"Aku selalu mencintaimu, sampai kapan pun," lanjutnya sambil memelukku erat. Membuat dadaku terasa sesak.
"Aku, pergi dulu," pamitnya kemudian. Setelah mendaratkan kecupan di kening lama.
Aku hanya menatap kepergiannya dengan posisi masih berdiri di samping meja makan. Hingga deru motor menjauh. Aku masih bengong di tempat semula.
Setelah beberapa saat aku tersadar. Dengan segera membereskan meja makan dan menyimpannya di lemari pendingin. Kemudian, bergegas ke kamar mengambil koper yang sudah di persiapkan sejak kemarin. Air mata kembali jatuh saat aku meletakan sepucuk surat untuk Mas Yuda di atas bantal. Setahun setengah hidup berbagi suami, hati tak kunjung mengikhlaskan.
Puncaknya, saat Clara menghadiahkan bayi kecil untuk Mas Yuda. Sementara rahimku tetap kosong setelah berbagai usaha dilakukan. Aku tak sanggup lagi bertahan dan berpura-pura ikhlas menerima segalanya.
Bunyi klakson terdengar membuyarkan lamunan. Aku bergegas keluar dengan koper di tangan. Setelah memastikan aku yang memesan taksi, Pak Sopir membukakan pintu. Tanpa kata dan suara, taksi melaju di jalan raya. Hingga lima menit berlalu, kami mendekati klinik tempat Clara melahirkan dan juga tempatku bekerja.
"Berhenti sebentar, Pak!" teriakku saat di halaman klinik terlihat ada Mas Yuda, Clara dan ibunya, berdiri berjajar. Sebentar kemudian, mobil berhenti di depan mereka. Dari jauh kulihat, Mas Yuda menuntun Clara. Keduanya tersenyum saling memandang sebelum masuk ke mobil.
"Jalan lagi, Pak!" kataku. Tak sanggup melihat kebahagiaan suami dan maduku. Aku memilih pergi dan meninggalkan semuanya meski sakit tak terkira.
Tamat
Mutia AH
RuJi, 30 Mei 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H