"Eh, Pah, Kabar Fatih gimana?" tanya Sika penasaran.
"Hemmm Sekarang di rumah. Mang Udin juga udah nyerah kayaknya. Terserah maunya Fatih."
"Bukannya waktu itu di pesantren di Suka Bumi."
"Iya, tiba-tiba dia minta pulang. Ngancem bunuh diri kalau gak dijemput."
Sika kembali menyeruput Es kopi miliknya, ia berharap rasa dingin dan manis itu bisa meredam api di dadanya. Ada bara amarah mengingat anak-anak senasib Fatih dan Adi, tetapi ia sendiri tak bisa berbuat apa-apa.
Sika memandangi wajah suaminya, seolah-olah kesempatan itu tak akan terulang lagi. Membuat suaminya merasa canggung.
"Ehemm, ada apa?"
"Enggak." Sika menggeleng sembari tersenyum dan mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Pak, jika suatu saat aku pergi duluan. Kalau nikah lagi, pastiin ya, ibu tirinya baik sama anak-anak. Atau kalau enggak tunggu anak-anak dewasa udah pada Nikah," ucap Sika, dengan nada serius tanpa dibuat-buat.
"Mulai deh," sahut Suaminya, jengah.
Sika berdiri dari tempat duduknya dan masuk ke dalam kamar. Ia kemudian mengunci pintu dari dalam. Dengan berurai air mata ia merebahkan tubuhnya di kasur. Ia tak kuasa menahan perih di hatinya, mengingat bagaimana hasil Rontgen yang di terimanya. Dokter telah memastikan Sika positif mengidap kanker payudara.