Malam ini angin menerpa, membawa hawa dingin menyejukan. Membunyikan hiasan kerang hasil karyamu. Masih ingat jelas, saat dengan tekun kau memasukan satu demi satu kerang-kerang kecil yang dikumpulkan dari tepian pantai teluk penyu.
Hanya hiasan ini yang tersisa selain bayang-bayangmu. Entah sampai kapan aku hidup dalam kenangan masa lalu.
"Bila aku tiada, carilah penggantiku," katamu waktu itu, yang kubalas dengan cubitan kecil di pinggang.
"Tidak akan, hanya ada satu cinta dalam hidupku," Jawaku, sambil membenamkan kepala, dalam pelukan hangatmu. Tak disangka, itulah percakapan terakhir, sebelum akhirnya kita berdua larut dalam gairah cinta terakhir.
Kita terlelap dalam kepuasan lahir dan batin, hingga pagi menjelang senyum itu masih terukir manis di bibirmu. Pelan kau mulai menggeliat, menampakan otot-otot tubuhmu yang kekar. Â Kembali bangkitkan gelayar aneh di sekujur tubuh.
Aku baru saja hendak bangkit, tetapi kembali jatuh pada empuknya kasur lokal perabot  teristimewa dalam rumah kita. Kau menarik pinggangku dari belakang, sembari tersenyum nakal memberi isyarat tuk mengulang pergulatan kita semalam.
Namun, belum seluruhnya bulu kudukku meremang, gedoran pintu rumah diketuk seseorang. Meski enggan kita kembali saling melepaskan pelukan. Terlalu pagi dan lancang rasanya, tamu datang menggagalkan kemesraan kita kalau itu. Namun dengan sabar kau menerima tamumu yang tak lain adalah seorang sahabat lama.
Entah apa yang kalian bicarakan waktu itu, gurat kecemasan terlihat di raut wajah tampanmu. Setelah membersihkan diri dan kau khusuk larut dalam ibadah shalat Shubuh. Kulihat bahumu berguncang, entah doa apa yang kau langitkan hingga tangisan terdengar begitu memilukan.
Kau lebih banyak diam, meski pun tangan menggengam mushaf Al-Qur'an hatimu tidaklah di situ. Apa lagi pikiranmu, kupastikan kau tengah dilanda kegelisahan. Seperti biasa, kau tak pernah mau berbagi prihal kesulitan. Hidupmu terlalu banyak misteri yang disembunyikan, hanya satu hal yang tak dapat disangkal, aku dan kamu saling mencintai.
Telepon genggam jadul milikmu di atas meja, bergetar hingga terdengar keras menyentak lamunan, kau bergegas bangkit dan mengangkatnya. Tanpa persiapan seseorang yang hendak berpergian jauh, kau memelukku erat. Kemudian diam saat kita saling bertatapan, "maafkan aku," lirih ucapmu, kemudian berlalu meninggalkanku tanpa sebuah penjelasan.
Dua tahun berlalu, tanpa kabar berita. Di beranda rumah sederhana, di balik tirai benang ronce kerang buatanmu, aku menanti. Hingga saat matahari di puncak  langit, memanggang Bumi bulan Juni tahun lalu, sekelompok lelaki berseragam datang mencarimu. Bukan hanya kedatangan mereka tetapi juga warta yang mereka bawa, meluluh lantahkan jiwa raga. Bukan hanya aku, Negara pun sama. 'Buronan' tersemat di belakang namamu.
Aku diam tak wartakan pada angin atau pun hujan, prihal dirimu. Namun banyak mata dan telinga yang senantiasa rela mengintai hingga menyuarakan tentang sesuatu yang belum tentu kebenarannya.
Hingga tak sengaja kulihat dalam layar kaca, tentang kabar dunia. Wajahmu terpampang di sana, meski penampilan berubah, gambar di samarkan. Namun hati kecilku mengenalimu. Ketakutan itu menjadi nyata, kepulanganmu bukan ke rumah, tetapi ke pulau sebelah. Nusakambangan menjadi akhir petualangan. Eksekusi mati kau terima  sebagai konsekuensi kecintaanmu pada teori jihad yang tak pernah kupahami hingga kini.
Dari seberang pulau, aku menyaksikan kokohnya Nusakambangan tempatmu disemayamkan. Sekelebat bayangan melambai di bongkahan karang, wajahmu terlihat penuh penyesalan. "Itukah dirimu?" Tak pernah kudapatkan jawaban. Aku hanya tahu cinta kita setulus senja, pelajaran berharga sebuah keikhlasan. Melepaskan cahaya, kemudian memeluk gelap hingga esok kembali surya menyapa.
Gambar Pixabay
Bekasi, 8 April 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H