Judul buku              : Jangan Pulang Jika Kamu Perempuan
Nama penulis           : Riyana Rizki
Penerbit                : Mojok
Tebal                   : vi + 156 halaman
Tahun Terbit            : 2021
ISBN Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â : 978-623-7284-62-8
"Tapi jika nanti datang laki-laki kepada tiyang, tiyang akan menjelma Mandalika."Jangan Pulang Jika Kamu Perempuan—cerpen pertama sekaligus menjadi judul buku ini disuguhkan dengan sangat empuk. Meski kita tahu, dominan cerita-ceritanya menyuguhkan lebih banyak 'kengerian'—sebagaimana Dendam yang Lapar atau Dongeng Pengantar Kematian yang masih membekas di kepala saya. Ilit tak main-main, ia belajar dari apa yang dilihatnya.
Keluar dari sudut pandang isi cerita, saya menangkap kemampuan intertekstualitas Riyana yang cukup terkonsep sehingga membuat ketagihan membaca halaman demi halaman hingga rampung. 12 judul cerpen dalam 156 halaman, menurut saya cukup efektif menciptakan nyala tersendiri di hati pembaca. Terlebih, Riyana banyak merekonstruksi dongeng yang nyaris hilang dalam benak generasi saat ini: Legenda Bau Nyale, Timun Mas, Medusa, adalah beberapa dongeng yang mewajibkan saya membacanya lagi.
Melihat apa yang terjadi dari tahun ke tahun, melihat Ibu, laki-laki itu, para tetangga, aku bertanya-tanya seperti apa masa dewasaku nanti (hal 93). Di sini, saya menyadari sebuah tanda tanya besar perihal kegelisahan. Bagaimana seorang anak tujuh tahun meraba-raba masa depan—yang kita pun mungkin pernah merasakan kegelisahan yang sama pula. Maka saya akan mengesampingkan unsur mistik sebagai bahan perenungan bahwa makna yang diangkat dalam kumpulan cerpen ini sangat relevan dengan kehidupan kita.
Tak hanya itu, kegelisahan lain seorang ibu sangat kentara saat membaca Sudah Kukatakan, Aku Timun Mas dan Perawan, Perawan, Turunkan Rambutmu. Meski Arini bukanlah ibu kandung Timun, ia digambarkan sebagai perempuan berhati baik dengan naluri keibuannya. Sama halnya dengan Perawan dan ibunya yang melindungi diri dari lelaki jahat. Hal ini seolah dimaksudkan sebagai bentuk perlawanan sebab tak sedikit perempuan yang menjadi korban atas kekejaman dunia ini. Pada halaman 35, kita akan dibuat berpikir atas kejadian yang menimpa May. Lalu apa yang salah dengan ular-ular yang meliuk di rambutnya saat keadilan tak lagi tampak?
Lagi-lagi perihal perempuan. Seorang pengidap AIDS; Perempuan Ceria dengan Kotak Pandora di Pelukannya. Sebagai pembaca, saya tak dapat membayangkan situasi sepasang kekasih yang saling mencintai itu meredam kegetirannya. Mengingatkan saya dengan kalimat Goenawan Mohamad, "Cinta, sebuah kata yang tak bertahan tentang pengertiannya, kecuali Ketika kita merasakan sakitnya." Bukankah benar, kata Pram tentang kehidupan?, "Barangsiapa memandang penderitaannya saja, dia sakit." Riyana begitu cerdik mengadaptasi Pandora—mitologi Yunani yang sangat melegenda ini. Hampir saja air mata saya dibuatnya meleleh saat perempuan ceria itu mengakui sakit yang dideritanya.
Sampai ketika membaca Tegining-Teganang dan Dendam yang Lapar, saya pun sepakat dengan kutipan Hanum Salsabiela Rais yang menulis, "Semua adalah teroris ketika ketamakan terhadap kekuasaan, kekayaan, harta, dan rupa-rupa mengungguli empati dan simpati terhadap mereka yang kekurangan. Karena pada dasarnya, seseorang yang semakin kaya tanpa disadari dia akan semakin kikir. Semakin kikir dan semena-mena." Di sini Alin (perempuan), lagi-lagi menjadi korban keserakahan ayahnya.
"Dendammu masih lapar? Ada makanan penutup di rumah Bapak." Ah, sial! Saya selalu suka paragraf penutup—nyaris di setiap cerpen Riyana. Sedap! Sebagai Suma, saya akan segera melesat ke rumah Ishan—mencabik-cabiknya dan kenyang sudah dendam saya! Saya pun puas ketika membaca buku ini. Seakan kegelisahan nampak saat melihat cover yang didesain Hidayatul Azmi dengan perempuan yang tenggelam sambil memeluk lututnya sendiri. Cukup puitis untuk mewakili alur masing-masing cerita. Pun kesunyian mengalir saat melihat matanya yang pejam setenang sosok ibu dari Anak yang Merasa Hilang.
Membaca utuh buku ini, saya senasib Bugupraja. Bukan sebab pembalasan Giri untuknya, namun sama-sama bingung. Bingung hendak berkomentar apa lagi. Sebab bagi saya, sulit menemukan kekurangan dalam mengulas buku ini. Sehingga untuk merasa risih dengan Haji Buloh yang disisipi "yang saat itu belum haji" itu ditulis berulang kali, rasanya terlalu remeh untuk dituliskan di sini. Untung saja dia mati dilahap Suma. Oleh karena itu, saya lebih suka mengapresiasi nama-nama tokoh yang unik, mudah dilisankan dan diingat, tentunya.
"Ketika semua keburukan dan kengerian beterbangan melingkupi bumi setelah beberapa saat kotak pandora terbuka, ada satu hal yang tertinggal di dalam kotak." Tunggu, nanti saya kutip lagi halaman 109 ini.
Izinkan saya menyampaikan satu hal lagi: bagi yang pernah membaca Waktu untuk Tidak Menikah karya Amanatia Junda, saya sarankan untuk membaca serta buku ini. Bukan untuk takut pulang atau takut menikah, tapi untuk berbahagia sebab kita diciptakan sebagai seorang perempuan. Apa lagi yang patut disyukuri selain menjadi apa adanya kita saat ini?
Dongeng Ibu berakhir. Kau pun memejamkan mata dengan wajah yang ceria dan anak yang tidak tahu apa-apa itu semakin ceria mendapat susu dari botolnya untuk mengantarnya memejamkan mata.
Tamat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H