Keluhan-keluhan itu juga tidak terlalu buruk. Karenanya saya masuk ke dalam ruang perenungan. Tentang apa tujuan menulis? Kenapa menulis dan kenapa-kenapa yang lain.
Ketika bertemu dengan pertanyaan, apa tujuanmu menulis? Hobi, saya jawab. "Jika menulis karena hobi tentu tak menjadi persoalan bukan jika artikel tak berlabel." Begitu kata seorang penulis senior.
"Jika tujuan menulis untuk berbagi informasi, tentu tak kesal jika tulisan tak dilabel. Bukankah tujuannya berbagai?"
"Jika memikirkan label, tujuan menulis tidak akan tercapai. Baik untuk terapi, berbagi informasi atau sekedar menyenangkan hati karena hobi."
Pada akhirnya pertanyaan dan jawaban itu menjelma menjadi kritik dan saran di hati saya. Menjadi penyemangat untuk tetap menulis meskipun artikel tak berlabel.
Namun, seiring berjalannya waktu. Nasihat-nasihat itu tak lagi menjadi jimat penyemangat. Semangat menulis turun naik. Meningkat saat tulisan dimuat dan dilabel. Turun saat artikel berkali-kali diabaikan.
Hal tidak menyenangkan ini baru tentang label. Terlebih lagi soal reawed. Ah, sepertinya itu hanya angan-angan bagi saya. Jika diibaratkan dalam pribahasa tampaknya cocok dibilang pungguk yang merindu bulan.
Lantas, apakah saya menyerah karena tidak mendapat label dan reawed? Ternyata saya tidak menyerah. Meskipun diabaikan berkali-kali, saya tetap saja menulis dan mengunggah di sini.
Apakah saya ikhlas? Sepertinya tidak sepenuhnya, karena harapan untuk mendapatkan sesuatu itu ada. Walaupun terasa dekat dengan kata tidak mungkin. Akan tetapi saya tidak mau menyerah begitu saja. Hal itu terasa berat untuk dijalani. Maka dari itu saya memilih sesuka hati dalam menjalani.
Jika ingin menulis maka saya menulis. Jika tidak ingin, ya saya tidak memaksa diri. Hal itu dilakukan karena saya tidak ingin kehilangan nikmatnya menulis. Karena saya sadar, melakukan apa yang disukai akan terasa lebih mudah.
Pada akhirnya kembali ke satu pertanyaan. Apa tujuanmu menulis?