Tak banyak berkoar mengapa Serahkanlah akhirnya menjadi semacam bentuk ketidakberdayaan. Oh bukan. Lebih tepatnya, Wildan sedang menemu jalan pulang:
Terusir, terusir, terukir
Tersirat, tersirat, tersurat
Serahkanlah
Rekah, rekah, berkah
Lelah, lelah, lillah
(Serahkanlah)
Mendadak saya malu-malu menuliskan catatan kecil tentang Benjamin Franklin, Shakespeare atau George Bernard Shaw, atau Edmund Burke sebagaimana penyair yang banyak mengumandangkan sajaknya di sebuah wilayah bernama Tasikmalaya. Tidak masalah, memang.Â
Tetapi dengan masih menyimpan canggung saya mengakui bahwa kekuatan puisi ini utuh berasal dari Wildan Syakirin sendiri. Keluar dari zona perihal tokoh-tokoh barat yang 'menipu', buku ini adalah lokasi di mana Wildan tinggal dan menguasai daerahnya sendiri. Ya, apa-apa yang dikehendakinya.
Lagi-lagi saya terdiam mendapati Hanya Puisi Yang Tahu. Ini mengingatkan saya perihal sebuah puisi pendek yang saya beri berjudul Hanya Tuhan Yang Tahu. Utuh, sejajar, dan tidak memerlukan penjelasan. Puisi adalah Tuhan. Tuhan adalah puisi.Â
Persis ketika menemukan cinta dalam ketidaktahuan, justru puisi menjawabnya. Tapi bagi saya, puisi tetap tidak cukup menjadi saksi. Tidak selamanya puisi tumbuh sebagaimana urat nadi. Di sela-selanya, milyaran partikel menghuni detak kecil yang tidak terdengar manusia, bahkan tak sampai mata melihatnya. Tapi ujung darah mana yang menemu rumah selain tanah?