Mohon tunggu...
Mutia AH
Mutia AH Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Fiksi

Menulis yang ringan dan positif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Balada Cinta Eyang Kaji (Pelet Nini Kesong)

7 Mei 2020   12:32 Diperbarui: 7 Mei 2020   12:41 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Belakangan ini, perempuan paruh baya itu mendadak viral di kampungnya. Pasalnya Haji Dullah yang menduda dua bulan lalu, jatuh cinta berat pada sosok wanita berkaki pendek sebelah, berwajah mirip artis komedian yang terkenal dengan kelebihan bibir lima senti yang dimilikinya.

Haji Dullah yang berumur tujuh puluhan, mendadak energik, seperti ABG jatuh cinta. Siang malam terlihat rajin bertandang ke rumah Nini Kesong, janda tiga kali. Untuk ukuran wanita paruh baya dengan wajah jauh dari kesan cantik, Nini Kesong lihai memikat duda kaya.

"Duh Yang kaji, mbok yo gari enak nyawang anak putu, malah ndadak mbojo maning."

"Manjur yah, pelete Nini Kesong, golek nang endi yo."

Begitu obrolan di setiap kerumunan penduduk kampung, di warung kopi, tukang sayur, pasar, obrolan Haji Dullah dan Nini Kesong selalu hangat untuk diperbincangkan.

Bagaimana tidak? Haji Dullah orang terkaya hampir separuh tanah di kampung adalah miliknya, hendak menikahi janda yang terkenal suka menghabiskan harta suami.

Meski anak dan cucu Haji Dullah melarang untuk menikah lagi, tetapi juragan beras itu sudah gelap mata dan hati. Pesona Nini Kesong sungguh luar biasa, hingga Haji Dullah yang kaya raya bertekuk lutut mengemis cinta padanya.

Akhirnya nasib baik tak bisa dilarang, nasib buruk tak dapat dicegah. Pernikahan pasangan renta terjadilah sudah.

Sebulan menikah, Nini Kesong terlihat naik pesat strata ekonominya. Rumah dibangun mewah, terlihat tangan dan jemarinya penuh perhiasan emas.

"Alhamdulillah due bojo sugih, yo melu sugih!"

Begitu ucap Nini Kesong pada setiap orang yang di jumpainya.

Sebulan menikah, sawah sehektar Haji Dullah terjual untuk memenuhi tuntutan istri tercinta, Nini Kesong yang melegenda.

Tetangga dan saudara hanya geleng kepala, tanpa berbuat apa-apa, karena tak berhak ikut campur urusan orang lain.

Tentu saja anak dan cucu Haji Dullah tak bisa tinggal diam. Hingga suatu hari tanpa sepengetahuan Nini Kesong, Haji Dullah dibawa Sukir ke orang pintar.

Membawa Haji Dullah ke orang pintar, bukanlah perkara mudah. Setelah melewati drama penculikan untuk membawanya kabur dari rumah baru sang perempuan legenda penakluk duda kaya. Sukir juga harus mengalami suasana dilematis.

Bagaimana tidak, Sukir yang notabene lelaki modern yang berpikir serba logis. Harus menghadapi kenyataan ayahnya  mendapat guna-guna dari pemilik pelet jaran goyang, yang kini menjadi ibu tirinya.

Sukir mengacak rambutnya frustasi, Haji Dullah yang dari semalam ia bawa pulang paksa, terus saja mengigau menyebut nama Nini kesong. Lelaki tujuh puluh lima tahunan itu terus saja meronta, hendak lari menemui sang bidadari. Terpaksa, Sukir mengikat Haji Dullah di pembaringannya. Prihatin hati Sukir melihat Ayahnya tak berdaya.

"Bi, bapak bagaimana ini," tanya sukir pada Bi Inah, yang tak lain adalah adik kandung Haji Dullah.

"Gowo nggone mbah Petruk kae loh," ucap Bi Inah, mengusulkan pendapatnya.

"Dukun itu? Tidak, Bi, musyrik itu," Sukir diam berpikir.
"Meski shalatku bolong-bolong untuk ke dukun, tidaklah, Bi," lanjut Sukir kemudian.

"Lah terus piye, iso opo diobati dewek?" ucap wanita paruh baya itu kesal.

"Hemm ...  tenang Bi, aku ada temen barang kali dia bisa bantu," ucap sukir semangat.

"Nek percoyo sing nggawe mari iku koncomu, podo wae iku musyrik."

"Gak gitu Bi, wasilah lan syariate sing ora ngelanggar agama maksude loh."

"Yo wis, karepmu."

****
Deni teman Sukir, sepengetahuannya suka mengobati orang kesurupan. Meski sulit untuk mempercayainya, namun pemuda itu tak punya pilihan.

"Begitulah ceritanya Den, gimana menurutmu?" tutur Sukir pada Deni sahabatnya.

"Ente bawa ke guru ane aja, rumahnya masih di daerah situ kok, nanti ane WA alamatnya,"

Akhirnya dengan bantuan Kirno, Sukir menemukan rumah Gus Anam yang tak lain adalah guru Deni sahabat Sukur. Beruntung rumahnya masih satu daerah.

Di luar bayangan Sukir, ternyata rumah Gus Anam, tidaklah seperti di TV yang menampilkan adegan-adegan mistis. Ruang tamu yang lumayan luas, dan bergaya modern, hiasan kaligrafi nampak tergantung cantik menghiasi dinding ruang tamu.

"Silahkan duduk, Nak." Gus Anam mempersilahkan Sukir yang tak lepas menjegal tangan Haji Dullah dibantu Kirno pamannya.

Setelah sebelumnya Sukir memberi obat penenang agar Haji Dullah mengantuk dan mudah untuk dibawa.  Mungkin juga karena kelelahan akhirnya tertidur di kursi.

"Nak kamu tahu apa itu pelet?" tanya Gus Anam. Sukir menggeleng takdzim.
"Pelet itu ilmu ghaib yang mempengaruhi alam bawah sadar seseorang untuk mencintai orang yang memberi mantra pelet." Gus Anam menjelaskan.

"Kamu juga bantu Bapakmu yah, bantu dengan shalat hajat." Sukir hanya menurut semua titah Gus Anam.
"Ya Allah, semoga ini bentuk ikhtiar yang Engkau ridai," gumam Sukir pelan.

Setelah selasai shalat hajat, Gus Anam terlihat berzikir cukup lama, kemudian memberikan segelas air minum untuk Haji Dullah.

*****
Kembalinya Haji Dullah dari kediaman Gus Anam, ia tampak seperti orang baru sadar dari koma. Ia tak ingat lagi bahwa Nini Kosong telah menjadi istrinya.

"Ndak mungkin, opone sing dipilih soko wong koyo kae," jawabnya setiap kali diberi tahu prihal pernikahan mereka.

Meski berat hati Nini Kesong rela bercerai dengan lelaki yang menikahinya tanpa ada pembagian harta hono gini dan ia juga tak bisa menuntut karena pernikahan mereka hanya siri.

"Mak, piye to jare Mbah Jambrong, peket pelete tahan tekan mati, nembe rong sasi kok wis elik. Golek neh Mak lah, meng daerah kidul," ucap Tohir putra Sulung Nini Kesong.

"Wegah, kapok, isin. Ngetarani temen wong wadon ora laku."

"Halah, Mamak kie piye tho?"

"Ora usah protes, wedi aku diancem Sukir?"

Ya, Sukir memang telah mengancam Nini Kesong, ia akan memperkarakan pada polisi, jika Nini Kesong berulah lagi. Wanita paruh baya yang hanya mencicipi bangku SD itu, tentu saja langsung ciut nyalinya mendengar ancaman Sukur, terlebih dengan membawa-bawa nama Polisi.

****
Kasus Haji Dulah memang sudah selesai, tetapi Sukir masih enggan kembali ke Jakarta. Pemuda yang selama ini hidup di kota itu terlihat semakin betah tinggal di kampung. Wajah rupawan serta nama keluarga di belakangnya membuat Sukir laksana artis. Ia terkenal dan banyak dipuja para gadis di kampung hingga membuatnya besar kepala.

Tebar pesona dengan keliling desa menggunakan mobil Ayla miliknya. Kesibukan barunya membuat Sukir lupa dengan pekerjaannya di kota. Pada dasarnya, ia memang tak butuh pekerjaan karena toko beras Haji Dulah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hingga tujuh turunan.

"Sukir, shalat Maghrib. Ojo dolanan HP bae, inget maring Sing Gawe Urip," nasihat Haji Dulah pada putra bungsunya.

"Halahh, Pak! Giliran waras bawel," ucap Sukir cuek.

Begitulah kerjaan Sukir, tebar pesona dan pijit-pijit HP setiap harinya.

"Sukir, wayah Maghrib masuk omah, ora ilok ndodok nang ngarep lawang." Kembali Haji Dulah memperingatkan. Namun, pemuda itu sama sekali tak mengindahkan nasihat ayahnya, ia tetap asyik dengan gawai di tangannya.

Angin berembus membawa aroma kemenyan yang dibakar seseorang. Sukir bergidik ada hawa dingin menjalari tengkuknya ,tetapi sesaat kemudian tubuhnya merasakan hawa panas. Membuat lelaki itu gelisah dan uring-uringan tanpa alasan.

Hingga beberapa hari Sukir bersikap aneh, setiap waktu Maghrib ia kumat, meski hawa dingin karena seharian hujan, serta AC yang terus menyala di kamarnya, Sukir tetap merasa kepanasan.

Seperti petang ini, Sukir mondar-mandir di kamarnya. Bibi dan ayahnya hanya geleng-geleng kepala keheranan. Namun, tiba-tiba pemuda itu tertegun, memasang pendengarannya baik-baik. Kemudian, ia berlari ke luar rumah, disusul bibi dan ayahnya.

Sampai teras Sukir berhenti, dan tersenyum sumringah. Dilihatnya seorang gadis cantik tengah berjalan mendekat, dialah putri bungsu Nini Kesong.

"Lastri!" panggil Sukir kemudian. Membuat sepasang kakak beradik di belakangnya melongo keheranan, karena tak melihat siapapun di sana.

Tamat

Bekasi, 7 Mei 2020


Terjemah:


1. Yang Kaji = Panggilan untuk Orang tua setara dengan Mbah

2. "Enak nyawang putu, lah kok malah mbojo neh" = Hidup enak tinggal memperhatikan anak cucu, kenapa milih menikah lagi

3. "Ndue bojo sugih, melu sugih" = punya suami kaya ikut kaya

3. Gowo nggone Mbah Petruk = Bawa ke rumah Mbah Petruk

4. Lah terus piye? Iso opo di obati dewek = Terus mau bagaimana? Emangnya bisa ngobati sendiri.

5. Yo wis karepmu = Terserah

6. Opone sing dipilih soko wong kaya kae = apa yang menarik dari orang semacam itu

7."Mak, piye to jare Mbah Jambrong pelete tahan tekan mati, nembe rong sasi kok wis elik. Golek neh Mak lah, meng daerah kidul," = Bu, gimana sih, katanya peletnya tahan sampai mati. Baru du bulan kok sudah berpaling.

8."Wegah, kapok, isin. Ngetarani temen wong wadon ora laku."= Gak mau, saya malu. Ketahuan banget perempuan gak laku

9. "Halah, Mamak iki, piye tho!" =Ah, Ibu ini, gimana sih!

10."Ora usah protes, wedi aku diancem Sukir?" = Tak perlu protes. Aku takut ancaman Sukir

11. "Sukir, shalat Maghrib. Ojo dolanan HP bae, inget maring Sing Gawe Urip," = Sukir, Shalat Maghrib dulu. Jangan main HP terus, ingat pada Tuhan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun