Mohon tunggu...
Mutia Senja
Mutia Senja Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Salah satu hobinya: menulis sesuka hati.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Selusin Dongeng Riyana

6 September 2021   17:43 Diperbarui: 6 September 2021   18:00 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sampai ketika membaca Tegining-Teganang dan Dendam yang Lapar, saya pun sepakat dengan kutipan Hanum Salsabiela Rais yang menulis, "Semua adalah teroris ketika ketamakan terhadap kekuasaan, kekayaan, harta, dan rupa-rupa mengungguli empati dan simpati terhadap mereka yang kekurangan. Karena pada dasarnya, seseorang yang semakin kaya tanpa disadari dia akan semakin kikir. Semakin kikir dan semena-mena." Di sini Alin (perempuan), lagi-lagi menjadi korban keserakahan ayahnya.

"Dendammu masih lapar? Ada makanan penutup di rumah Bapak." Ah, sial! Saya selalu suka paragraf penutup—nyaris di setiap cerpen Riyana. Sedap! Sebagai Suma, saya akan segera melesat ke rumah Ishan—mencabik-cabiknya dan kenyang sudah dendam saya! Saya pun puas ketika membaca buku ini. Seakan kegelisahan nampak saat melihat cover yang didesain Hidayatul Azmi dengan perempuan yang tenggelam sambil memeluk lututnya sendiri. Cukup puitis untuk mewakili alur masing-masing cerita. Pun kesunyian mengalir saat melihat matanya yang pejam setenang sosok ibu dari Anak yang Merasa Hilang.

Membaca utuh buku ini, saya senasib Bugupraja. Bukan sebab pembalasan Giri untuknya, namun sama-sama bingung. Bingung hendak berkomentar apa lagi. Sebab bagi saya, sulit menemukan kekurangan dalam mengulas buku ini. Sehingga untuk merasa risih dengan Haji Buloh yang disisipi "yang saat itu belum haji" itu ditulis berulang kali, rasanya terlalu remeh untuk dituliskan di sini. Untung saja dia mati dilahap Suma. Oleh karena itu, saya lebih suka mengapresiasi nama-nama tokoh yang unik, mudah dilisankan dan diingat, tentunya.

"Ketika semua keburukan dan kengerian beterbangan melingkupi bumi setelah beberapa saat kotak pandora terbuka, ada satu hal yang tertinggal di dalam kotak." Tunggu, nanti saya kutip lagi halaman 109 ini.

Izinkan saya menyampaikan satu hal lagi: bagi yang pernah membaca Waktu untuk Tidak Menikah karya Amanatia Junda, saya sarankan untuk membaca serta buku ini. Bukan untuk takut pulang atau takut menikah, tapi untuk berbahagia sebab kita diciptakan sebagai seorang perempuan. Apa lagi yang patut disyukuri selain menjadi apa adanya kita saat ini?

Dongeng Ibu berakhir. Kau pun memejamkan mata dengan wajah yang ceria dan anak yang tidak tahu apa-apa itu semakin ceria mendapat susu dari botolnya untuk mengantarnya memejamkan mata.

Tamat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun