Mohon tunggu...
Sosbud Pilihan

Pameran Seni Kurang Diminati Generasi Muda

17 Maret 2019   20:35 Diperbarui: 27 Maret 2019   10:20 958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penampakan pameran "di Balik Setiap Pintu, Wayang Beber dan Sensory Ethnography"

Pada Senin, 11 Maret 2019, Dewan Kesenian Jakarta telah bekerjasama dengan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) untuk mengadakan sebuah pameran, "di Balik Setiap Pintu, Wayang Beber dan Sensory Ethnography", yang digelas di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat. 

Setiap tahunnya, Bekraf selalu mengadakan sebuah pameran dengan tema dan bahasan yang berbeda. Tahun ini merupakan tahun ketiga wayang beber menjadi pilihan dari Bekraf. Pameran yang menggunakan wayang beber sebagai media ini berlangsung hingga Minggu, 17 Maret 2019.

Penampakan pameran "di Balik Setiap Pintu, Wayang Beber dan Sensory Ethnography"
Penampakan pameran "di Balik Setiap Pintu, Wayang Beber dan Sensory Ethnography"
Tak hanya pameran seni, seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, generasi muda atau yang sering kita sebut dengan generasi milenial, semakin meninggalkan seni-seni tradisional. Mereka lebih tertarik dengan kebudayaan barat ataupun budaya Korea. Lalu, bagaimana caranya agar seni-seni tradisional tetap terselamatkan serta tetap dicintai oleh masyarakat khususnya generasi milenial?

Ditemui pada Jumat (15/3) lalu, di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Alya Eka (13) mengatakan harapannya kepada generasi muda agar acara-acara seperti pameran seni tradisional "di Balik Setiap Pintu, Wayang Beber dan Sensory Ethnography" menjadi lebih diminati lagi oleh generasi muda.

"Seniman kita sudah bersusah payah untuk menciptakan karya, jadi apa salahnya jika kita ikut melestarikan? Kita juga bisa lebih kreasikan dan modernkan agar lebih punya daya saing," tambahnya. Tak hanya itu, menurut gadis remaja satu ini, pameran seni tak hanya membuatnya mendapatkan hiburan, namun juga memiliki manfaat sebagai sarana edukasi. Keduanya berjalan secara seimbang.

Tak hanya Alya, harapan-harapan lainnya muncul dari para pengunjung dan juga pecinta seni pameran "di Balik Setiap Pintu, Wayang Beber dan Sensory Ethnography", agar generasi muda tetap mencintai serta menghargai seni-seni tradisional dan kebudayaan Indonesia.

Dendi, pecinta seni, sedang menggoreskan karyanya
Dendi, pecinta seni, sedang menggoreskan karyanya
Dendi (42), selaku pecinta seni yang menghadiri pameran "di Balik Setiap Pintu, Wayang Beber dan Sensory Ethnography" pada Jumat sore mengatakan bahwa perkembangan zaman adalah suatu hal yang tidak bisa dihindari. Namun, tidak semua budaya yang datang dari luar adalah sesuatu yang negatif. 

Kita harus bisa menyaring dan  meliterasinya. Hal ini juga berlaku bagi generasi milenial yang semakin melek akan teknologi. Tak hanya itu, Dendi pun mengungkapkan rasa kagumnya terhadap pameran-pameran seni yang mulai memarekan arsip-arsip. Kini, pameran tidak hanya sekedar pameran lukisan atau instalasi, namun juga ada arsip yang dijadikan basis pameran.

Selain Dendi, Fifi (19), seorang mahasiswi yang datang dari Jakarta Barat pun ikut merasakan bahwa seni-seni tradisional Indonesia mulai meluntur dan kurang diminati oleh generasi muda. Ia berharap bahwa generasi muda turut mendukung adanya event atau acara-acara kesenian yang mengangkat kearifan lokal agar menjadi lebih peduli terhadap budaya Indonesia dan tetap mempertahankannya agar tidak di klaim oleh bangsa lain.

"Sangat perlu mengadakan banyak pameran dengan tema seni, apalagi jika mengangkat tentang budaya kita. Karena sangat banyak budaya kita sendiri yang masih belum kita ketahui. Dan lagi, pemerintah sudah sangat mendukung seniman lokal dengan adanya kementrian atau kabinet dibidang kreatif, sehingga dapat menjadi wadah seniman Indonesia khususnya seniman muda untuk terus berkarya dan berekspresi," imbuhnya.

Sebelumnya, pameran "di Balik Setiap Pintu, Wayang Beber dan Sensory Ethnography" merupakan karya gabungan dari para seniman Hongaria dan Indonesia, yang didasari atas penelitian diantara para siswa Hongaria yang tinggal di Indonesia, yang sebagian besar berada di kota Solo dan Yogyakarta.

Adalah Peter Szilagyi (Hongaria), Dani Iswardana (Indonesia), dan Vivien Sarkany (Hongaria). Ketiga seniman tersebut merupakan orang-orang hebat yang berada dibalik terciptanya pameran "di Balik Setiap Pintu, Wayang Beber dan Sensory Ethnography". Peter dan Vivien merupakan orang-orang yang meneliti tentang sensory ethnography, sedangkan Dani Iswardana lah yang menuangkannya dalam media wayang beber.

Banyak hal yang melatarbelakangi terselenggaranya pameran ini, salah satunya adalah karena pertemanan ketiganya yang sudah terjalin cukup lama. Dengan dibekali oleh latarbelakang yang berbeda, mereka mampu menciptakan sebuah karya yang tidak hanya dapat dinikmati oleh diri sendiri, namun juga dapat dinikmati oleh masyarakat.

"Sasaran yang kami tuju dengan adanya pameran ini adalah seluruh masyarakat. Wayang itu penuh dengan ajaran nilai-nilai budi pekerti dan juga pesan-pesan moral, jadi sasarannya adalah seluruh masyarakat yang termasuk di dalamnya adalah generasi muda," jelas Dani Iswardana saat ditemui di halaman depan gedung Teater Kecil Taman Ismail Marzuki.

Media wayang pun menjadi pilihan karena Dani Iswardana telah memfokuskan minatnya pada wayang, khusunya wayang beber, sejak berada dibangku kuliah. Wayang beber merupakan mata kuliah wajib yang harus ia ambil.

Meski sudah berteman sejak lama, Dani dan juga rekan-rekannya yang berasal dari Hongaria tetap memiliki kesulitan dan kendala yang tak bisa dihindarkan dalam membuat karya. Salah satunya adalah faktor bahasa yang membuat komunikasi mereka menjadi terhambat.

"Namun karena perbedaan itulah yang membuat kami justru harus saling memahami dan bukannya malah menjadi konflik yang harus dipertentangkan. Namun, mencari jalan keluar dan menumbuhkan rasa pengertian dan saling menghormati," jelas pria 45 tahun ini.

Menurut Dani, diskusi dan komunikasi merupakan kunci ketika perbedaan tidak menemukan titik temu. Kedua hal tersebut dibutuhkan dalam suatu pekerjaan. Setiap masalah memerlukan waktu untuk diselesaikan.

Penampakan pameran "di Balik Setiap Pintu, Wayang Beber dan Sensory Ethnography"
Penampakan pameran "di Balik Setiap Pintu, Wayang Beber dan Sensory Ethnography"
Tak hanya dari para pengunjung, Dani Iswardana selaku salah satu kurator dari "di Balik Setiap Pintu, Wayang Beber dan Sensory Ethnography" menyatakan bahwa ia dan rekan-rekan menaruh harapan besar kepada masyarakat, khususnya generasi muda yang sudah mengenal teknologi serta perkembangan zaman untuk lebih mengenal kesenian tradisional, khusunya wayang itu sendiri.

"Saya ingin nilai-nilai dari wayang ini tertranmisi pada generasi muda. Karena pencarian tentang identitas kebangsaan lewat kebudayaan sangat penting pada serbuan arus global yang membuat kita harusnya semakin ingin memperkuat jati diri, namun, arus ini merupakan sesuatu yang sulit untuk dibendung, hal tersebut merupakan suatu keterbukaan dan tak dapat kita hindari. Globalisasi juga merupakan salah satu alasan mengapa kita harus mempertahankan kesenian yang sejatinya adalah milik kita agar tidak di klaim oleh bangsa lain" pungkas pria yang mengambil jurusan seni rupa ini.

Menambahkan sedikit, Dani Iswardana menyebutkan bahwa tidak menutup kemungkinan bahwa ke depannya akan hadir kesenian-kesenian dalam bentuk virtual atau animasi, yang akan ikut menghiasi kesenian di Indonesia. Meski demikian, ia menyarankan kepada generasi penerus bangsa agar membangkitkan rasa sadar diri akan ajaran leluhur yang dituangkan dalam kesenian tradisional, kitab, ataupun candi-candi. 

Sebagai generasi muda yang berpikir kritis, kita harus bisa menyaring budaya-budaya luar yang masuk ke Indonesia, karena tak semua budaya luar adalah hal yang positif. Selain itu, kita harus mendukung karya para seniman-seniman, baik dalam bidang seni tradisional maupun modern. Karena dengan mendukung, kita juga ikut melestarikan kebudayaan kita sendiri. 

Bentuk dukungan yang diberikan pun beragam, salah satu contohnya adalah ikut menghadiri dan mengapresiasi pameran-pameran yang diadakan oleh mereka. Karena tak hanya sebagai bentuk apresiasi, pameran juga bisa menjadi sarana hiburan dan juga edukasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun