Mohon tunggu...
Mutia AH
Mutia AH Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Fiksi

Menulis yang ringan dan positif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Bayi Itu Lahir

1 Juni 2021   12:35 Diperbarui: 1 Juni 2021   13:08 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah berapa lama aku larut dalam kesedihan. Setelah mencuci muka aku mengajak Bidan Yuni keluar. Tanpa mengganti seragam, aku pamit pulang pada Bu Yuni.

****
Malam semakin larut, aku masih berdiri di balik jendela kaca. Pandangan mata berpusat pada pintu pagar berwarna putih. Meskipun pikiran menyangkal tetapi jauh di lubuk hati tetap berharap. Lelaki yang menikahi denganku sejak sepuluh tahun lalu itu pulang ke rumah malam ini.

Kaki mulai kebas karena terlalu lama berdiri. Ritme jarum jam berdetak seirama degup jantung. Aku sudah lebih tenang dan perlahan berdamai dengan keadaan. Dengan harapan yang pupus, aku memutuskan pergi ke kamar dan tidur.

Setengah jam lamanya aku berbaring, tetapi otak enggan diam. Bayangan kebahagiaan Mas Yuda, Clara dan bayinya tetap menari-nari di atas kepala. Kemudian menangis meratapi nasib sendiri.

Aku mengusap air mata yang menetes di pipi. Kemudian memejamkan mata pura-pura tidur pulas. Ketika pagar bergeser menimbulkan suara yang khas. Deru motor terdengar memasuki halaman. Pintu yang dibuka serta langkah kaki yang semakin mendekat membuat perutku seketika mulas. Hingga kurasakan tubuh berat menindih dan bibir lembab menempel di kening..
Sengaja aku hembuskan nafas turun naik, agar terlihat pulas. Meskipun hati menjerit.

Kurasakan ranjang bergerak dan Mas Yuda membaringkan tubuhnya di sebelah. Tak cukup waktu lama, hening tercipta. Aku membalikan tubuh setelah yakin Mas Yuda pulas tertidur.
*****
Kulakukan aktifitas pagi seperti biasa. Menyiapkan sarapan dan menyempatkan    membuat makanan untuk Clara. Tanpa dibangunkan, Mas Yuda terlihat telah bangun dan mandi. Hingga saat sarapan tiba, ia telah rapi dengan kemeja motif salur.

Ia tampak tenang seperti biasanya. Duduk di kursi menghadap meja makan sambil menyeruput kopi yang tersedia. Aku duduk di seberangnya dengan tersenyum. Ironis, kami tapak seperti pasangan suami istri yang harmonis.

"Mas," panggilku pelan. Mas Yuda mengalihkan pandangan ke arahku, hingga tatapan kami bertemu.

"Ceraikan aku!" kataku, dengan sekuat tenaga menahan air mata.

Mas Yuda tampak gelisah, ada ketidaksenangan di wajahnya, atas ucapan barusan. Namun ia terlihat enggan menanggapi. Seolah permintaan itu hanyalah rengekan anak kecil minta jajan.

"Lis, tolong jangan merusak suasana. Kita sudah melewati ini selama satu setengah tahun," jawabnya. Kemudian ia berdiri dan menghampiriku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun