Mohon tunggu...
Mutia Senja
Mutia Senja Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Salah satu hobinya: menulis sesuka hati.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ketika Puisi Tak Cukup sebagai Saksi

26 April 2020   08:10 Diperbarui: 26 April 2020   10:43 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senada dengan garis senyum puisi ini. Ada penjiwaan dalam tulisan yang cukup dengan dibaca dalam batin, makna itu menyusup diam-diam menyentuh organ yang bersembunyi di balik tubuh ringkih ini. 

Boleh jadi puisi Wildan hanya bercakap perihal lingkungan kecil di sekitarnya, tapi luas makna untuk mendayung ke muara seluas lautan. Ia diam-diam menjebak siapapun yang membacanya---seperti laba-laba yang menaruh jaringnya demi memangsa serangga malang.

Kau tak akan pernah menemukan batu mulia

Jika kau tak menggalinya

Kau tak akan pernah menemukan mutiara

Jika kau tak menyelaminya

Kau tak akan pernah menemukan makna aksara

Jika kau tak menghayatinya

(makna aksara)

Perlahan, tanpa tertatih. Sebagai pembaca puisi terkhusus karya-karya penyair yang lahir di negara tercinta, saya yakin Candra Malik atau barangkali Usman Arrumy memberi petuah melalui perantara angin yang membuat Wildan meyakini betul puisi-puisinya. 

Ada sentuhan yang mencoba merangkak lewat jendela jiwa yang lembut. Meski terkadang berdampak pada koyak setelah rampung menjajal adrenalin yang 'menghanyutkan' ini. Sedap!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun