"Ra, kamu bilang gak ada santunan!" Protes Mbak Pur sembari menepis tangan Mbak Warni.
"Maaf Mbak, aku gak tauk kalau ..."
"Kalau tauk begini, aku gak mau dateng!" Sahut Mbak Pur, sembari melepas cengkraman di lenganku.
"Mbak!" panggilku melihat Mbak Pur, bangkit. Ia terlihat cukup kewalahan menghindari untuk tidak menabrak orang lain, karena suasana ini menang tidak seperti biasanya.
Setelah keluar dari kerumunan, Mbak Pur berjalan lebih cepat. Aku tahu, naluri Mbak Pur tajam. Meskipun tak bisa melihat seperti manusia normal tetapi ia mempunyai kemampuan lain sebagai pengganti penglihatan. Setidaknya di sini di kampung halaman kami tempat Mbak Pur tinggal sedari lahir.
"Berhenti, Ra! Biar aku pulang sendiri."
Aku menghentikan langkah dan kembali berjalan setelah Mbak Pur agak jauh. Bagaimana pun juga, aku tetap tidak tega membiarkan Mbak Pur berjalan sendirian terlebih ini malam hari seperti ini. Meskipun butuh waktu untuk memaafkan, setidaknya Mbak Pur harus tahu kalau aku benar-benar tidak tahu kalau ada acara santunan. Namun setidaknya dari sini aku mengerti, kenapa Mbak Pur enggan datang ke pengajian-pengajian.
Salam
Mutia AH
Ruji, 26 Maret 2023