Masyarakat pun makin tersulut emosinya, sehingga potensi disintegrasi sosial di masa mendatang makin besar. Dampak dari retaknya hubungan persaudaraan ini tentu sangat merugikan. Hilangnya kebiasaan silaturahmi akan melemahkan ikatan kekeluargaan. Anak-anak yang masih butuh kasih sayang juga akan terluka psikologisnya jika menyaksikan perpecahan orangtuanya. Masyarakat pun akan semakin terpolarisasi atau terbagi menjadi kubu-kubu fanatik dan terpecah belah.
Peranan para Buzzer?
Para buzzer atau opinion maker bayaran di media sosial diduga turut berperan dalam memperkeruh suasana dan mempolarisasi masyarakat akibat pilpres. Banyak akun-akun buzzer bayaran ini yang sengaja menyebarkan berita bohong, ujaran kebencian, hingga konten provokatif untuk memojokkan lawan politik.
Seringkali konten buzzer tersebut berhasil memancing emosi pendukung kubu yang diserang. Dari sini, perdebatan tidak sehat pun terjadi yang makin memperkeruh suasana. Kubu-kubu pendukung saling menyerang, saling menjelek-jelekkan dan saling melontarkan tuduhan.
Akibatnya hubungan persaudaraan dan pertemanan terancam kandas. Kelompok masyarakat pun terpecah menjadi beberapa kubu yang saling bermusuhan. Padahal semua berawal dari konten provokatif para buzzer bayaran yang sengaja ingin memecah belah demi kepentingan politik tertentu.
Beberapa faktor psikologis dan sosiologis yang diduga kuat melatarbelakangi mudahnya perbedaan politik meretakkan hubungan kekerabatan antara lain:
- Primordialisme Ikatan emosional terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu kerap kali lebih kuat daripada rasionalitas. Ini membuat seseorang enggan menerima pendapat berbeda dari kelompoknya.
- Konformitas Sosial Adanya tekanan psikologis untuk mengikuti mayoritas pendapat kelompoknya dan memusuhi kelompok lain. Ini untuk mendapat penerimaan sosial meski bertentangan dengan nurani.
- Paradigma Kecurigaan Masyarakat sudah terbiasa skeptis dan curiga pada pihak luar kelompoknya sendiri. Ini turut mempersempit toleransi perbedaan pendapat.
- Politik Identitas Saat identitas politik seseorang melekat erat pada jati dirinya, kritik pada kubu politiknya akan mudah ditanggapi sebagai serangan pribadi yang harus dibalas.
Kita memang perlu solusi yang lebih konkret dan aplikatif untuk menangani masalah retaknya hubungan persaudaraan akibat perbedaan politik ini. Menggelar kampanye anti hoax dan ujaran kebencian di media sosial. Konten-konten provokatif yang bernada menghasut dan memojokkan kubu tertentu harus dilaporkan dan dinetralisis dengan konten-konten positif mengenai persatuan. Untuk meredam polarisasi masyarakat akibat pilpres, media massa harus mengambil peran positif dengan cara mengedukasi khalayak tentang etika berdemokrasi yang santun dan tidak merusak tali persaudaraan. Media bisa menggencarkan konten-konten toleransi, kemajemukan, anti radikalisme dan dampak buruk politik ala pecah belah.
Selain itu, tokoh masyarakat dan agama juga perlu mengambil inisiatif mengadakan pertemuan silaturahmi lintas kubu pendukung calon presiden. Dalam pertemuan ini warga diajak saling bersilaturahmi, saling memahami argumentasi politik masing-masing kubu, dan mengingatkan pentingnya menjaga tali persaudaraan meski beda pilihan. Tokoh agama dan masyarakat juga harus memberi teladan dan ajakan konkret untuk mengedepankan kearifan dan kedewasaan berpolitik. Menyusun deklarasi anti politik provokatif dan perusak persaudaraan. Politik sehat yang santun, edukatif dan membangun harus menjadi komitmen bersama. Ini bisa dilakukan dengan menggelar acara Halal Bihalal lintas partai dan pendukung calon di setiap daerah pascapemilu.
Untuk mencegah masalah retaknya hubungan kekerabatan karena pilpres terulang di masa mendatang, reformasi sistem politik Indonesia yang lebih substansial diperlukan.
Saat ini, sistem politik Indonesia terlalu mengandalkan figur tertentu dan cenderung mengedepankan populisme semata untuk menarik massa. Akibatnya, faktor primordialisme seperti suku, agama, ras, atau identitas tertentu masih sangat menentukan arah pilihan politik rakyat.
Oleh sebab itu, perlu dilakukan reformasi sistem agar partai politik lebih ideologis dan memiliki platform, visi misi, serta program kerja yang jelas. Sementara kampanye politik juga harus lebih substansial dengan mengedepankan aspek program kerja, gagasan konstruktif, dan solusi atas persoalan nyata rakyat.
Dengan begitu, diharapkan faktor primordialisme bisa dikikis sedikit demi sedikit. Rakyat bisa memilih capres/cawapres atau partai politik berdasarkan platform visi misi dan kemampuan menyelesaikan masalah, bukan sekadar karena faktor emosional atau identitas semata.