Mohon tunggu...
Mutia AH
Mutia AH Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Fiksi

Menulis yang ringan dan positif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Bayi Itu Lahir

1 Juni 2021   12:35 Diperbarui: 1 Juni 2021   13:08 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Auw! Sakit, Mas!" teriak Clara sambil memukuli Mas Yuda. Dengan suka rela, lelaki itu menerima perlakuan Clara yang diluar kendali.

Dunia berpusat pada Clara saat ini. Mas Yuda di samping kanan dan ibunya Clara di samping kirinya. Sementara, Aku, Bidan Yuni dan Sita, di bagian bawah dekat kaki yang sesekali memegangi agar posisi Clara tetap terentang.

Keringat bercucuran dari kening, Clara. Tulang rahangnya terlihat mengeras dan mulutnya tak berhenti berteriak. Sementara tangan kanannya berkali-kali memukul dan mencakar Mas Yuda.

Meskipun berat aku mencoba tetap profesional. Menyaksikan dan membantu proses kelahiran ini dengan perasaan campur aduk. Kepala terasa pusing dan berat, melihat darah yang mengalir dari kemaluan Clara semakin banyak, membasahi kain selimut yang kini tak berbentuk. Ada kekhawatiran menyeruak. Clara adalah pasien pertama yang ditangani dan memiliki hubungan tak baik denganku. Hati semakin tak karuan, sekeras apa pun aku berusaha tenang.

Hampir satu jam, Clara mengejan tetapi jabang bayi masih enggan keluar. Hanya terlihat rambut hitam menyembul dari jalan lahir. Akhirnya setelah Bu Bidan menggunting daging empuk milik Clara, seorang bayi perempuan menangis menyambut Dunia.

Spontan, aku menggendong bayinya dan menyerahkan pada Clara sembari berucap. "Selamat Clara, bayimu cantik sekali." Seiring air mata yang menetes tak tertahan.

Clara mengambil alih bayi dari tanganku. Dengan mengembangkan senyuman. Perjuangan mempertaruhkan nyawa seketika terbayar, saat ia menggendong dan menyusui bayinya.

Mas Yuda, melihat bayi mungil yang sedang berusaha menemukan puting susu ibunya. Aura kebahagian terlukis dari senyum dan tatapannya. Perlahan ia mendekat ke arah Clara dan mendaratkan kecupan mesra. Aku mengalihkan pandangan dan beranjak meninggalkan ruangan, tanpa berpamitan.

Dengan tangan kiri pintu ditutup tanpa membalikan badan. Aku berjalan ke arah toilet menghindar bertemu dengan banyak orang. Langkah kaki ini terasa gamang dengan kepala yang kosong. Pandangan mata mulai mengabur dengan air mata terus bergulir.

"Lis." Usapan lembut di pundak membuatku reflek menoleh. Bidan Yuni, merangkul tubuhku hingga sampai toilet.

"Sabar, Lis," ucapnya parau. Mendapat empati, seketika aku menangis sesenggukan.

Entah berapa lama aku larut dalam kesedihan. Setelah mencuci muka aku mengajak Bidan Yuni keluar. Tanpa mengganti seragam, aku pamit pulang pada Bu Yuni.

****
Malam semakin larut, aku masih berdiri di balik jendela kaca. Pandangan mata berpusat pada pintu pagar berwarna putih. Meskipun pikiran menyangkal tetapi jauh di lubuk hati tetap berharap. Lelaki yang menikahi denganku sejak sepuluh tahun lalu itu pulang ke rumah malam ini.

Kaki mulai kebas karena terlalu lama berdiri. Ritme jarum jam berdetak seirama degup jantung. Aku sudah lebih tenang dan perlahan berdamai dengan keadaan. Dengan harapan yang pupus, aku memutuskan pergi ke kamar dan tidur.

Setengah jam lamanya aku berbaring, tetapi otak enggan diam. Bayangan kebahagiaan Mas Yuda, Clara dan bayinya tetap menari-nari di atas kepala. Kemudian menangis meratapi nasib sendiri.

Aku mengusap air mata yang menetes di pipi. Kemudian memejamkan mata pura-pura tidur pulas. Ketika pagar bergeser menimbulkan suara yang khas. Deru motor terdengar memasuki halaman. Pintu yang dibuka serta langkah kaki yang semakin mendekat membuat perutku seketika mulas. Hingga kurasakan tubuh berat menindih dan bibir lembab menempel di kening..
Sengaja aku hembuskan nafas turun naik, agar terlihat pulas. Meskipun hati menjerit.

Kurasakan ranjang bergerak dan Mas Yuda membaringkan tubuhnya di sebelah. Tak cukup waktu lama, hening tercipta. Aku membalikan tubuh setelah yakin Mas Yuda pulas tertidur.
*****
Kulakukan aktifitas pagi seperti biasa. Menyiapkan sarapan dan menyempatkan    membuat makanan untuk Clara. Tanpa dibangunkan, Mas Yuda terlihat telah bangun dan mandi. Hingga saat sarapan tiba, ia telah rapi dengan kemeja motif salur.

Ia tampak tenang seperti biasanya. Duduk di kursi menghadap meja makan sambil menyeruput kopi yang tersedia. Aku duduk di seberangnya dengan tersenyum. Ironis, kami tapak seperti pasangan suami istri yang harmonis.

"Mas," panggilku pelan. Mas Yuda mengalihkan pandangan ke arahku, hingga tatapan kami bertemu.

"Ceraikan aku!" kataku, dengan sekuat tenaga menahan air mata.

Mas Yuda tampak gelisah, ada ketidaksenangan di wajahnya, atas ucapan barusan. Namun ia terlihat enggan menanggapi. Seolah permintaan itu hanyalah rengekan anak kecil minta jajan.

"Lis, tolong jangan merusak suasana. Kita sudah melewati ini selama satu setengah tahun," jawabnya. Kemudian ia berdiri dan menghampiriku.

"Aku selalu mencintaimu, sampai kapan pun," lanjutnya sambil memelukku erat. Membuat dadaku terasa sesak.

"Aku, pergi dulu," pamitnya kemudian. Setelah mendaratkan kecupan di kening lama.

Aku hanya menatap kepergiannya dengan posisi masih berdiri di samping meja makan. Hingga deru motor menjauh. Aku masih bengong di tempat semula.

Setelah beberapa saat aku tersadar. Dengan segera membereskan meja makan dan menyimpannya di lemari pendingin. Kemudian, bergegas ke kamar mengambil koper yang sudah di persiapkan sejak kemarin. Air mata kembali jatuh saat aku meletakan sepucuk surat untuk Mas Yuda di atas bantal. Setahun setengah hidup berbagi suami, hati tak kunjung mengikhlaskan.

Puncaknya, saat Clara menghadiahkan bayi kecil untuk Mas Yuda. Sementara rahimku tetap kosong setelah berbagai usaha dilakukan. Aku tak sanggup lagi bertahan dan berpura-pura ikhlas menerima segalanya.

Bunyi klakson terdengar membuyarkan lamunan. Aku bergegas keluar dengan koper di tangan. Setelah memastikan aku yang memesan taksi, Pak Sopir membukakan pintu. Tanpa kata dan suara, taksi melaju di jalan raya. Hingga lima menit berlalu, kami mendekati klinik tempat Clara melahirkan dan juga tempatku bekerja.

"Berhenti sebentar, Pak!" teriakku saat di halaman klinik terlihat ada Mas Yuda, Clara dan ibunya, berdiri berjajar. Sebentar kemudian, mobil berhenti di depan mereka. Dari jauh kulihat, Mas Yuda menuntun Clara. Keduanya tersenyum saling memandang sebelum masuk ke mobil.

"Jalan lagi, Pak!" kataku. Tak sanggup melihat kebahagiaan suami dan maduku. Aku memilih pergi dan meninggalkan semuanya meski sakit tak terkira.

Tamat

Mutia AH
RuJi, 30 Mei 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun