Mohon tunggu...
Mutia AH
Mutia AH Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Fiksi

Menulis yang ringan dan positif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bayang-Bayang Mantan

6 Mei 2021   14:26 Diperbarui: 6 Mei 2021   14:31 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari Pixabay

Bayang-Bayang Mantan

Seharusnya aku sudah bisa menikmati secangkir kopi sambil duduk santai nonton TV di rumah sejak satu jam lalu. Namun hingga sekarang aku masih terjebak di halte pinggir jalan depan kantor. Hampir dua jam hujan belum juga berhenti membuat angkutan kota yang biasa lalu lalang seakan lenyap ditelan Bumi. Sekalinya lewat, berjubel penumpang di dalamnya.

Beruntung aku masih kebagian duduk di ujung bangku halte. Meski harus berbagi dengan ibu-ibu gendut yang terkantuk-kantuk. Setidaknya tubuhku bisa lebih nyaman. Meski tempias air hujan telah membasahi sebagian baju yang dikenakan.

Penghuni halte semakin berkurang, ada yang gak tahan menunggu akhirnya memilih berlari menembus hujan dan ada pula yang beralih ke sebrang halte, menunggu hujan reda sembari menikmati semangkok baso hangat.

Berkali-kali aku merekatkan jaket bahan levis yang lembab. Juga menggosok-gosok telapak tangan untuk mengusir dingin. Namun tetap saja badanku menggigil saat angin berembus. Ditambah perut yang lapar membuatku semakin tak nyaman.

Ah, saat seperti ini tak bisa untuk tidak berandai-andai. Mas Aryo! Ah lelaki itu, pasti tengah tertidur pulas di rumah, hingga tak peduli istrinya tengah mengharapkannya menjemput.

Di parkiran Warung baso sebrang jalan terlihat mobil xenia berwarna putih nangkring sejak sejam yang lalu. Membuatku berkhayal seandainya suamiku seseorang yang mapan kerjaan dan berkarier bagus, tentu aku bisa menikmati nyamannya berada di dalam mobil sana. Saat masih lajang aku pikir cinta adalah kebahagiaan seutuhnya. Ternyata cinta saja tak cukup apa lagi mempunyai seorang suami super cuek seperti Mas Aryo.

Aku hampir melonjak saat gawai di dalam tasku bergetar. Reflek tanganku merogoh dan mengeluarkannya dari tas.
WA dari Mas Arya nampak di layar utama handphone. Reflek jempol tangan kananku menggeser layar ke atas untuk membuka kunci dan melihat pesan.

[Kok belum pulang?]
Aku mendengus kesal saat membaca pesan tersebut. Entah apa yang dipikirkan lelaki itu? Seharusnya ia tahu hujan lebat seperti ini, tak mudah mencari kendaraan.

"Permisi!"
Nyaris saja handphone di tangan terlepas. Saat terdengar suara seorang bariton seorang pria yang sangat akrab, beberapa tahun silam. Kedua mata ini hampir tak berkedip melihat sosok lelaki bertubuh tegap dan tinggi berdiri di depanku. Ia tersenyum dengan tatapan intens. Membuat jantungku berdetak lebih cepat.

"Kaget, ya?" tanyanya masih dengan tersenyum. Aku diam tak menjawab, dengan mengalihkan pandangan ke sekitar halte. Tak ada siapapun. Entah kemana orang-orang yang tadi ramai berteduh di sini. Aku kembali memainkan handphone tanpa memperdulikan pria itu. Kini ia beralih duduk di sampingku.

Aku berdiri saat angkot berhenti di depan halte, baru selangkah, pria itu menarik tanganku.

"Enggak, Bang," katanya pada sopir angkot membuat angkot yang kutunggu berlalu begitu saja.

"Kamu?" protesku menatap pria itu tajam.

"Mau sampai kapan kamu bersikap seperti ini? Lari dan terus menghindar!"

"Aku ... " kata-kataku terputus. Ada rasa bersalah menusuk.

"La, kenapa kamu seperti ini. Apa salahku?" tanyanya kemudian.

"Sudahlah. Itu sudah berlalu!" kilahku mencoba menghentikan perbincangan ini.

"Aku hanya butuh penjelasan. Kenapa dulu kamu pergi gitu aja?"

"Maaf," kataku lirih. Bulir bening menetes di sudut mata ada rasa bersalah menusuk. Aku pejamkan mata mencoba melupakan semua bayangan Yudi dan peristiwa lima tahun lalu, di halte depan sekolah.

"Ela! Ayo pulang!"

Aku membuka mata, lamunanku buyar seketika. Mas Aryo telah berada di hadapanku, duduk di atas motor bututnya.

"Pantesan aja wa gak dibales, kamu tidur di halte!" ucap lelaki yang menikahi aku setahun lalu itu sambil tertawa.

Aku menunduk menyembunyikan rona merah di pipi. Jantung berdegup kencang, entah karena candaan Mas Aryo, atau pertemuan tanpa sengaja di lobi kantor dengan Yudi tadi siang.

Aku berjalan mendekati Mas Aryo. Kemudian melompat ke jok belakang bagian belakang. Setelah berasa di atas motor, aku berpegangan erat di pinggang Mas Aryo. Membuat ia terbatuk dan ber-dehem.

"Sepertinya ada sesuatu nih," ucapnya menyindir tingkahku. Membuatku tersipu dan membenamkan kepala di punggungnya.

"Tahu aja," bisik batinku.

Setelah memastikan aku nyaman duduk dan mengerat pegangan. Mas Aryo melajukan motornya menembus gerimis yang masih mengguyur.

Sepanjang perjalanan aku merenungi arti kebersamaan dan kehadiran Mas Aryo. Mungkin ia tak sebaik Yudi jika dilihat dari penilaian wanita yang dimabuk cinta, sepertiku dulu saat SMA. Namun Mas Aryo, bagaimana telah menjadi suamiku sekarang.

Seandainya saja, dulu aku bersikap dewasa. Tak lari dan menghindari Yudi, mungkin tak ada beban di hati ini. Namun apa boleh buat, semua telah terjadi dan mungkin kini saatnya semua rahasia antara aku, Mas Aryo dan Yudi terkuak. Semoga tak ada lagi yang tersakiti.

Aku tak boleh lagi membuat masalah baru dengan merahasiakan siapa Yudi pada Mas Aryo. Biarlah nanti aku bicarakan dengan Mas Aryo terlebih dahulu. Haruskah berhenti atau lanjut bekerja? Sementara Yudi, kini menjadi Manajer di kantor tempatku bekerja.

Tamat

Mutia AH

Ruji, 06 Mei 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun