Mohon tunggu...
Mutia AH
Mutia AH Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Fiksi

Menulis yang ringan dan positif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Santunan, Mbak Pur dan Aku

26 Maret 2023   07:30 Diperbarui: 26 Maret 2023   07:32 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar Pixabay


Belum sempat merasa nyaman dengan posisi duduk, aku dikejutkan oleh ibu-ibu setengah baya dengan sapaan penuh curiga. Beberapa kali ia menoleh ke arahku, hingga beberapa menit berikutnya pertanyaan terlontar dari bibir tak bergincu wanita berbaju biru dan berjilbab kuning itu.

"Mbak dari mana?" sapanya lugas dengan nada ketus dan tatapan yang entah.

"Dari rumah." Aku jawab spontan. Alih-alih membalas dengan sopan, aku terkesan meledek. Akan tetapi sapaan dan tatapannya benar-benar membuatku tidak nyaman.

Apa aku salah tempat duduk? Aku mulai bertanya-tanya setelah melihat sekeliling. Karpet ini terletak di samping panggung sebelah kanan dan terpisah dengan jamaah lain. Meski kikuk aku kembali mengedarkan pandangan berkeliling dan terhenyak mendapati tulisan, 'Penerima Santunan.' Dalam hati aku menggerutu, kenapa harus dibeda-bedakan tempat duduknya seperti ini.

Meskipun tidak ada yang memperhatikan rasa malu di hati tak dapat disembunyikan. Perlahan aku bangkit dan berjalan memutar ke belakang panggung dan pindah tempat duduk di sebelah kiri panggung. Suasana di sini lebih hangat, banyak wajah-wajah yang dikenal. Salah satunya Mbak Ina, yang tinggal di sebelah kos-kosanku. Setelah bertegur sapa dan bersalaman, aku memilih fokus ke panggung dimana acara inti pengajian Akbar dimulai. Sambil berusahaa melupakan kejadian barusan.

Pantas saja ibu-ibu itu melihatku aneh. Aku masih terlalu muda untuk menjadi seorang janda yang patut disantuni dan terlalu tua untuk menjadi anak yatim yang butuh kemurahan hati sesama.

Baca juga: Rumah

Ingin rasanya mengumpat diri sendiri yang nekad datang sendirian. Kalau saja tadi bareng-bareng dengan penghuni kos-kosan lain, tentu akan lain ceritanya. Bagaimana pun juga, kejadian ini akan menjadi rahasia. Tidak akan diceritakan pada siapapun karena pasti aku hanya akan menjadi bahan tertawaan.


*****
Sejak kejadian waktu itu, diam-diam aku berjanji dalam hati. Tidak akan pergi ke pengajian sendirian, meskipun di kampung sendiri. Karena itulah aku mengajak Mbak Pur, tetanggaku.

Dulu, Mbak Pur rajin menghadiri acara-acara pengajian. Namun sejak aku  kerja di daerah lain, kabarnya Mbak Pur tak pernah hadir di pengajian manapun.

Sebenarnya bukan karena tidak ada temannya, tetapi entah karena alasan apa Mbak Pur, terkesan enggan dan malas untuk hadir. Sekarang pun, Mbak Pur sepertinya terpaksa karena aku yang terus membujuknya untuk datang bersama.

"Ra, kamu tahu susunan acara malam ini?" tanya Mbak Pur, sambil memegang erat lenganku.

"Paling sama kayak biasanya," jawabku enteng.

"Ada santunan gak?" tanya Mbak Pur kemudian.

"Gak ada kayaknya." Aku berusaha menjawab dengan benar. Sebenarnya aku sendiri tak tahu persis. Namun pertanyaan Mbak Pur ini yang terasa janggal. Kenapa ia menanyakan hal itu?

"Benerean gak ada, Ra?" Mbak Pur kembali memastikan.

"Bener, Mbak," jawabku yakin.

Seperti biasanya kami berjalan sambil bergandengan hingga di tujuan

Suasana di halaman Masjid telah ramai, hampir seluruh warga kampung tumpah ruah di sini. Beruntung kami masih kebagian tempat duduk meskipun di bagian belakang.

Lantunan shalawat yang dibawakan grup Hadroh menggema memenuhi langit Nirwana Indah, seakan menyihir seluruh jamaah untuk ikut mengumandangkan. Setelah tampilan itu selesai, pembawa acara naik ke panggung. Acara Maulid baru dimulai yang ditandai dengan beberapa sambutan-sambutan. Seperti membiarkan angkot yang lewat, aku dan Mbak Pur lebih asyik ngobrol sendiri.

Hingga tiba-tiba kami terkejut ketika nama Mbak Pur disebut. Aku memperhatikan ke Panggung, tampak beberapa anak dan ibu-ibu berdiri untuk menerima santunan.

"Hayo, Mbak maju!" Mbak warni yang duduk di samping kiri menyentuh lengan Mbak Pur, sembari membujuk.

"Ra, kamu bilang gak ada santunan!" Protes Mbak Pur sembari menepis tangan Mbak Warni.

"Maaf Mbak, aku gak tauk kalau ..."

"Kalau tauk begini, aku gak mau dateng!" Sahut Mbak Pur, sembari melepas cengkraman di lenganku.

"Mbak!" panggilku melihat Mbak Pur, bangkit. Ia terlihat cukup kewalahan menghindari untuk tidak menabrak orang lain, karena suasana ini menang tidak seperti biasanya.

Setelah keluar dari kerumunan, Mbak Pur berjalan lebih cepat. Aku tahu, naluri Mbak Pur tajam. Meskipun tak bisa melihat seperti manusia normal tetapi ia mempunyai kemampuan lain sebagai pengganti penglihatan. Setidaknya di sini di kampung halaman kami tempat Mbak Pur tinggal sedari lahir.

"Berhenti, Ra! Biar aku pulang sendiri."

Aku menghentikan langkah dan kembali berjalan setelah Mbak Pur agak jauh. Bagaimana pun juga, aku tetap tidak tega membiarkan Mbak Pur berjalan sendirian terlebih ini malam hari seperti ini. Meskipun butuh waktu untuk memaafkan, setidaknya Mbak Pur harus tahu kalau aku benar-benar tidak tahu kalau ada acara santunan. Namun setidaknya dari sini aku mengerti, kenapa Mbak Pur enggan datang ke pengajian-pengajian.

Salam
Mutia AH
Ruji, 26 Maret 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun