"Pantesan aja wa gak dibales, kamu tidur di halte!" ucap lelaki yang menikahi aku setahun lalu itu sambil tertawa.
Aku menunduk menyembunyikan rona merah di pipi. Jantung berdegup kencang, entah karena candaan Mas Aryo, atau pertemuan tanpa sengaja di lobi kantor dengan Yudi tadi siang.
Aku berjalan mendekati Mas Aryo. Kemudian melompat ke jok belakang bagian belakang. Setelah berasa di atas motor, aku berpegangan erat di pinggang Mas Aryo. Membuat ia terbatuk dan ber-dehem.
"Sepertinya ada sesuatu nih," ucapnya menyindir tingkahku. Membuatku tersipu dan membenamkan kepala di punggungnya.
"Tahu aja," bisik batinku.
Setelah memastikan aku nyaman duduk dan mengerat pegangan. Mas Aryo melajukan motornya menembus gerimis yang masih mengguyur.
Sepanjang perjalanan aku merenungi arti kebersamaan dan kehadiran Mas Aryo. Mungkin ia tak sebaik Yudi jika dilihat dari penilaian wanita yang dimabuk cinta, sepertiku dulu saat SMA. Namun Mas Aryo, bagaimana telah menjadi suamiku sekarang.
Seandainya saja, dulu aku bersikap dewasa. Tak lari dan menghindari Yudi, mungkin tak ada beban di hati ini. Namun apa boleh buat, semua telah terjadi dan mungkin kini saatnya semua rahasia antara aku, Mas Aryo dan Yudi terkuak. Semoga tak ada lagi yang tersakiti.
Aku tak boleh lagi membuat masalah baru dengan merahasiakan siapa Yudi pada Mas Aryo. Biarlah nanti aku bicarakan dengan Mas Aryo terlebih dahulu. Haruskah berhenti atau lanjut bekerja? Sementara Yudi, kini menjadi Manajer di kantor tempatku bekerja.
Tamat
Mutia AH