Mohon tunggu...
Mutia AH
Mutia AH Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Fiksi

Menulis yang ringan dan positif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Ingatan Acak: Aku Buat Adik Tidur di Bukit

13 Juli 2023   19:24 Diperbarui: 13 Juli 2023   19:39 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar Pixabay.com


Aku tidak tahu pasti, hari itu hari apa? Hari dimana Matahari tidak terlalu panas tetapi tidak hujan. Hanya awan-awan menutupi langit. Cahaya Matahari tidak menyilaukan mata seperti biasanya. Namun, kupastikan hari menjelang Dzuhur. Karena baju baru yang kupakai hari itu telah dibasahi keringat di bagian punggung. Juga setelah pulang dari sana, kami mampir salat empat rakaat di Masjid Desa Sebelah.

Waktu itu Ayah membawa sabit lebar dengan gagang sedikit panjang. Aku tidak mau ikut naik ke bukit. Di atas sana, adik tidur di bawah tanah.

"Aku gak mau ikut ke sana!" kataku saat melewati jembatan kecil dari yang menghubungkan lapangan dan bukit. Seperti jembatan itu baru. Warnanya masih putih dan tiangnya warna hijau. Seperti bambu di kebun ayah.

"Kenapa?" tanya ibuku sambil memicingkan mata, melihatku berhenti berjalan. Aku pegangan erat tiang jembatan di sisi kanan.

"Takut," jawabku dengan gemetar. Di kapalaku, aku melihat ayah menggali kuburan adik.

Bagaimana kalau adik bangun dan marah? Aku takut.

Kata kakak adik sakit gara-gara suka aku gendong-gendong. Karena sakit, adik jadi mati dan dibiarkan tidur sendirian di atas bukit.

Aku benar-benar takut, tapi, ibu, bapak dan kakak tertawa mendengar jawaban itu. Mereka tak memaksa aku pergi dan meninggalkan aku sendirian di atas jembatan.

"Jangan turun ke kali, ya?" pesan ibu, sebelum berjalan menaiki bukit. Dari bawah, aku lihat mereka memanjat pelan. Berbaris beruntun seperti bebek kakek  Upik.

Sambil menunggu mereka selesai bertemu adik. Aku bermain di jembatan bambu. Sambil menghanyutkan daun-daun Dadap ke kali di bawah jembatan.

Tidak tahu berapa lama, akhirnya ayah, ibu dan kakak turun dari atas bukit. Tangan ibu dan ayah kotor, ada bekas-bekas tanah menempel di kulit tangan.

Baju baru lengan panjang ayah digulung hingga sikut, menampakan kulit kotor bekas tanah dan rumput. Begitu juga dengan ibu, baju kurung berwarna merah jambu yang sedikit kepanjangan terlihat ada bercak kecoklatan di bagian bawah dan lengan. Sebelum berjalan pulang, mereka turun ke bawah jembatan dan mencuci tangan dan kaki.

Aku melihat ke puncak bukit. Tidak ada siapa-siapa, hanya pohon-pohon besar dan tinggi yang terlihat. Juga bekas kebun Jati Pak Lurah yang terbakar. Dari jauh batang-batang jati itu berwarna hitam seperti arang, tetapi tetap tegak berdiri. Seperti sosok Monster hitam menyeramkan di televisi Mbah Uyit.

Ibu menuntun tanganku yang jalan tertinggal di belakang. Kemudian ayah berjongkok menawariku untuk naik ke punggung. Katanya harus cepat-cepat takut turun hujan lebat.

Kata ayah harus cepat tetapi di jalan Desa Sebelah, kami beberapa kali berhenti. Ketika berpapasan dengan orang, kami bersalaman seperti barisan semut di dinding. Ketika bertemu temannya.

Hari itu, banyak orang lalu lalang di jalan. Mereka semua kelihatan gembira. Bahkan Uwa Suwir yang sering marah ketika banyak jambu air jatuh di bawah pohon karena hujan tadi malam. Juga banyak tertawa ketika ada orang mengajaknya bersalaman.

Bukan hanya bersalaman dengan orang-orang yang kebetulan bertemu di jalan. Kami juga selalu mampir ke rumah-rumah dan bertemu kakek-kakek juga nenek-nenek. Sepertinya semua orang pakai baju baru pada hari itu.

****
Aku tidak ingat lagi tentang hari itu selain yang diceritakan di atas barusan. Namun, yang pasti waktu itu adik sudah tidak ada.

Sejak kapan adik pergi? Aku ingat sekarang.

Waktu itu aku baru bangun tidur. Kakak sudah tidak ada di sampingku. Di ranjang sebelah adik masih pulas tertidur tetapi ibu duduk sambil menangis di sampingnya.

Tiba-tiba ayah masuk. Seperti waktu mengajari adik jalan, ayah memegangi ibu dan membawa ibu keluar kamar.

Aku bingung, kenapa ibu menangis? Aku kasihan melihat ibu. Jadi ingin menangis juga, tetapi bibi tiba-tiba datang dan membopongku.

Bibi membawa aku pergi ke rumah uwa di sebelah dan mengajakku bermain boneka milik Tuti. Di rumah Uwa, banyak teman-teman, ada Susi, Rina, Ijum dan lainnya.

Hari itu, bibi sangat baik. Biasanya bibi galak dan jutek. Sepertinya  bibi tidak suka padaku. Selalu marah-marah. Suaranya jelek sekali kalau sedang marah. Terdengar berisik di telinga seperti ember pecah yang dipukul. Juga seperti balon yang dikempiskan dengan dicubit sisi ujung kanan dan kiri.

Bibi mengajakku main tetapi kemudian, diam-diam bibi lari ke jalan dan tidak mengajakku pergi.

Seperti pawai saat Agustusan, banyak orang di jalan. Aku pulang ke rumah. Ternyata di rumah juga sama, banyak orang juga. Ada Mbah Kung, Mbah Putri juga ada banyak tetangga-tetangga lain

Aneh, sedang ada banyak tamu tapi ibu duduk saja di kursi sambil menangis. Hari itu ibu terus saja menangis, entah kenapa.

Tiba-tiba, Mbah Putri menggendongku dan menciumi pipiku berkali-kali. Sambil menangis, aku melihat uwa menggendong  adik di depan dengan jarik. Kemudian orang-orang mengikutinya. Ada juga Pak Rus, orang yang suka berdoa kalau ada kenduri. Pak Rus bawa payung kertas berwarna putih. Payung itu buat memayungi uwa dan adik.

Sejak itu aku tidak melihat adik di rumah lagi. Kata ibu adik pergi jauh dan tidak akan pulang. Ibu tidak sayang aku. Adik boleh pergi jauh tetapi kalau aku main ke desa sebelah suka dimarahi. "Jangan jauh-jauh, nanti diculik?" pesan ibu, selalu.

Aku tidak tahu kenapa adik tidur tidak bangun-bangun? Kenapa semua orang jahat? Adik ditinggal tidur sendirian di bukit. Tapi kata kakak, itu gara-gara adik sakit dan mati.

Jahat! Kakak bilang aku yang buat adik sakit. Tidak! Aku sayang adik, aku tidak suka adik sakit. Aku suka gendong adik. Aku tidak suka adik tidur di bukit. Aku ingin adik pulang dan tidur di ranjang sebelah.

*****
Hari itu aku baru masuk sekolah SD Sendang. Belum pakai baju merah putih, aku pakai baju baru waktu lebaran. Bersama Kak Mul, aku pergi ke sekolah dan diantar sampai bangku kelas.

Aku senang sekolah karena banyak temannya. Ada Tuti dan Susi juga tapi mereka sudah kelas dua. Tuti dan Susi rumahnya dekat dengan rumahku jadi tadi pagi ibu menyuruhku berangkat bareng-bareng mereka.

Tuti dan Susi tetap di kelas, ketika Bapak-bapak berpakaian warna cokelat masuk, mereka berlari keluar.

Pak Ratum, Bapak itu menyebut namanya. Ia bicara dengan suara lucu seperti ayah ketika mendongeng sebelum aku tidur.

"Namamu siapa?" tanya Pak Guru, padaku.

"Murni," jawabku. Pak Guru diam, memperhatikanku. "Murni Cahyani, kata ibu itu nama panjangnya," kataku lagi.

"Oh, Murni, kakaknya Catur itu ya?" kata Bapak Guru, kemudian.

Ternyata Bapak Guru itu tahu Catur, adikku yang tidur di bukit. Aku tidak tahu kenapa? Bapak Guru, Tuti dan Susi jadi cerita-cerita Catur adikku. Juga teman-teman baruku.

"Iya, Catur sakit gara-gara Niran," kata Susi berbisik pada Tuti. Aku berdiri di samping Tuti. Jadi aku dengar apa yang Susi bilang.

"Bohong!" Kataku. Aku menangis, sedih. Kenapa Susi sama kaya kakak. Bilang aku yang buat adik sakit. Aku sebal sama Susi, aku  mau pukul Turi. Tiba-tiba kakak datang dan menampik tanganku yang mau memukul.

"Jangan berantem. Ayo masuk kelas!" Aku tidak jadi pukul Tuti dan masuk kelas karena kakak tiba-tiba datang. Mukanya kelihatan seram. Matanya yang besar kelihatan bundar berwarna merah.
*****
Ibu di samping rumah sedang menampi beras pakai tampah ketika aku pulang. Aku berlari dan memeluknya sambil menangis. Ibu kelihatan terkejut, setelah meletakan tampah di atas dipan, ibu menggendongku.

"Tidak, Nduk. Adik sakit bukan karena kamu, tapi memang sudah takdir," kata Ibu, ketika aku bertanya. "Benarkah adik mati karena aku?"

Aku menyandarkan kepala ke pundak ibu. Rasanya nyaman, digendong ibu. Sudah lama ibu tak menggendongku seperti ini. Selalu saja adik yang digendong.

"Kamu tidur sama kakak, kan sudah punya adik?" kata ibu, kalau aku mau tidur sama ibu.

Aku ingat waktu adik masih ada. Aku juga suka gendong adik. Adik masih kecil tapi badannya gendut jadi berat kalau digendong. Tanganku jadi sakit dan kami jatuh. Adik ketimpa tubuhku tapi adik diam saja. Hanya menjerit sebentar kemudian diam. Adik, anteng tidak menangis. Adik lebih pintar dariku. Karena waktu itu aku menangis, tidak kuat menahan sakit.

Salam
Mutia AH
Ruji, Mei/Juli 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun