"Ishh, apaan sih?"Â
Lagi, Bagas membuat Rindu tersipu.
"Bagiku, kau adalah sosoknya di masa kini," lanjut Bagas sambil menatap intens Rindu.Â
Tak mau membuang kesempatan Bagas lantas menjelaskan bagaimana ia tertarik pada Rindu. Bukan karena kecantikannya tetapi karena sikap dan tindakan Rindu selama ini yang membuatnya kagum. Ia melihat sendiri bagaimana Rindu berjuang melawan patriarki dalam keluarganya. Hingga kemudian gadis itu membantu teman-temannya yang bernasib sama. Membangun dan mengajar di tempat singgah adalah salah satu bentuk konkrit kepedulian Rindu pada sesama. Namun yang terpenting Rindu mampu memperjuangkan nasib dan meraih mimpinya sendiri.
"Kamu adalah sosok perempuan berjiwa Kartini, semangat dan perjuangan kamu hingga kamu bisa sampai di titik ini, itu yang ....,"
"Ah, kamu terlalu tinggi berekspektasi tentang aku," potong Rindu, sambil menunduk malu-malu.
"Kau masih saja rendah hati, Rindu," sahut Bagas, tanpa mengalihkan pandangannya.
Bagas terdiam, mulutnya tak lagi berkata-kata. Akan tetapi hatinya tak berhenti bicara.Â
"Setiap orang memiliki pemaknaan yang berbeda terkait sifat yang sesuai dengan sosok Kartini. Memang hal itu tidak dapat diseragamkan karena semua individu berhak memiliki pemahamannya sendiri. Namun satu hal yang pasti, perempuan yang memiliki semangat tinggi untuk berkarya dan berkontribusi bagi lingkungan sekitar dan bangsanya adalah sosok Kartini sejati, dan itu kamu Rindu." Namun kata-kata yang tersusun rapi itu hanya berputar-putar di kepalanya saja.
"Rupanya, sosok Kartini tumbuh dalam dirimu tanpa kamu sadari," puji Bagas jujur, yang kemudian hanya dibalas dengan tawa kecil oleh Rindu.
"Aku hanya penasaran mengapa foto itu yang kamu pajang, kamu malah ngelantur kemana-mana," ujar Rindu, mencoba menetralkan debaran hatinya.