Sebenarnya jika globalisasi dipahami secara adil maka Barat dapat memahami worldview Islam dan bahkan dapat saling tukar menukar konsep dan sistem yang tidak bertentangan dengan worldview masing-masing. Namun, kenyataannya sikap Barat jauh dari harapan itu. Masyarakat Barat memang terbukti tidak toleran dan bahkan resisten terhadap praktik-praktik keagamaan masyarakat Islam di Barat. Di negeri-negeri mereka Barat misalnya kita tidak akan pernah menyaksikan mimbar agama Islam di TV, atau perayaan hari Raya Islam di tempat terbuka, kumandang azan dari menara masjid.
Padahal di negara mayoritas Muslim umat Kristiani bebas merayakan hari natal, caramah di TV, membunyikan lonceng gereja dan sebagainya. Demikian pula dalam soal pakaian. Di Barat pakaian jilbab bagi Muslimah di "haramkan", sementara umat Islam Indonesia dipaksa toleran terhadap orang Barat yang berpakaian setengah telanjang di tempat-tempat umum. Jika sikap masyarakat Barat begitu resisten, maka tidak heran jika umat Islam juga resisten terhadap paham-paham sekuler, liberal, pragmatis dan hedonis serta berbagai kultur yang khas masayarakat Barat. Sudah tentu situasi seperti ini harus diterima sebagai konflik atau perang pemikiran yang telah terjadi dan berjalan terus. Inilah yang disebut dengan Ghazwul fikri (perang pemikiran).
Kini setelah peristiwa dramatis 11 September 2001, upayaupaya Barat untuk menyebarkan nilai, ide, konsep, sistem dan kultur Barat ke dunia Islam semakin gencar dan merupakan kerjasama kompak antara Barat kolonialis, orientalis dan misionaris. Karena hal ini berkaitan dengan pemikiran, maka mediun yang digunakan untuk menyebarkan konsep dan pemikiran Barat adalah medium untuk pemikiran yang berupa karya-karya ilmiah, seperti buku, makalah-makalah dan workshop-workshop ataupun berupa opini di media elektronik dan media massa. Namun, medium yang paling efektif bagi penyebaran teori, konsep dan ideologi adalah bangkubangku kuliah di perguruan tinggi melalui transmisi oral para intelektual, ulama, saintis, budayawan. Melalui berbagai sarana inilah maka secara teknis paham, ide, konsep, sistem dan teori liberalisme Barat disebarkan ke dunia Islam.
E. Liberalisasi Melalui Missionaris, Orientalis dan Kolonialis
Dalam kondisi pasif yang kita saksikan dari peradaban Islam dan kebudayaan Barat hanyalah suatu perbedaan biasa dan wajar. Tapi dalam gerakannya yang ekspansif melalui proyek globalisasi, modernisasi, dan westernisasi Barat berubah wajah menjadi tantangan bagi bangsa-bangsa dan peradaban lain, termasuk Islam. Maka dari itu, jika wajah kebudayaan Barat itu diperinci lebih spesifik lagi akan kita temukan bahwa globalisasi dan westernisasi itu merupakan gerakan yang bersumber dari Orientalis, Missionaris dan Kolonialis. Ketiganya merupakan gerakan pemikiran yang mengusung prinsip-prinsip atau elemen-elemen pandangan hidup Barat. Berikut ini diungkapkan bagaimana ketiga bentuk gerakan tersebut bekerjasama menghadapi umat Islam dan kini menjadi tantangan umat Islam.
a. Orientalisme
Secara literal, kata orientalis menunjukkan subjek, pelaku atau orang yang ahli tentang hal-hal yang berkaitan dengan "Timur" biasanya di sebut dengan ahli ketimuran. Akan tetapi karena berdasarkan sejarah munculnya disiplin ilmu ini lebuh baik di tekankan kepada penyelidikan atau studi orang-orang Barat. (Alirman Hamzah, 2003, hlm 12
Kajian tentang Timur (orient) termasuk tentang Islam, yang dilakukan oleh orang Barat telah bermula sejak beberapa abad yang lalu. Namun menurut The Oxford Dictionary gerakan pengkajian ketimuran ini diberi nama orientalisme baru abad ke 18.
Mengapa Barat tertarik mengkaji Timur dan Islam, mempunyai latar belakang sejarah panjang yang kompleks, dan sekurangkurangnya terdapat dua motif utama: Pertama adalah motif keagamaan. Barat yang disatu sisi mewakili Kristen memandang Islam sebagai agama yang sejak awal menentang doktrin-doktrinnya. Islam yang misinya menyempurnakan millah sebelumnya tentu banyak melontarkan koreksi terhadap agama itu. Itulah Islam dianggap "menabur angin" dan lalu menuai badai perseteruan dengan Kristen. Bahkan lebih ekstrim lagi, perseteruan itu ada sejak sebelum Islam datang. Thomas Right, penulis buku Early Christianity in Arabia, mensinyalir perseteruan antara Islam dan Kristen terjadi sejak bala tentara Kristen pimpinan Abrahah menyerang Ka'bah dua bulan sebelum Nabi lahir.
Di situ tentara Abrahah kalah telak dan bahkan tewas. Kalau saja tentara itu tidak kalah mungkin seluruh jazirah itu berada di tangan Kristen, dan tanda salib sudah terpampang di Ka'bah. Muhammd pun mungkin mati sebagai pendeta. Jika Right benar berarti orang Kristen sendiri telah lama menentang millah Nabi Ibrahim, sebab mereka bukan menyerang Islam yang dibawa Nabi, tapi Ka'bah yang merupakan khazanah millah Ibrahim itu. Jadi motif orientalisme adalah keagamaan dan berkaitan dengan Kristen dan missionarisme.
Kedua adalah motif politik. Islam bagi Barat adalah peradaban yang di masa lalu telah tersebar dan menguasai peradaban dunia dengan begitu cepat. Barat sebagai peradaban yang baru bangkit dari kegelapan melihat Islam sebagai ancaman besar dan langsung bagi kekuasaan politik dan agama mereka. Barat sadar benar bahwa Islam bukan hanya sekadar istana-istana megah, bala tentara yang gagah berani atau bangunan-bangunan monumental, tapi peradaban yang memiliki khazanah dan tradisi ilmu pengetahuan yang tinggi. Oleh sebab itu mereka perlu merebut khazanah ini untuk kemajuan mereka dan sekaligus untuk menaklukkan Islam. Jadi motif kajian-kajian orientalis itu bersifat politis kolonialisme.