Sika menghentikan pekerjaan saat adzan berkumandang. Ia mencuci kedua tangan yang berjibaku dengan air sabun. Kemudian, duduk di kursi dapur. Ia fokus mendengar dan berdoa selama adzan.
Suara asing yang terdengar merdu membuatnya terenyuh. Seolah menyuarakan kesepian, kesedihan hati yang mendalam dan mencari tempat untuk kembali.Â
"Pada-Nya kita akan kembali," ucap Sika setelah selesai membaca doa.
"Pah, Pah!" Setengah berteriak Sika mencari dan memanggil suaminya, sambil menyusuri ruang-ruang sempit rumahnya.
Langkah Sika terhenti di pintu kamar. Ketika melihat suaminya berdiri di depan lemari baju dengan cermin persegi panjang menempel di pintunya.
"Pah, tadi siapa yang adzan? Kayaknya baru denger suara itu," tanya Sika penasaran.
"Oh, itu si Adi, anaknya Abdul yang bawaan istrinya," terang lelaki itu sembari menyisir rambut.
"Kenapa?"
"Suaranya, bagus. Ehh kok bisa di sini itu, Bocah?" tanya Sika, penasaran.
"Iya, pan dia ikut Ustad Farhan."
"Syukurlah, semoga betah ya!" gumam Sika sambil berlalu meninggalkan suaminya. Ia kembali ke dapur dan memilih mengambil air wudhu dari pada meneruskan pekerjaannya.
****
Sika menuangkan air teh dari teko ke dalam gelas besar, untuk kemudian membawa dan menyuguhkan pada suaminya yang baru saja pulang jumatan.
"Pah, aku masih kepikiran Adi." Sembari duduk di kursi samping suaminya, Sika membuka cerita.
"Adi, mengingatkan aku sama Fatih," lanjut Sika pada suaminya yang menatapnya penuh tanda tanya.
"Apa hubungannya Adi sama Fatih?" tanya Suami Sika keheranan.
"Mungkin tidak ada, tapi keduanya punya persamaan. Sama-sama anak Broken home," ujar Sika sembari menyeruput Es kopi dari gelas berembun di depannya.
"Mungkin Adi dan Fatih, belum menerima keadaan bahwa orang tuanya bercerai," lanjut Sika.
"Tapi Abdul itu baik loh, Bu, sama Adi," bela Suami Sika pada Abdul temannya.
"Mungkin! Tapi masalahnya Adi belum menerima bahwa orang tuanya bercerai dan menerima Abdul sebagai ayah tirinya."Â
"Mudah-mudahan, Adi sekarang betah mesantren di Ustadz Farhan ya," sahut Suami Sika.
"Eh, Pah, Kabar Fatih gimana?" tanya Sika penasaran.
"Hemmm Sekarang di rumah. Mang Udin juga udah nyerah kayaknya. Terserah maunya Fatih."
"Bukannya waktu itu di pesantren di Suka Bumi."
"Iya, tiba-tiba dia minta pulang. Ngancem bunuh diri kalau gak dijemput."
Sika kembali menyeruput Es kopi miliknya, ia berharap rasa dingin dan manis itu bisa meredam api di dadanya. Ada bara amarah mengingat anak-anak senasib Fatih dan Adi, tetapi ia sendiri tak bisa berbuat apa-apa.
Sika memandangi wajah suaminya, seolah-olah kesempatan itu tak akan terulang lagi. Membuat suaminya merasa canggung.
"Ehemm, ada apa?"
"Enggak." Sika menggeleng sembari tersenyum dan mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Pak, jika suatu saat aku pergi duluan. Kalau nikah lagi, pastiin ya, ibu tirinya baik sama anak-anak. Atau kalau enggak tunggu anak-anak dewasa udah pada Nikah," ucap Sika, dengan nada serius tanpa dibuat-buat.
"Mulai deh," sahut Suaminya, jengah.
Sika berdiri dari tempat duduknya dan masuk ke dalam kamar. Ia kemudian mengunci pintu dari dalam. Dengan berurai air mata ia merebahkan tubuhnya di kasur. Ia tak kuasa menahan perih di hatinya, mengingat bagaimana hasil Rontgen yang di terimanya. Dokter telah memastikan Sika positif mengidap kanker payudara.
Bukan penyakit yang dikhawatirkan Sika tetapi, ia tak kuasa memikirkan bagaimana nasib anak-anak hidup tanpa dirinya.
Ruji, 07 Mei 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H