Rindu memperhatikan interior di ruang kerja Bagas dengan seksama. Tema klasik dengan ornamen serba kayu yang didominasi warna beige, merubah kantor yang formal menjadi suasana santai, unik tetapi terkesan mewah.Â
Dari desain unik itu, ada satu yang paling menarik Rindu untuk untuk lebih seksama memperhatikan. Pandangan matanya berhenti pada dinding samping meja, pada sebuah foto berbingkai. Awalnya ia mengira itu foto, ibunya Bagas, ternyata tebakan Rindu meleset jauh.
Gadis itu tersenyum, memperhatikan foto perempuan anggun dengan sanggul yang khas, kemudian bergumam, "aneh."Â
"Apa yang aneh?" tanya Bagas mengagetkan Rindu. Membuat gadis itu tersipu, seperti pencuri yang tertangkap tangan.
Memahami perasaan sang Gadis, pria tampan berdasi warna silver senada dengan jas yang dipakainya, mempersilahkan Rindu untuk duduk di kursi kayu dekat jendela. Sudut kecil yang didesain khusus untuk menerima tamu-tamu VIP di kantor.
Dengan hati berdebar, Rindu mengikuti arahan Bagas. Ini pertama kalinya bagi Rindu, mendatangi tempat seorang laki-laki di kantornya. Bukan untuk urusan bisnis yang umumnya dibicarakan di kantor-kantor tetapi ia datang hanya untuk berkunjung dan menunggu pemuda itu selesai bekerja. Untuk kemudian pergi bersama ke suatu tempat. Berkencan tepatnya, tetapi Rindu terlalu sungkan menggunakan kata itu, baginya hal itu terkesan negatif tetapi pada kenyataannya ia memang hanya pergi berduaan bersama seorang pria, yang bisa dibilang calon pasangannya.
"Gimana, jadi ke old town white coffe?" Tanya Bagas, sesaat setelah keduanya duduk.
"Emm," gumam Rindu, seolah mengatakan "beri aku waktu untuk berpikir?" Sembari menatap ke luar jendela.
Ingin Rindu menjawab dengan kata terserah, tetapi hatinya cenderung ingin nyaman berbincang di tempat yang nyaman. Kafe bukanlah tempat yang cocok bagi Rindu, lebih tepatnya ia tak terbiasa nongkrong di sana.
"Gimana?" Bagas melebarkan pupil matanya, pada gadis yang akhir-akhir ini menemaninya berbincang hingga larut malam di telepon.