Runi duduk selonjoran di lantai. Bekas tepung menempel di rambut panjangnya yang diikat asal. Kusut tampak seperti ekor kerbau berlumpur. Menjuntai ke samping kanan hingga ke dada senada dengan kepalanya yang bersandar pada kulkas satu pintu berwarna abu-abu muram. Banyak coretan serta lem bekas stiker menempel di pintu kulkas.
Pandangan matanya berkeliling mengamati keadaan dapurnya yang sempit. Tumpukan piring di bawah kran berlumut memenuhi lantai khusus cucian berwarna hitam sisa minyak dan makanan basi yang berevolusi menjadi kerak.
Tetesan tepung bekas membuat gorengan menempel di badan kompor. Tumpahan kopi dan gelasnya masih tergeletak di atas meja tingkat multifungsi, berisi plastik-plastik bekas serta bumbu-bumbu yang ia simpan di wadah-wadah plastik bekas makanan instan.
Tiba-tiba perempuan itu melonjak, tumpukan piring kotor yang tak stabil rubuh. Menciptakan suara nyaring. Sepertinya salah satu piring hadiah sabun miliknya pecah. Namun hal itu tak juga membuatnya bergerak. Ia masih setia dengan lamunannya.
Tak berbeda dengan keadaan dapurnya. Kepalanya dan hatinya lebih sempit dan sesak.Â
"Kenapa hidupku seperti ini? Apa yang salah denganku?" Pertanyaan itu terus diulang-ulang tetapi tak jua mendapat jawaban.
Hingga nada dering dari handphone berlayar retak membuatnya bangkit. Sekilas ia melihat layar yang menampilkan angka-angka dari nomer telepon. Dengan malas ia menggeser ke atas ikon warna hijau.
"Halo." Dengan nada malas Runi menjawab. Meski tanpa nama Runi tahu persis yang menelpon adalah Lisa, anak bibinya.
"Ni gue. Lu nape, sih? Baru melek lu, ye?"
"Kagak, lagi boker," jawab Runi berbohong.Â
"Lagi enak ngeden, ganggu bae, lu!"Â
"Ya maap!" jawab Lisa. "Ibu, lu nih, nanyain. Lebaran pulang kagak?"
"Iye, entar nelepon balik, dah!"Â
Tanpa memedulikan penelpon, Runi menjawab sekenanya kemudian mematikan sambungan seenaknya.
Dulu. Semasa kecil Runi dan Lisa sangat akrab. Namun kemudian Runi mulai menjauh, ketika ia mulai dewasa. Ia merasa selalu salah jika bersama Lisa. Orang tuanya selalu membandingkan keduanya. Namun bukan itu alasan utamanya. Setinggi apapun orang tuanya menyanjung, Runi tahu persis bagaimana Lisa. Hal itu hanya membuatnya kesal dengan orang tuanya sendiri.Â
"Bandingin doang, modalin kagak!" Jawaban Runi selalu tetapi itu hanya ada dalam hati. Tak sekalipun Runi pernah membalas ucapan ibunya.
Ketika Runi masuk SMA dan Lisa dinikahkan oleh bibinya dengan orang kaya. Keduanya masih akrab tetapi setiap kali Runi bermain dengan Lisa, ibunya sering kali mewanti-wanti.
"Jangan deket-deket lagi sama Lisa. Dikiranya kamu minta dijajanin. Ibu yang gak enak, Run. Bibimu, bolak balik ngomong tiap kali kamu bareng Lisa."
Walaupun Runi sering kesal dengan ibunya tetapi ia tak rela jika ibunya tersakiti. Memilih menjauh dari Lisa adalah pilihan tepat menurutnya.
Seiring berjalannya waktu, Runi semakin jauh dengan Lisa. Meskipun ia menyadari Lisa sama sekali tak berubah seperti dulu. Namun lingkungan yang membuat Runi lebih memilih menjauh dan tak terhubung dengannya. Namun, Lisa selalu punya alasan menghubunginya, walau sekadar menyampaikan pesan dari ibunya. Karena keduanya berdekatan rumahnya di kampung.
"Iri sama Lisa?"
Pertanyaan itu ia ajukan kepada dirinya sendiri. Namun kemudian ia menggeleng pelan.
"Tidak!" Setitik air mata jatuh dari mata sebelah kanannya, lalu kemudian air mata saling susul menyusul tanpa mampu ia tampung lagi.Â
Dalam tangisnya Runi mengingat bagaimana sikap bibinya. Rumahnya yang bersebelahan dengan ibunya membuat hidupnya selalu dibandingkan-bandingkan.
Paman yang berasal dari keluarga kaya adalah perbedaan yang tak bisa dielak dan dikejar. Namun Runi tak pernah iri. Meskipun sederhana, keluarganya hidup rukun dan damai. Ayah ibunya tak pernah bertengkar, Runi bisa bersekolah hingga bangku kuliah.Â
Berbeda dengan Lisa, yang hanya sampai SMP, bukan karena biaya tetapi paman dan bibinya tak pernah menganggap penting pendidikan. Cukup menikahkan dengan orang kaya. Hasilnya Lisa dua kali menjanda dengan label janda muda kaya.
Namun hal itu tak ada hubungannya dengan kehidupannya. Lisa adalah Lisa. Runi adalah Runi. Meskipun punya gelar sarjana tak serta-merta kehidupan ekonomi keluarganya meningkat. Kini Runi masih terjebak di tanah rantau dengan keadaan pas-pasan. Ijazah yang didapatnya seakan tak ambil bagian dengan kehidupannya.
Ijazah itu hanya mengantarkannya ke Kota. Untuk merantau dan menjadikannya guru honor di salah satu sekolah swasta. Namun kemudian ia tinggalkan pekerjaan itu setelah menikah, yang kerap ia sesali hingga saat ini.
Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Suami yang menyuruhnya berhenti bekerja. Dengan dalih siap menafkahi yang terpenting mengurus keluarga di rumah, justru di P-H-K.
Meski mempunyai suami yang peduli dan sayang. Namun ketika dompet kempis tanpa uang, membuat pikiran Runi melayang-layang dan kerap perang pikiran.
Marah, kesal tetapi ia sadar, suaminya telah keras berjuang. Sekuat apapun berontak dan menyalahkan keadaan tak akan merubah apapun. Semua hanya akan terasa semakin menyiksa hati dan pikirannya.
"Kuat, kuat, sabar!" ucap Runi di sela-sela tangisnya. Ia hendak mengelap air mata tetapi ia lupa. Jika tangannya memegang lap berminyak.
"Asem!" umpatnya sambil melempar lap. Tanpa sengaja lap itu jatuh tepat di punggung kucing yang asyik di atas tumpukan piring.Â
Kucing yang kaget membuat kegaduhan. Suara prang, preng, prong tak terhindarkan dari dapur Runi.
Tulang ayam yang diambil paksa dari tumpukan piring bagian bawah membuat piring-piring diatasnya goyah dan pecah.
Sibuk mengusir kucing membuat Runi melupakan tangisannya. Sigap perempuan itu memulai membereskan dapurnya setelah menutup jendela. Mencegah kucing kembali masuk dan menggoyahkan lamunannya.Â
"Makasih ya, Cing, Kucing! Lu bikin gue lupa kalau lagi pusing," ucapnya persis seperti ucapan orang sinting yang ia temui kemarin siang di pasar ketika belanja bahan-bahan gorengan.Â
Sigap, tangan-tangan Runi kemudian membereskan kekacauan di dapur sempitnya. Selesai beberes ia kemudian mengambil sebuah gelas bir, hadiah dari membeli produk minuman berenergi. Membuat es kopi capuccino kesukaannya dan meminumnya pelan. Perpaduan rasa manis dan dingin merasuk hingga memadamkan api di kepalanya.Â
Runi mengambil sebutir pecahan es batu dan menempelkan di kelopak matanya yang bengkak karena menangis.
Sembari menikmati sensasi dingin, Runi menyalakan handphone dan memilih menonton Drakor sembari menunggu suaminya pulang dagang.
Mutia AH
Ruji, 30 April 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H