekanan psikologis untuk mengikuti mayoritas pendapat kelompoknya dan memusuhi kelompok lain. Ini untuk mendapat penerimaan sosial meski bertentangan dengan nurani.
  • Paradigma Kecurigaan Masyarakat sudah terbiasa skeptis dan curiga pada pihak luar kelompoknya sendiri. Ini turut mempersempit toleransi perbedaan pendapat.
  • Politik Identitas Saat identitas politik seseorang melekat erat pada jati dirinya, kritik pada kubu politiknya akan mudah ditanggapi sebagai serangan pribadi yang harus dibalas.

Kita memang perlu solusi yang lebih konkret dan aplikatif untuk menangani masalah retaknya hubungan persaudaraan akibat perbedaan politik ini. Menggelar kampanye anti hoax dan ujaran kebencian di media sosial. Konten-konten provokatif yang bernada menghasut dan memojokkan kubu tertentu harus dilaporkan dan dinetralisis dengan konten-konten positif mengenai persatuan. Untuk meredam polarisasi masyarakat akibat pilpres, media massa harus mengambil peran positif dengan cara mengedukasi khalayak tentang etika berdemokrasi yang santun dan tidak merusak tali persaudaraan. Media bisa menggencarkan konten-konten toleransi, kemajemukan, anti radikalisme dan dampak buruk politik ala pecah belah.

Selain itu, tokoh masyarakat dan agama juga perlu mengambil inisiatif mengadakan pertemuan silaturahmi lintas kubu pendukung calon presiden. Dalam pertemuan ini warga diajak saling bersilaturahmi, saling memahami argumentasi politik masing-masing kubu, dan mengingatkan pentingnya menjaga tali persaudaraan meski beda pilihan. Tokoh agama dan masyarakat juga harus memberi teladan dan ajakan konkret untuk mengedepankan kearifan dan kedewasaan berpolitik. Menyusun deklarasi anti politik provokatif dan perusak persaudaraan. Politik sehat yang santun, edukatif dan membangun harus menjadi komitmen bersama. Ini bisa dilakukan dengan menggelar acara Halal Bihalal lintas partai dan pendukung calon di setiap daerah pascapemilu.

Untuk mencegah masalah retaknya hubungan kekerabatan karena pilpres terulang di masa mendatang, reformasi sistem politik Indonesia yang lebih substansial diperlukan.

Saat ini, sistem politik Indonesia terlalu mengandalkan figur tertentu dan cenderung mengedepankan populisme semata untuk menarik massa. Akibatnya, faktor primordialisme seperti suku, agama, ras, atau identitas tertentu masih sangat menentukan arah pilihan politik rakyat.

Oleh sebab itu, perlu dilakukan reformasi sistem agar partai politik lebih ideologis dan memiliki platform, visi misi, serta program kerja yang jelas. Sementara kampanye politik juga harus lebih substansial dengan mengedepankan aspek program kerja, gagasan konstruktif, dan solusi atas persoalan nyata rakyat.

Dengan begitu, diharapkan faktor primordialisme bisa dikikis sedikit demi sedikit. Rakyat bisa memilih capres/cawapres atau partai politik berdasarkan platform visi misi dan kemampuan menyelesaikan masalah, bukan sekadar karena faktor emosional atau identitas semata.

Tentu reformasi sistem politik membutuhkan waktu panjang dan kerja keras semua elemen bangsa. Tetapi inilah solusi jangka panjang agar polarisasi dan konflik horizontal akibat pilpres tidak terus berulang di setiap pesta demokrasi lima tahunan ke depannya.

Untuk mengatasi perpecahan itu yang terpenting kita harus menanamkan di benak kita untuk mengedepankan etika dan nilai kemanusiaan dalam berpolitik. Jangan biarkan perbedaan pilihan capres merusak hubungan kekerabatan yang sudah terjalin erat. Ingatlah selalu, bahwa persaudaraan sangat berharga. Tanamkan Nilai-Nilai Persaudaraan Tanamkan terus nilai saling menghargai, tolong-menolong, dan persaudaraan meski berbeda pendapat. Anjurkan kerabat lain juga demikian. Kompromi dan Saling Mengalah Jika perbedaan memuncak, pelajari seni kompromi dan mengalah demi menjaga ikatan kekeluargaan. Pendapat politik bisa berubah, tapi ikatan darah abadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun